Kasus Korupsi PT Timah: Potret Buruk Tata Kelola Sektor Ekstraktif

Pemandangan tambang timah di salah satu konsesi perusahaan timah di bangka.
Pemandangan tambang timah di salah satu konsesi perusahaan timah di bangka. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

Kejaksaan Agung beberapa hari silam menetapkan Helena Lin dan Harvey Moeis sebagai dua tersangka baru dari kasus korupsi di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015–2022. Kasus korupsi PT Timah menunjukkan tata kelola yang buruk, perlu pengawalan terhadap perhitungan kerugian negara dari kerusakan lingkungan, dan pengembangan kasus untuk menjerat tersangka lain. Berikut adalah catatan ICW terhadap kasus tersebut.

 

Pertama, kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2004–2015 saja, negara sudah merugi sebanyak Rp 5,714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan. Apabila dirata-rata selama kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473 ton/tahun.

Kedua, perlu ada pengembangan kasus untuk menjerat aktor lain sebagai tersangka. Apabila kita melihat komposisi dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, mayoritasnya berlatar belakang direktur di perusahaan smelter. Padahal, kasus korupsi pertambangan kerap melibatkan aktor lain seperti pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Dalam praktik pertambangan ilegal, aparat penegak hukum diduga acap kali menerima setoran dari aktivitas tambang untuk membiarkan operasi perusahaan tetap berjalan lancar. Modus tersebut antara lain pernah diungkap oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.

Bukan tidak mungkin modus serupa memperlancar praktik lancung dalam kasus PT Timah. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan “boneka” mengambil bijih timah secara ilegal untuk kemudian dikirimkan ke perusahaan smelter yang sudah setuju bersekongkol. Praktik yang terjadi berulang kali tersebut nyaris mustahil luput dari pengawasan otoritas. Sehingga patut diduga bahwa operasi penambangan ilegal tersebut melibatkan aktor lain di luar aktor swasta.

Ketiga, pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang  baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.

Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal.

Lebih jauh, Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Keempat, ICW akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk memasukkan aspek kerusakan lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah. Kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut mencapai angka Rp 271 triliun, terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Aparat penegak hukum sejauh ini terlalu berfokus pada penghitungan kerugian negara semata ketika menangani kasus korupsi dengan dimensi sumber daya alam. Padahal korupsi sektor ekstraktif seperti pertambangan selalu membawa dimensi kerusakan ekologis maupun sosial yang masif. Perlu juga dicatat bahwa kasus korupsi yang mempertimbangkan aspek kerugian lingkungan beberapa kali dianulir oleh putusan hakim. Sehingga ‘terobosan’ Kejaksaan Agung perlu dikawal hingga proses persidangan. 

Contoh kasus yang dianulir antara lain kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group yang menjerat konglomerat Surya Darmadi. Jaksa awalnya menuntut Surya untuk membayar Rp 73,9 triliun akibat kerugian yang ditimbulkan, termasuk untuk memulihkan kawasan hutan yang telah dirusak kebun sawit miliknya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu menjatuhkan putusan yang mengakui penghitungan kerugian perekonomian negara yang di dalamnya terdapat pertimbangan kerusakan lingkungan. Namun, Mahkamah Agung menganulir pengakuan tersebut dan memotong sanksi Darmadi sehingga hanya harus membayar kerugian negara sebesar Rp2 triliun.

Kasus lainnya adalah kasus korupsi pemberian IUP yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus tersebut tidak mempertimbangakan penghitungan kerugian lingkungan yang dipaparkan oleh ahli dalam persidangan.

ICW berharap ketika kasus korupsi PT Timah masuk ke proses persidangan, majelis hakim dapat memutus dengan progresivitas sehingga mengakomodir kalkulasi kerugian lingkungan yang telah dikonstruksikan oleh kejaksaan dengan bantuan ahli. 


 

1 April 2024

Indonesia Corruption Watch

Egi Primayogha - Seira Tamara - Yassar Aulia

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan