Penerapan Asuransi Lingkungan Hidup sebagai Instrumen Jaminan Reklamasi Pertambangan yang Transformatif

Sejak 2011, Sudah 40 Nyawa Melayang di Lubang Tambang Batubara Kaltim
Foto: Rhett Butler/Mongabay

Sejak liberalisasi eksploitasi sumber daya alam, pertambangan telah menjelma menjadi aktor penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia. Pada tahun 2022, data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan menyebutkan bahwa realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan menyentuh Rp 127,90 triliun atau 301,88% dari rencana penerimaan yang ditargetkan yakni sebesar Rp 42,37 triliun. Namun, secara simultan, sektor pertambangan juga ditengarai sebagai sektor yang sarat dengan potensi korupsi. Menurut hasil kajian Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), praktik korupsi di sektor pertambangan hampir terjadi di setiap proses, mulai dari alih fungsi lahan, perizinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, pembayaran penerimaan negara bukan pajak, penjualan hasil produksi, hingga pengalokasian dana jaminan reklamasi.

Menyoal mengenai praktik korupsi pada dana jaminan reklamasi tambang, Wakil Kepala Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Kepolisian RI Novel Baswedan menyatakan jika proses administrasi maupun pengawasan pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang belum terselenggara dan terintegrasi dengan baik, sekalipun UU 3/2020 telah diberlakukan. Pernyataan tersebut diafirmasi oleh hasil investigasi dari Panitia Khusus DPRD Provinsi Kalimantan Timur pada 12 Maret 2023 maupun Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor:24.B/LHP/XIX.SMD/V/2021. Kedua temuan tersebut menyebutkan adanya indikasi korupsi melalui fakta yang menerangkan adanya pencairan dana jaminan reklamasi sebesar Rp219 miliar kepada 56 perusahaan yang tidak disertai dokumen pencairannya.

Maraknya praktik korupsi pada sektor ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: rendahnya kualitas regulasi, lemahnya pengawasan, sistem birokrasi yang rumit dan tidak transparan, hingga kepentingan politik baik daerah maupun nasional. Bahkan, dalam beberapa studi ditemukan bahwa risiko korupsi di pertambangan akan meningkat jelang pemilihan kepala daerah. Meskipun UU 3/2020 telah menarik kewenangan perizinan kepada pemerintah pusat (sentralisasi), Ketua PUSHEP Bisman Nasution menyebutkan bahwa selain potensi korupsi akan tetap ada, sentralisasi tersebut bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, hal tersebut juga menjadikan sistem pengawasan semakin lemah. Sebab, pemerintah daerah tidak lagi punya kuasa penuh untuk melakukan penegakkan hukum terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan.

UU 3/2020 mengatur bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berkewajiban untuk memperbaiki kerusakan lingkungan salah satunya melalui reklamasi. Kewajiban tersebut kemudian diikuti dengan kewajiban penempatan jaminan reklamasi. Pasal 161 B UU 3/2020 secara tegas menyatakan bahwa setiap pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana. Akan tetapi, keberadaan sanksi tersebut belum mampu menimbulkan efek jera dan berpihak kepada restorasi lingkungan hidup. Terbukti, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyatakan bahwa dari total 10.099 IUP di seluruh Indonesia, hanya ada 2.569 IUP Clean and Clear (CnC). Dari 2.569 IUP CnC tersebut sekitar 60% belum menempatkan jaminan reklamasi.

Keputusan Menteri ESDM K/30/MEM/2018 mengatur bahwa bentuk jaminan reklamasi tersebut dapat berupa rekening bersama, deposito berjangka, bank garansi, cadangan akuntansi. Keputusan a quo juga menyatakan bahwa pemegang IUP/IUPK dinyatakan melalaikan kewajibannya dalam melakukan reklamasi jika setelah dua kali periode penilaian berturut-turut, pelaksanaan reklamasi belum mencapai keberhasilan 60% atau, pemegang IUP/IUPK dinyatakan oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Keberadaan Pasal 161 B UU 3/2020 memang secara progresif menyatakan bahwa:

  1. Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan:
  1. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau
  2. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
  1. Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya.

 

Namun, pengaturan pasal a quo mengandung beberapa kelemahan. Pertama, adanya frasa “dan” diantara “setiap orang yang IUP/IUPK dicabut atau berakhir” dan “tidak melaksanakan….” mengandung makna bahwa penjatuhan pidana tersebut tidak dapat dikenakan seketika manakala pemegang IUP/IUPK hanya “tidak melakukan reklamasi” atau “penempatan jaminan reklamasi”. Kedua, keberadaan frasa “dapat” dalam ayat (2) pasal a quo bermakna alternatif, sehingga tidak menimbulkan konsekuensi adanya kewajiban bagi hakim untuk menjatuhkan pidana pokok penjara dan/atau denda serta pidana tambahan berupa pembayaran dana reklamasi secara bersamaan. Ketiga, jenis sanksi tambahan berupa pembayaran dana reklamasi tidak solutif dan executable manakala pelaku usaha tengah berada pada kondisi keuangan yang sulit (financial distress).

Celah regulasi dan potret buruknya pelaksanaan reklamasi pertambangan tersebut kontraproduktif terhadap kewajiban negara untuk menjamin perlindungan lingkungan hidup yang diamanatkan konstitusi. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis hendak mengusulkan suatu gagasan pengelolaan jaminan reklamasi pertambangan yang transformatif melalui lembaga asuransi lingkungan hidup.

Merujuk pada penjelasan Pasal 43 UUPPLH, asuransi lingkungan hidup adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, Pasal 46 PP 46/2017 menegaskan jika pengembangan asuransi lingkungan hidup ini harus dilakukan dengan penerapan dasar penghitungan yang paling sedikit mencakup tingkat risiko lingkungan hidup dan perkiraan pembiayaan keadaan darurat lingkungan hidup Saat ini, asuransi lingkungan hidup baru diterapkan dalam bidang pengelolaan limbah B3 dan kegiatan yang “berisiko tinggi” seperti nuklir.

Pada prinsipnya asuransi lingkungan sama dengan asuransi umum, yaitu suatu pengalihan risiko dari seseorang atau badan usaha kepada penyedia jasa asuransi. Pelaku usaha melalui penyedia asuransi telah mencadangkan dana untuk menanggulangi risiko lingkungan hidup dan perkiraan pembiayaan keadaan darurat lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan usaha pertambangan. Sehingga, masyarakat akan mendapatkan kepastian biaya kompensasi dan dilakukannya pemulihan terhadap lingkungan yang tercemar/rusak. Selain itu, asuransi lingkungan juga mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Sebab, dalam mengeluarkan polis asuransi, perusahaan asuransi dapat menetapkan syarat-syarat yang harus ditaati oleh pelaku usaha tambang (tertanggung), seperti syarat untuk menerapkan teknologi pertambangan yang aman bagi lingkungan dan memonitor pelaksanaannya dalam periode waktu tertentu.

Dengan kondisi tersebut, perusahaan asuransi dapat membatalkan klaim asuransi apabila perusahaan tertanggungnya tidak melaksanakan syarat dan ketentuan yang diatur dalam polis asuransi lingkungan, sehingga secara tidak langsung dapat memaksa pelaku usaha tambang untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup. Sebab, pelaku usaha tentu tidak ingin kehilangan tanggungan yang diperoleh dari premi asuransinya. Oleh karenanya, melalui asuransi lingkungan hidup, beban pemerintah untuk mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha juga turut berkurang sekalipun diterapkan dalam rezim yang sentralistik sebagaimana ditentukan oleh UU 3/2020.

 

Penulis,

Sindy Riani Putri Nurhasanah

(Associate at Drawy & Droit Law Office)



 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan