Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 4-10 Februari 2016

Nasib KPK di tangan Presiden dan Ketua Umum Partai

Semangat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terbendung. Di tengah gelombang penolakan publik, Badan Legislasi sepakat usulan revisi dibawa ke paripurna untuk menjadi usul inisiatif DPR. Bahkan, panja revisi UU KPK telah dibentuk.

Dalam rapat Badan Legislasi yang digelar 10 Februari 2016 kemarin, hanya Partai Gerindra yang tegas menolak revisi UU KPK. Penolakan Partai Demokrat yang selama ini disebut-sebut, tidak terbukti. Dengan dalih memperkuat KPK dan mencegah potensi abuse of power KPK, sebagian besar fraksi menyetujui usul revisi UU KPK. Belakangan, Ketua Umum Partai Demokrat menginstruksikan kadernya di DPR untuk menolak revisi UU KPK.

Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan pernyataan menolak revisi UU KPK. Melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP, Presiden disebut akan menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK apabila revisi tersebut bersifat melemahkan lembaga antirasuah, sesuai dengan tuntutan publik.

Sementara penolakan publik dapat dilihat dari hasil survei Lembaga Indikator yang dirilis pada 8 Februari 2016 lalu dimana mayoritas publik menilai revisi UU KPK akan melemahkan KPK. Tidak hanya itu, lebih dari 58 ribu orang telah menandatangani petisi online di http://change.org/janganbunuhKPK untuk mendorong DPR dan Presiden menghentikan wacana revisi. Penolakan dengan argumen yang sama juga datang dari pimpinan KPK.

Sejauh ini, terdapat adu argumen UU KPK akan melemahkan dan memperkuat KPK. Untuk menilai apakah revisi UU KPK mengandung pelemahan atau penguatan, harus dilihat dari substansi revisi. Dalam draft revisi, wewenang yang membuat KPK unggul banyak dipangkas. Tidak butuh debat panjang untuk menyimpulkan bahwa maksud utama revisi adalah pelemahan KPK. Apabila DPR bersikukuh melanjutkan pembahasan hingga paripurna, tidak berlebihan publik mencurigai alasan utama dibalik revisi adalah banyak dibongkarnya kasus korupsi kader partai politik oleh KPK.

Keputusan fraksi, praktiknya, sangat tergantung pada instruksi ketua umum partai politik. Sehingga, sikap ketua umum partai bisa dibilang sangat strategis. Titah mereka akan selalu dijadikan sebagai patokan apakah pada akhirnya kader partai yang ada di DPR akan menarik diri atau melanjutkan agenda revisi. Sebagai contoh adalah penolakan yang dilakukan oleh Partai Gerindra dan disusul oleh Partai Demokrat.

Selain di tangan ketua umum partai politik, tindak lanjut revisi UU KPK ada di tangan presiden. Publik masih ingat, semangat memperkuat KPK tertuang dalam Nawa Cita Jokowi-JK saat kampanye pemilu presiden 2014. Polemik revisi UU KPK merupakan momentum tepat bagi pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan konsistensinya terhadap Nawa Cita. Terlebih lagi, posisi presiden sangat sentral dalam pembentukan UU. Walau institusi pembuat UU adalah DPR, eksekutif turut serta membahas dan memberikan persetujuan. Presiden mempunyai semacam veto parsial untuk menolak atau menganulir wacana tersebut. Meski sikap Presiden belum tegas, akan tetapi publik masih meyakini bahwa Jokowi tidak akan mengorbankan nasib agenda pemberantasan korupsi dengan meneruskan pembahasan revisi UU KPK.***

Prihatin, Hukuman Terhadap Koruptor Semakin Ringan

Secara keseluruhan, hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) menjelaskan fenomena yang memprihatinkan. Menjadi koruptor di Indonesia itu tuntutannya ringan, vonisnya ringan dan dendanya kecil. Padahal Indonesia dan negara – negara yang meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi (UNCAC) telah bersepakat bahwa, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa.

( Laporan lengkap dapat dibaca di www.antikorupsi.org/ZG5 )

ICW secara rutin melakukan pemantauan terhadap seluruh putusan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia. Pada tahun 2015 lalu, ICW berhasil pemantauan terhadap 524 perkara korupsi. Menariknya, sebanyak 461 terdakwa (81,7%) dinyatakan bersalah atau terbukti melakukan korupsi. Namun, rata - rata vonis untuk koruptor selama tahun 2015 hanya 26 bulan (2 tahun 2 bulan penjara). Jika dibandingkan dengan rata - rata tahun sebelumnya, vonis terhadap pelaku korupsi dapat dikatakan menurun. Pada tahun 2014 lalu misalnya, rata – rata vonis 32 bulan (2 Tahun 8 Bulan).

Lebih lanjut, dari putusan yang berhasil diidentifikasi, ICW mengklasifisikan 4 (empat) kategori. Pertama, vonis yang dianggap berat. Yaitu penjatuhan vonis dengan pidana penjara diatas 10 tahun. Ada terdapat sekitar 3 putusan, atau 0,7%. Kedua, vonis yang dianggap sedang. Yaitu pidana penjara yang dijatuhkan di rentang pidana 4 sampai 10 tahun. Ada sekitar 56 putusan, atau 9,9%. Ketiga, vonis yang dianggap ringan, yaitu penjatuhan pidana diantara 1 sampai 4 tahun. Pertimbangannya, dalam UU Tipikor, pidana minimal yaitu 1 tahun sampai 4 tahun. Ada sekitar 401 orang, atau 71,1%. Kategori ini merupakan penjatuhan pidana yang paling sering di temukan.

Dan keempat, pemberian vonis bebas. Tercatat sekitar 68 putusan, atau 12,12%. Terkait dengan hal ini, pemantauan ICW juga menjelaskan bahwa Pengadilan Tipikor Banda Aceh merupakan yang paling banyak memberikan vonis bebas.

Pada sisi penjatuhan denda, 309 terdakwa hanya dijatuhi denda rentang Rp 50 Juta. Jika mengacu pada pasal 3 UU Tipikor, denda ini merupakan batas minimal.

Hal lain yang juga penting untuk menjadi perhatian adalah kecenderungan Jaksa Penuntut umum untuk memberikan tuntutan. Pemantauan ICW menyebutkan bahwa, rata – rata penuntutan perkata korupsi adalah 42 bulan, atau 3 tahun 6 bulan. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi vonis yang akan diberikan oleh Majelis Hakim. Sulit rasanya bagi hakim untuk memberikan hukuman maksimal, jika penuntut umum menuntut minimal.

Hasil pamantauan ICW seharusnya menjadi refleksi bagi Penuntut Umum dan Mahkamah Agung. Perlu ada penyeragaman perspektif di kalangan hakim dalam melihat dampak yang ditimbulkan akibat korupsi. Kejaksaan harus memberikan tuntutan diatas rata – rata pidana biasa, dan hakim tipikor harus memberikan hukuman yang berat jika terbukti bersalah. Bukankah Negeri ini menganggap korupsi adalah kejahatan yang luar biasa? Jika ya, lantas mengapa hukumannya biasa – biasa saja?***

BERITA MINGGU INI

UPDATE STATUS

4 Februari

  • Terdakwa kasus korupsi dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan pengadaan alat medis tahun 2008-2011 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Indra Lukmana, divonis satu tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Serang.

  • Kasus dugaan korupsi Uninterruptible Power Suply (UPS) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, disidangkan, dengan menghadirkan saksi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

  • Tipikor Polda Kaltim kembali menetapkan lima tersangka korupsi pembangunan bandara Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Satu dari kelima tersangka adalah pejabat setempat.

5 Februari

  • Sekretaris Jenderal DPR, Winantuningtyastiti Swasanani, diperiksa KPK dalam kaitannya dengan kasus Damayanti Wisnu Putranti.

9 Februari

  • Penasehat Hukum terdakwa kasus korupsi di Ditlantas Polda NTT, Nikolaus Liko Kolin, mengajukan pledoi atau pembelaan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejati NTT.

  • Direktorat Kriminal Khusus Polda Kaltim resmi menahan empat tersangka yang diduga melakukan praktek korupsi pembangunan bandara Udara Kabupaten Paser di desa Padang Pengrapat Rantau Panjang, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser.

  • Berkas tiga tersangka kasus dugaan korupsi anggaran pembebasan lahan Bandara Bobong, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara tahun anggaran 2009 senilai Rp 4,6 miliar siap dilimpahkan ke kejaksaan.

  • KPK memeriksa anggota DPR RI Komisi V DPR RI, Fauzih Amro, sebagai saksi dalam kasus pemberian hadiah terkait proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.

10 Februari

  • Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis hukuman terhadap mantan Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin Imron, menjadi 13 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan hak politiknya dicabut.

  • KPK menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan fasilitas sarana budi daya pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan di Kementerian Pertanian tahun anggaran 2013.

  • Bekas Menteri Pariwisata serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, divonis penjara 4 tahun dengan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.

  • Kasus dugaan korupsi Bank Rakyat Indonesia unit Bandar Seikijang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan