Terpilihnya Tersangka Korupsi dalam Pilkada 2018

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Pilkada 2018 telah selesai digelar. Gelombang pilkada serentak ketiga tersebut ditutup dengan prediksi berbagai pihak mengenai dampaknya terhadap pemilu 2019. Perhatian publik juga cepat bergeser, dari pilkada ke pencalonan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden. Tidak banyak dikupas, bagaimana Pilkada 2018 menghasilkan pimpinan daerah yang mampu menjawab tantangan dan membenahi pemerintahan daerah.

Tren penindakan kasus korupsi 2017 yang disusun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan pemerintahan daerah adalah lembaga dengan jumlah kasus korupsi terbanyak. Tercatat ada 267 kasus dengan 378 tersangka dan kerugian negara Rp 1,3 Triliun. Data ini menegaskan korupsi pemerintahan daerah masih menjadi persoalan besar. Untuk membenahinya dibutuhkan kepala daerah yang berkompetensi serta berintegritas.

Persoalannya, partai politik masih banyak mencalonkan orang bermasalah sebagai calon kepala daerah. Sepuluh diantaranya bahkan berstatus hukum tersangka dugaan korupsi. Mereka adalah:






No.

Nama

Jabatan Saat Ini

Pilkada 2018

Partai Pengusung

1

Marianus Sae

Bupati Ngada

Provinsi NTT

PKB, PDIP

2

Nyono Suharli Wihandoko

Bupati Jombang

Kabupaten Jombang

PKS, PKB, Golkar, Nasdem, PAN

3

Imas Aryumningsih

Bupati Subang

Kabupaten Subang

PKB, Golkar

4

Asrun

Mantan Walikota Kendari

Provinsi Sulawesi Tenggara

Hanura, Gerindra, PKS, PDIP, PAN

5

Mustafa

Bupati Lampung Tengah

Provinsi Lampung

Hanura, PKS, Nasdem

6

Yaqud Ananda Gudban

Mantan Anggota DPRD Kota Malang

Kota Malang

PDIP, PPP, Hanura, PAN

7

M, Anton

Walikota Malang

Kota Malang

PKB, Gerindra, PKS

8

Ahmad Hidayat Mus

Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010

Provinsi Maluku Utara

PPP, Golkar

9

Syahri Mulyo

Bupati Tulungagung

Kabupaten Tulungagung

PDIP, Nasdem

 10

Nehemia Wospakrik

Ketua DPRD Biak Numfor

Kabupaten Biak Numfor

 PBB, Golkar, PDIP, Hanura

Dari sepuluh nama terduga tersangka korupsi yang berkontestasi pada 27 Juli 2018, tiga orang terpilih. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus sebagai Gubernur Maluku Utara, Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung, dan Nemehia Wospakrik sebagai Wakil Bupati Biak Numfor.

Ahmad Hidayat Mus dan Syahri Mulyo ditetapkan KPK pada 2018, menjelang diselenggarakannya Pilkada 2018. Keduanya saat ini tengah ditahan sehingga tidak dapat aktif mempersiapkan diri sebagai kepala daerah.

Sedangkan Nehemia Wospakrik diduga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Biak Numfor sejak tahun 2011 atas dugaan korupsi perjalanan dinas Ketua DPRD Biak Numfor tahun anggaran 2010. Pada saat itu, ia menjabat sebagai Ketua DPRD Biak Numfor. Artinya, sudah delapan tahun kasus ini belum tuntas penyelesaian penanganan perkaranya. Nehemia juga ikut dan terpilih dalam Pemilu Legislatif 2014.

Sehubungan dengan kasus Nehemia, ICW telah menyampaikan surat permohonan untuk mengklarifikasi dan mendorong adanya koordinasi dan supervisi penanganan perkara kepada KPK dan Dirtipikor Mabes Polri. Surat resmi disampaikan pada 28 Agustus 2018. Berdasarkan keterangan pihak Mabes Polri, proses hukum terhadap kasus tersebut masih berjalan dan Polres Biak Numfor masih mengumpulkan alat bukti.

Ketiga kepala daerah terpilih yang diduga berstatus tersangka ini akan tetap dilantik sebagai kepala daerah, merujuk pada pasal 164 dan 165 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Bahkan, Kemendagri akan tetap melakukan pelantikan meski tersangka telah ditahan. Kemendagri akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk pelantikan tersebut.

Terpilihnya orang bermasalah dalam Pilkada patut dimaknai sebagai persoalan yang dapat menghambat kemajuan daerah. Adakalanya masyarakat tidak mengetahui rekam jejak buruk atau terbatas pilihannya pada pilkada sehingga tetap memilih tersangka korupsi. Terlebih lagi pada aktor yang diduga telah lama ditetapkan sebagai tersangka. Pertanyaannya, mengapa partai politik masih mencalonkan tersangka kasus korupsi? Mengapa penanganan kasus di Polres Biak Numfor berlangsung begitu lama?

Dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan. Dari tujuh hal rencana penyidikan yang wajib dibuat oleh penyidik, salah satu yang dimuat yaitu waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara agar penyidikan dapat berjalan profesional, efektif, dan efisien.

Terdapat kriteria perkara berdasarkan tingkat kesulitan, yaitu perkara mudah, sedang, sulit, dan sangat sulit. Setiap Kepolisian di tingkat daerah memiliki tingkat kesulitan yang beragam. Tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit. Tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang, dan sulit. Sedangkan tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.

Namun dari seluruh kriteria penanangan perkara berdasarkan tingkat kesulitan, waktu penyelesaiannya tidak cukup jelas. Misal, dalam Peraturan a quo Pasal 18 ayat (3) huruf h dijelaskan bahwa waktu penyidikan memerlukan cukup waktu, tapi tidak dijelaskan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Hal ini yang membuat penyelesaian perkara di Kepolisian tidak terlalu jelas seperti yang terjadi di Polres Biak Numfor.

Oleh sebab itu dalam rangka mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik dan bersih dari korupsi serta penuntasan perkara korupsi yang transparan dan akuntabel, ICW mendorong:

  1. Kemendagri dengan berkoordinasi dengan KPK RI menangguhkan pelantikan Ahmad Hidayat Mus sebagai Gubernur Maluku Utara dan Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung;

  2. KPK RI mempercepat penyelesaian penanganan kasus korupsi Ahmad Hidayat Mus dan Syahri Mulyo agar keduanya tidak lagi tercatat sebagai kepala daerah;

  3. Polres Biak Numfor untuk segera menyelesaikan penanganan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas ketua DPRD Biak Numfor TA 2010 yang telah kurang lebih delapan tahun tidak tuntas;

  4. Kepolisian dan KPK RI melakukan koordinasi dan supervisi penanganan perkara kasus dugaan korupsi perjalanan dinas ketua DPRD Biak Numfor TA 2010 di Polres Biak Numfor;

  5. Kapolri untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 agar manajemen perkara dapat berjalan secara professional, efektif, dan efisien.

Jakarta, 30 Agustus 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags