Remisi dan Korupsi

Wacana moratorium remisi bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, dan lain-lain mengemuka kembali setelah Menkumham Amir Syamsuddin dan Wakil Menkumham Denny Indrayana menyatakan akan memperketat syarat pemberian remisi bagi narapidana.

Namun, kedua pejabat publik tersebut harus menimbangnimbang betul kebijakan hukum yang akan diambil karena sekalipun korupsi adalah kejahatan luar biasa, penindakannya tidak boleh melampaui batas hingga melanggar HAM. Sikap serupa juga untuk para pelaku terorisme dan kejahatan luar biasa lainnya. Sebagian pihak menilai remisi itu seperti pesta bagi koruptor.Namun, jika diteliti, penilaian itu berangkat dari kasus-kasus penyimpangan pemberian remisi seperti kasus Urip Tri Gunawan.

Padahal, benar salahnya suatu aturan dan kebijakan tidak bisa dinilai dari kasus-kasus penyimpangan dan pelanggaran.Tepat dan tidaknya suatu aturan dan kebijakan dinilai dari hasil yang berlaku umum. Dengan demikian, evaluasi tentang remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, sebagaimana tindak pidana terorisme, narkotika,danlain-lain,didasari pencapaian tujuan pemberian remisi sebagai salah satu hak narapidana dalam sistem pemasyarakatan.

Sebagaimana diketahui, sejak lahirnya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995, Indonesia menghapuskan sistem kepenjaraan dan menggantinya menjadi sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Sistem kepenjaraan memang untuk menghukum orang sesuai putusan hakim,dan tidak berorientasi pada upaya perbaikan kualitas kepribadian dan perilaku harian narapidana. Tidak dikenal kata tobat, pemaafan, atau pemberian penghargaan karena perubahan tindakan orang yang dipenjara.

Karena itu, sistem kepenjaraanhanya cocokuntukwarga negara jajahan. Sebaliknya, sistem pemasyarakatan sejalan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat 1 Pasal 28D ayat 1.Selain itu, negara ini juga telah meratifikasi Kovenan tentang Hak Sipil dan Hak Politik dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Mekanisme
Sekalipun rezim Orde Baru banyak dikritik soal kebijakan politiknya, ruang perbaikan telah dibuka sejak 1995 dengan penggantian sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Namun, pemerintah kemudian membatasi pemberian remisi, asimilasi,pembebasan bersyarat,dan cuti bagi narapidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan HAM yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Pengaturan itu lewat keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang mengubah PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Walaupun pemberian hak-hak narapidana tindak pidana berat tersebut dipersulit,aturan yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tetap mengakui hak-hak asasi narapidana tidak hilang karena dia menerima hukuman. Kendati remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti adalah hak narapidana,pengetatan pemberian hak tersebut dapat dilakukan sepanjang sesuai aturan dan prosedur.

Inilah yang seharusnya menjadi agenda pemerintah sehingga dapat mencegah berbagai penyimpangan. Dalam hal syarat berkelakuan baik misalnya, perlu dirumuskan lebih detil kriteria dan mekanisme mengukur pencapaian kriteria tersebut oleh narapidana. Bila syarat berkelakuan baik tidak terukur secara objektif dan universal, faktor subjektivitas aparat Ditjen Pemasyarakatan akan lebih berperan. Subjektivitas inilah yang dapat membuka peluang penyimpangan.

Dalam penilaian kelakuan baik tersebut, para ulama dan tokoh agama lain terutama yang biasa mengisi pembinaan rohani di lembaga pemasyarakat dapat dilibatkan.Para tokoh agama juga dapat dilibatkan untuk aktif memantau perkembangan pembinaan mereka. Lagi pula, narapidana korupsi yang telah memperbaiki perilakunya boleh jadi lebih baik kualitasnya daripada mereka yang tidak dihukum hanya karena lebih lihai dan tidak tertangkap tangan misalnya. Selain itu, pengembalian dana yang dikorup atau kerugian negara juga perlu menjadi pertimbangan pemberian remisi.

Dalam kasus pelaku terbukti memperkaya diri sendiri dan keluarga,remisi,asimilasi, cuti,dan pembebasan bersyarat hanya dapat dipertimbangkan jika narapidana segera mengembalikan seluruh dana yang dikorup,kerugian negara, dan berbagai jenis pidana tambahan lainnya.

Revisi
Selama ini pelaksanaan remisi diatur secara teknis dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor 174 Tahun 1999. Kepmen itulah yang perlu direvisi dengan memasukkan beberapa usulan saya di atas. Adapun peninjauan untuk menghapuskan remisi, selain merupakan bentuk pelanggaran HAM dan konstitusi, wacana itu juga seperti memutar balik jam sejarah bangsa Indonesia ke zaman kolonial Belanda.

Sungguhpun setiap narapidana korupsi berhak memperoleh remisi dan hak-hak lain asalkan memenuhi syarat, proses pemidanaan kasuskasus korupsi juga harus diperbaiki. Fase pemidanaan inilah yang merupakan hulu dari ikhtiar pemberantasan korupsi yang harus dibenahi secara paralel dengan upaya pemasyarakatan narapidana korupsi. Selama ini banyak pihak mengeluhkan para pelaku divonis sangat ringan. Sebagian terpidana malah tidak dapat dieksekusi karena telah melarikan diri ke luar negeri seperti pelaku kasus-kasus perampokan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/Kredit Likuiditas Bank Indonesia.

Padahal, mereka seharusnya dapat dijatuhi hukuman mati karena melakukan korupsi terhadap dana keuangan negara ketika negara dalam keadaan krisis ekonomi dan sangat genting. Para penegak hukum memang perlu mempertimbangkan pemberatan hukuman bagi koruptor.Mereka yang mengorup Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) dalam kasus Bank Century misalnya dapat dipertimbangkan menerima vonis yang sangat berat dibanding pada kasus kelalaian pejabat atau kebijakan yang dinilai keliru.

Begitu pula para penyelenggara negara dan aparat birokrasi yang berkali-kali korupsi, termasuk melakukan pelanggaran di dalam lembaga pemasyarakatan. Sekurangkurangnya para koruptor tidak lagi divonis mendekati sanksi minimal sehingga kalaupun nanti mereka menerima remisi sesuai persyaratan,rasa keadilan publik tidak perlu tercederai. ●

AHMAD YANI SH MH, Wakil Ketua Fraksi PPP, Anggota Komisi III DPR
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 21 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan