Setengah Hati Transparansi Beneficial Ownership Korporasi

Catatan Kritis Terhadap Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pindana Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme
Desain muka laporan penelitian Setengah Hati Transparansi Beneficial Ownership Korporasi

Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme (selanjutnya disebut “Perpres BO”). Sejalan dengan itu, sebagai bentuk teknis pengaturannya, turut dibentuk dua regulasi turunannya, yakni Peraturan Menkumham No. 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prinsip Mengenali Manfaat (Beneficial Ownership) dari Korporasi dan Peraturan Menkumham No. 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Melalui dua aturan tersebut, Indonesia menetapkan bahwa semua jenis korporasi, baik dalam bentuk Perseroan Terbatas, Yayasan, Perkumpulan, Koperasi, Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan bentuk lainnya, untuk wajib melaporkan data Beneficial Owner (BO) mereka kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) selaku salah satu kementerian yang didedikasikan sebagai sentra registrasi informasi BO. Kewajiban itu dalam kaitan mengurus pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan badan hukum.

Empat tahun pasca Perpres BO diundangkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menginisiasi sebuah kajian mengenai evaluasi terhadap substansi dari produk hukum tersebut guna menilai efektivitas penerapannya. Hal ini mengingat temuan Kementerian Hukum dan HAM per 31 Agustus 2021, baru sekitar 22,36% perusahaan yang telah menerapkan prinsip transparansi BO. Dengan kata lain, kesadaran korporasi untuk mematuhi aturan itu masih terbilang rendah.

Rendahnya angka di atas menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan apabila dikorelasikan dengan sejumlah kasus korupsi dan pencucian uang terkini. Di mana praktik lancung itu selalu memiliki irisan atau bahkan dimuluskan secara langsung melalui keterlibatan BO yang sengaja disembunyikan informasinya.

Melalui catatan kritis ini, ICW hendak mengevaluasi norma-norma Perpres BO untuk kemudian melihat apakah konstruksi pasal-pasal yang dibangun telah selaras dengan semangat untuk mendorong transparansi BO secara optimal, khususnya di sektor ekstraktif. Untuk mencapai hal tersebut, catatan ini menganalisis pasal-pasal dalam Perpres BO dari perspektif hukum serta efektivitas implementasinya. Fokus tulisan ini dibagi menjadi beberapa poin besar, diantaranya, politik hukum pembentukan Perpres BO dan hasil penelusuran data BO terhadap sejumlah perusahaan yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air, gas bumi, surya, dan panas bumi. Penelusuran tersebut hendak mencermati potensi para “pemain lama” yang menjadi BO di perusahaan-perusahaan ekstraktif, mencoba untuk melakukan transisi ke industri energi “bersih.” Dengan demikian tetap menghadirkan persoalan- persoalan klasik seputar pola kepemilikan bisnis yang oligarkis layaknya di industri ekstraktif. Terakhir, dilakukan juga perbandingan dengan sejumlah negara lain untuk mencari best practices yang sekiranya dapat diadopsi oleh Indonesia dalam mengkonstruksikan pengaturan terkait transparansi BO.

Berdasarkan catatan kritis ini, Perpres BO memiliki banyak persoalan bahkan dari segi teknis perundangannya. Persoalan tersebut diantaranya tidak tertuangnya semangat pencegahan tindak pidana pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme sebagaimana pada konsiderans ke dalam norma-norma batang tubuh Perpres, dan ketidakjelasan rumusan sejumlah pasal yang berakibat pada tidak dapat dilaksanakannya perintah dari pasal tersebut oleh aktor yang dituju. Selain itu, persoalan terkait ketiadaan aktor utama (leading actor) yang dapat menjamin terimplementasikannya isi dari Perpres ini, serta ketiadaan “penguat norma” dalam bentuk insentif maupun disinsentif (seperti sanksi administratif) dapat berkontribusi lebih lanjut terhadap kesulitan dan ketidakoptimalan penerapan sejumlah mandat yang tertuang dalam Perpres.

Secara substansi, Perpres BO juga tidak menyelaraskan diri dengan sejumlah standar best practices yang telah diadopsi secara internasional. Misalnya, pengungkapan BO masih terlalu bergantung kepada korporasi dan tidak diverifikasi secara faktual oleh pemerintah secara efektif. Selain itu, Perpres BO belum mengakomodir upaya pengungkapan ultimate beneficial owner dan tidak terbukanya data BO korporasi secara cuma-cuma dan luas kepada publik melalui suatu pusat register publik (public central registry).

Pada tatanan yang ideal, solusi terkait transparansi BO korporasi mengarah pada “menaikkan” hierarki pengaturannya menjadi UU. Ini demi menjamin tujuan pencegahan tindak pidana pencucian uang serta pendanaan terorisme yang difasilitasi melalui korporasi dan terbantu oleh informasi BO yang ditutup-tutupi seperti dengan praktik layering maupun nominee. Hal ini ditempuh agar dapat mengakomodir sanksi pidana sebagaimana diterapkan di beberapa negara, salah satunya Jerman.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan