Penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Kemenkeu berbuntut panjang. Kepemilikan harta tidak wajar dan kepatuhan pembayaran pajak mengemuka pasca diketahui bahwa anak pejabat Kemenkeu tersebut gemar memamerkan gaya hidup mewah.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.
Penegakan etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai sorotan. Penetapan Dewan Pengawas pada hari ini telah menggugurkan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar patut dipertanyakan. Dalam keterangan persnya, Dewan Pengawas memandang Lili bukan lagi insan KPK, karena pengunduran dirinya telah mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71/P/2022. Akibatnya, proses sidang etik tidak dapat dilanjutkan.
Penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi tak lebih dari sekadar retorik, penuh kontroversi, dan tumpul. Kesimpulan ini bukan analisa kosong, melainkan berdasarkan sejumlah temuan Indonesia Corruption Watch, satu diantaranya menyangkut kegagalan meringkus buronan mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku. Bagaimana tidak, terhitung sejak ditetapkan sebagai tersangka, 900 hari pencarian telah berlalu tanpa menghasilkan temuan signifikan.
Salah satu ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, sempat berujar bahwa setiap produk hukum harus mengadopsi nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Begitu pula dalam putusan lembaga kekuasaan kehakiman, penerapan nilai tersebut menjadi penting sebagai orientasi bagi para pencari keadilan. Namun, belakangan waktu terakhir, alih-alih tercapai, putusan majelis hakim terlihat hanya menitikberatkan kepada kepentingan pelaku ketimbang korban kejahatan.
Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. Betapa tidak, sesumbar yang selama ini diucapkan oleh pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti. Alih-alih meningkat signifikan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38. Hal ini setidaknya menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berjalan di tempat.
Pemberantasan korupsi semakin berada di titik nadir. Segala narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh pemerintah dan DPR terbukti hanya ilusi semata.
Pada hari ini, 30 Agustus 2021, Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Lili terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua pelanggaran, yaitu, menyalahgunakan pengaruh selaku komisioner untuk kepentingan pribadi, dan berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengeluarkan peraturan kontroversial yang menyulut kemarahan publik. Dalam peraturan baru yang ditandatangani pimpinan KPK pada 30 Juli 2021, yaitu Peraturan Pimpinan KPK No. 6 tahun 2021, perjalanan dinas di lingkungan KPK untuk kegiatan rapat, seminar, dan sejenisnya disebut ditanggung oleh pihak penyelenggara. Kebijakan ini membuka peluang berbagai pihak untuk merusak independensi KPK melalui pemberian fasilitas kepada pegawai KPK.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) baru saja merilis temuan atas pemeriksaan dugaan maladministrasi penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK. Hasilnya –sebagaimana telah diprediksi sebelumnya-, Pimpinan KPK terbukti melakukan pelanggaran prosedur, administrasi, hingga penegakan hukum. Putusan ini memperparah borok kepemimpinan Firli Bahuri di KPK.