Polemik Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Upaya Belenggu Hak Rakyat dan Ruang Gelap Politik Uang

Sumber Foto: KOMPAS.com/Kristianto Purnomo

Tak henti-hentinya, pasca mengintimidasi penyelenggara pemilihan umum (pemilu) daerah agar berbuat curang dalam proses verifikasi partai politik, kali ini Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Hasyim Asyari, mengeluarkan pernyataan kontroversial. Bagaimana tidak, dalam sebuah acara yang diadakan akhir Desember lalu, Hasyim mengomentari proses uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengatakan bahwa kemungkinan pemilu mendatang akan digelar menggunakan mekanisme proporsional tertutup. 

Pernyataan janggal tersebut sebenarnya bukan kali pertama disampaikan oleh Hasyim. Beberapa bulan sebelum itu, tepatnya pertengahan Oktober, ia diketahui pernah menyatakan dukungan terhadap sistem proporsional tertutup dengan alasan desain surat suara. Padahal, KPU RI sebagai lembaga memiliki mandat menjalankan perintah undang-undangan, bukan justru melontarkan pendapat yang melenceng dari mandat UU Pemilu. Atas dasar peristiwa itu, menjadi wajar dan dapat dipahami jika sebagian besar masyarakat dan partai politik melayangkan kritik tajam kepada Hasyim. 

Ada empat poin yang penting diuraikan mengenai sistem proporsional tertutup. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif. Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik. Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. 

Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu. Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik. 

Bisa dibayangkan, masih dalam tahap pencalonan saja, proses penjaringan calon anggota legislatif terbilang sangat tertutup. Atas dasar itu, tak heran jika kemudian pada tahun 2019 lalu mereka secara serampangan mengusung 72 calon anggota legislatif yang sebelumnya pernah menyandang status sebagai narapidana korupsi. Dengan logika yang sama, tentu sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup. 

Pernyataan Hasyim patut diduga telah melanggar kode etik sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf c Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Aturan itu menyebutkan bahwa dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu dilarang mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu. Atas dasar itu, penjatuhan sanksi merupakan pilihan yang tepat dan rasional diberikan kepada pemimpin KPU RI ini.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan