Membangun Kepedulian Pencegahan Green Financial Crime di Indonesia

Foto: habitatadvocate.com.au
Foto: habitatadvocate.com.au

Sejarah membuktikan bahwa kekayaan sumber daya alam bumi Nusantara, bagaikan pedang bermata dua bagi bangsa ini. Di masa lalu, ketertarikan bangsa lain akan sumber daya alam rempah-rempah, menjadi pendorong terjadinya penjajahan di bumi Nusantara. Disisi lain, kekayaan sumber daya alam menjadi berkah, sebagai salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia hingga saat ini, dengan jutaan orang menggantungkan hidup. Sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat, namun tak jarang pengelolaan yang buruk justru mendatangkan “kutukan” dan hanya menguntungkan sekelompok orang. Kutukan sumber daya alam (resource curse) populer digunakan di tahun 1990-an untuk menggambarkan kondisi negara-negara dengan sumber daya alam melimpah namun memiliki performa ekonomi yang buruk (Anthony J. Venables, 2016). Untuk itu, sangat penting bagi Indonesia dapat memastikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam memberikan manfaat optimal bagi kemakmuran rakyat. Salah satu yang dapat menjadi penghambat dalam mencapai tujuan tersebut adalah praktek green financial crime.

Green financial crime dapat diartikan sebagai tindak kejahatan keuangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan, terutama eksploitasi sumber daya secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian negara dan atau perekonomian negara (Laporan Tahunan PPATK, 2022). Dengan kata lain green financial crime terkait pencucian uang dari kejahatan lingkungan hidup. Berbagai aktivitas ekstraksi sumber daya alam secara ilegal seperti pertambangan liar, pembalakan liar, hingga aktivitas perdagangan satwa liar dan perdagangan limbah berbahaya dapat disertai dengan aktivitas pencucian uang yang menyebabkan sulitnya kejahatan tersebut diungkap oleh penegak hukum.

Sulitnya pengungkapan green financial crime juga terkait modus comingling yang digunakan pelaku kejahatan. Dimana pelaku mencampur produk legal dengan ilegal (yang diperoleh melalui aktivitas kejahatan lingkungan hidup) sejak diawal rantai pasokan sumber daya, yang bertujuan untuk menyembunyikan sumber ilegal termasuk mengandalkan keterlibatan perantara di sepanjang rantai pasokan sumber daya, sehingga membuat sangat sulit untuk membedakan antara arus uang yang legal maupun ilegal di kemudian hari (fatf-gafi.org). Pelaku green financial crime seolah-olah menjalankan bisnis yang legal namun sebenarnya disaat bersamaan juga menjalankan aktivitas yang merusak lingkungan atau aktivitas eksploitasi sumber daya alam tidak sesuai ketentuan. Juga, tidak jarang dalam menjalankan kegiatannya, pelaku GFC juga seringkali menggunakan skema transaksi antar grup yang kompleks, sehingga semakin sulit diungkap. Selain sulit diungkap, praktik green financial crime juga seringkali disertai dengan berbagai bentuk kejahatan lainnya seperti korupsi dalam hal memperoleh izin eksploitasi sumber daya alam hingga penggelapan pajak.

Sebagaimana dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada dasarnya korupsi sumber daya alam memiliki modus yang sama dengan korupsi pada umumnya diantaranya adalah gratifikasi, penyuapan, kronisme atau benturan kepentingan. Perbedaannya dengan korupsi pada umumnya adalah korupsi SDA mengeksploitasi SDA secara ilegal dan tidak mempedulikan kepentingan umum. Korupsi SDA bisa dilakukan mulai dari level terendah sampai dengan level tertinggi, bisa dari pencurian kayu kecil-kecilan sampai dengan perumusan peraturan yang dapat memberikan celah bagi kriminal untuk melakukan korupsi SDA (ACLC KPK, 2023). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa terdapat aliran dana sebesar Rp 45 triliun yang berasal dari aktivitas terkait kejahatan lingkungan untuk pemenangan pemilu yang telah dilaksanakan di sejumlah daerah maupun pada pemilu legislatif tahun 2019 dan persiapan pemenangan pemilu 2024 (Kompas.com, 2023). Hal tersebut dapat menggambarkan keterkaitan green financial crime dengan kepentingan politik sejumlah oknum yang dapat menambah kerumitan permasalahan green financial crime di Indonesia.

Terlepas dari pentingnya isu green financial crime bagi Indonesia, dapat dikatakan isu ini belum mendapat perhatian yang memadai dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Umumnya sorotan terkait pengelolaan sumber daya alam hanya menyoroti isu seperti keadilan dalam penguasaan sumber daya alam atau fokus pada dampak rusaknya lingkungan hidup yang membawa bencana bagi masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat sebenarnya memiliki kepedulian yang tinggi atas isu lingkungan hidup dan tercatat aktif mendorong isu-isu tersebut. Seperti Auriga Nusantara bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada bulan Agustus 2022 membuat laporan berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa” yang mencantumkan fakta bahwa hampir 94,8 persen atau sekitar 53 juta hektar penguasaan lahan berada di tangan korporasi, sementara penguasaan yang berada di tangan rakyat hanya 2,7 hektar (Betahita.id, 2022). Sayangnya, isu green financial crime belum mendapat sorotan yang memadai, dimana dukungan publik sejatinya dapat memperkuat upaya penegak hukum dalam mengungkap berbagai kasus. Dalam enam bulan terakhir tercatat PPATK sebagai lembaga yang seringkali menjadi rujukan dalam pemberitaan terkait isu green financial crime.

Dukungan elemen masyarakat merupakan pilar penting dalam pencegahan green financial crime (GFC) di Indonesia. Ini mengingat belum optimalnya dukungan berbagai instansi pemerintah untuk pencegahan, rumitnya pengungkapan, maupun keterkaitan isu green financial crime dengan kepentingan politik sejumlah oknum. Dibutuhkan usaha bersama dan kolaborasi lima pilar meliputi pemerintah, pelaku usaha, akademisi, media massa dan masyarakat.

 Sinergi antar lembaga pemerintah sangat dibutuhkan mengingat pengelolaan sumber daya alam melibatkan kewenangan berbagai instansi baik di level pemerintah pusat dan daerah. Seperti terkait perizinan, tata niaga, hingga penegakan hukum. Dukungan dari pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang ekstraksi sumber daya alam menjadi penting, mengingat sejatinya praktik (GFC) menciptakan iklim bisnis dan persaingan yang tidak sehat serta merugikan reputasi sektor usaha ekstraksi sumber daya alam Indonesia. Tidak sedikit pelaku usaha yang menjalankan kegiatan secara legal dan tunduk pada aspek pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan juga ikut mendapat dampak buruk dari ulah oknum pelaku kejahatan green financial crime. Untuk itu dunia usaha perlu secara aktif mendukung upaya pencegahan GFC. Dari sisi akademisi perlu menjalankan fungsinya sebagai rujukan informasi objektif dan aktif dalam upaya edukasi masyarakat umum maupun mendorong pemerintah untuk lebih peduli pada isu ini. Media massa juga memainkan peran kunci dalam upaya pencegahan green financial crime. Media massa dapat mendorong kepedulian publik, menyajikan informasi objektif dan berimbang serta menjadi pihak yang mampu memantik diskusi konstruktif untuk mendorong pihak pemerintah dan pelaku usaha lebih peduli terhadap isu green financial crime. Pada akhirnya masyarakat sebagai pihak yang paling dirugikan dari kejahatan GFC perlu memiliki kesadaran atas isu tersebut agar mampu bersama-sama mendorong pencegahan GFC di Indonesia.

 

 

Penulis, 

Yasinta Widya Paramitha

Staf Kementerian Keuangan

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan