Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 18-24 Februari 2016

Bola Panas Rencana Revisi UU KPK

Presiden Jokowi bersama Pimpinan DPR akhir sepakat menunda revisi UU KPK. Meskipun ditunda, masyarakat tetap menilai Jokowi tidak mampu bersikap tegas karena penundaan tanpa pencabutan revisi UU KPK dari prolegnas 2016 akan menjadi bola panas yang akan membara kembali dikemudian hari.

Beberapa tahun belakangan upaya pelemahan terhadap KPK semakin masif, selain kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK, tentu saja secara instittusional terhadap lembaga antirasuah ini melalui revisi UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo, poin yang direvisi sejatinya bukan untuk memperlemah komisi antirasuah. Terlebih menurutnya, DPR dan pemerintah tidak bisa diintervensi ketika melaksanakan amanat untuk menyusun undang-undang.

Publik menilai revisi hanya upaya legislatif untuk melemahkan KPK, karena dari 4 pasal yang akan dibahas yaitu soal Dewan Pengawas, Penyadapan, Penghentian Penyidikan (SP3) dan Soal Penyidik KPK, seluruhnya secara substansial melemahkan kinerja KPK dalam penanganan perkara korupsi.

Apalagi sampai saat ini naskah akademik revisi UU KPK tidak ada. Padahal, naskah akademik merupakan syarat wajib dalam revisi undang-undang. Oleh sebab itu, urgensi revisi yang diusulkan oleh legislatif patut dicurigai, sebagai upaya pencegahan motiv pelemahan lembaga anti rasuah yang diyakini sebagai anak kandung reformasi tersebut.

Saat ini penolakan keras terus muncul bergelombang dari berbagai daerah dan berbagai lapisan masyarakat, diantaranya forum guru besar, tokoh lintas agama, seniman dan penggiat antikorupsi lainnya.

Meskipun gelombang penolakan masyarakat berhasil mendorong Presiden Jokowi dan Pimpinan DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK, namun masyarakat berharap Jokowi bertindak lebih tegas bersama partai pendukung di lembaga legislatif menarik draft revisi dari daftar prioritas legislasi nasional tahun 2016.

Masyarakat menuntut Jokowi mengambil langkah serupa seperti mantan Presiden SBY ketika menyelesaikan polemik revisi UU KPK pada tahun 2012. Pada saat itu Presiden SBY lebih memilih untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi dibandingkan menghabiskan energi untuk merevisi UU KPK. Pernyataan tegas Presiden SBY itu, terbukti mampu meredam polemik wacana revisi UU KPK pada saat itu.***

Mengatur Perampasan Aset

Desakan publik untuk menolak revisi Undang - undang KPK (UU KPK) pada akhirnya membuahkan hasil. Meskipun Presiden belum mencabutnya dari program legislasi nasional (prolegnas), tapi sekurangnya pembahasan revisi UU KPK itu berhasil ditunda. Sebagai gantinya, muncul rekomendasi untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Publik berkeyakinan bahwa, revisi UU KPK akan melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Pendapat ini tidak hanya terlontar dari kelompok masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch, tetapi juga sejumlah guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Menolak RUU KPK. Selain itu sejumlah musisi tanah air seperti Marjinal, Efek Rumah Kaca dan Slank ikut mengucapkan hal senada. Bahkan untuk menegaskan penolakannya, Slank sempat menggelar konser mini di depan pelataran KPK.

Seiring dengan penolakan terhadap RUU KPK, muncul juga gagasan, agar pemerintah dan DPR lebih mencurahkan perhatian terhadap hal yang lebih mendesak. yaitu membahas RUU Perampasan Aset. Karena upaya untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi sebenarnya, tidak harus dengan merevisi UU KPK. Justru perlu ada perbaikan yang lebih terintegrasi terhadap sejumlah aturan yang berhubungan dengan kerja - kerja pemberantasan korupsi.

Menurut RUU Perampasan Aset, perampasan diartikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing. Dalam perspektif yang lebih global, RUU Perampasan Aset akan sangat berkaitan dengan norma illicit enrichment (kekaayaan yang diperoleh dengan tidak sah). Norma ini merupakan salah satu norma, yang belum diatur dalam UU Tipikor di Indonesia.

Dengan norma tersebut, pemerintah bisa memantau pejabat yang memiliki peningkatan harta kekayaan secara mencurigakan. Draft RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah bergulir sejak jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun sayangnya, pembahasan RUU tersebut tersendat dan tidak jelas nasibnya di tangan DPR.

[ Download PDF ]

Jika dipelajari secara seksama, kehadiran UU Perampasan Aset akan memberikan keuntungan bagi agenda pemberantasan korupsi di masa mendatang. Pertama, aturan ini akan menutupi kelemahan dalam Undang - undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perampasan kekayaan koruptor hanya dapat dilakukan terhadap barang yang digunakan, atau diperoleh dari korupsi. Ketentuan itu lebih jelas diatur dalam Pasal 18 huruf (a).

Kedua, penggantian kerugian negara yang diatur dalam UU Tipikor hanya terbatas pada hasil kejahatan yang dinikmati. Konsekuensinya, sering kali ditemukan pengembalian kerugian negara yang jauh lebih sedikit dari yang kerugian negara yang berhasil dibuktikan dalam persidangan. Contohnya, kasus korupsi pada sektor kehutanan yang menjerat Teuku Azmun Jafar terbukti merugikan keuangan negara sebesar 1,2 triliun rupiah. Namun, Teuku Azmun Jafar hanya dibebankan menggengembalikan ke negara sebesar 19,83 miliar rupiah. Sederhananya, aturan perampasan aset akan mempermudah mengejar kerugian negara yang lebih masif.

Ketiga, perampasan aset dan pembayaran uang pengganti dari aset terpidana, hanya bisa dilakukan setelah korupsinya dinyatakan terbukti di pengadilan. Dengan menggunakan aturan ini, perampasan aset mungkinkan dilakukan tanpa pemidanaan.

Dan keempat, jika perampasan aset diatur dalam UU. Maka upaya - upaya untuk melakukan asset recovery yang membutuhkan kerjasama internasional akan semakin mudah. Mengingat sudah banyak negara - negara yang sudah memiliki aturan yang berhubungan dengan perampasan asset atau illicit enrichment.

Jika benar Pemerintah dan DPR ingin memperkuat KPK dan agenda pemberantasan korupsi, segera bahas dan sahkan UU Perampasan Aset. Karena sudah selayaknya UU Tipikor, UU Pencucian Uang dan UU Perampasan Aset ini berjalan saling melengkapi.***

RINGKASAN MINGGUAN

UPDATE STATUS

18 Februari

  • KPK memeriksa Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis NIK (e-KTP).

19 Februari

  • Dua anggota Komisi V tidak menghadiri pemeriksaan KPK dengan status sebagai saksi atas kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Maluku dengan tersangka Abdul Khoir, pimpinan PT Windhu Tunggal Utama (WTU).

22 Februari

  • Kejaksaan Agung resmi menghentikan penanganan perkara penuntutan ter sangka penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan karena tidak cukup bukti dan kadaluwarsa.

  • KPK memeriksa Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) Herri Swantoro, Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, Wahyudin, dan Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Ingan Malem Sitepu, sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait dengan pengiriman putusan kasasi perkara korupsi di MA dengan tersangka Andri Tristianto Sutrisna.

23 Februari

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, terkait kasus dugaan korupsi dalam pembangunan wisma atlet di Provinsi Sumsel.

  • Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Senior Manager Perlatan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Haryadi Budi Kuncoro, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit quay container crane atau alat berat pengakut container yang disangkakan kepada Direktur Utaram PT Pelindo II, Richard Joost Lino.

  • Kejaksaan Tinggi Negeri Indragiri Hulu (Inhu) meghadirkan 12 saksi dalam persidangan dugaan korupsi dengan kerugian sekitar Rp2,7 miliar yang bersumber dari APBD Indragiri Hulu (Inhu) tahun 2011 hingga 2012 dengan terdakwa mantan Sekteraris Daerah (Sekda), Erisman.

  • PN Jaksel menggelar sidang praperadilan BLBI.

  • Penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, akhirnya memanggil tiga pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Delta Tirta Sidoarjo terkait dengan dugaan korupsi pengadaan 10 ribu pipa untuk sambungan rumah tahun 2015 senilai Rp 8,9 miliar.

24 Februari

  • Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi, terdakwa kasus pengadaan 16 mobil listrik pada tiga perusahaan BUMN untuk keperluan APEC di Bali tahun 2013, dituntut jaksa dengan hukuman pidana penjara selama 12 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp28 miliar.

  • Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya menetapkan dua tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) senilai Rp15,8 miliar untuk pengadaan seragam sekolah dan sepatu bagi seluruh siswa SD di Depok yang dilakukan tahun 2014 lalu.

  • Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin menggelar sidang dugaan korupsi dengan terdakwa Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru, Ir Thalib, dengan menghadirkan empat saksi.

  • Jajaran penyidik Satuan Reserse Polres pemekaran Kabupaten Supiori, Papua, menetapkan tiga tersangka dugaan tindak pidana korupsi penyalagunaan dana bantuan bencana alam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat tahun 2015 sekira Rp827 juta.

  • Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) kota Medan, Syahrizal Arief dituntut hukuman satu tahun enam bulan penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek renovasi dan revitalisasi Pasar Kapuas Belawan dengan kerugian negara sebesar Rp 200 juta.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan