PERPU = Political Corruption?

Atmosfer optimisme terhadap upaya pemberantasan korupsi kian suram saja. Harapan dan kepercayaan publik terhadap keseriusan kekuasaan dalam memberantas korupsi secara amanah dan konsisten tampak makin merosot. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dituding sebagai "biang keladi"-nya.

Penerbitan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pengisian dan Penetapan Pejabat Sementara KPK serta Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim 5, yang ditugasi memberikan rekomendasi kepada Presiden tentang nama calon yang akan menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK, seolah menjadi ujung dari proses "penghancuran gerakan antikorupsi".

Jika diamati lebih teliti, proses itu dimulai dari pembunuhan karakter pimpinan KPK dan kriminalisasi kewenangan KPK. Jauh hari sebelum sebagian pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka, ada informasi yang sudah disebarluaskan secara sistematis, isu tentang "kebusukan" di dalam tubuh KPK. Periode berikutnya, dilanjutkan dengan delegitimasi sistem hukum yang menjadi penopang tugas dan kewenangan KPK.

"Kekuasaan" dan sebagian anggota parlemen seolah bahu-membahu mendelegitimasi kewenangan KPK berpijak pada spirit reformasi, yang jelas menyuarakan "anti-KKN". Proses dimaksud berujung pada dekonstruksi gerakan antikorupsi. KPK "dilumpuhkan" dan "dikooptasi" karena menjadi salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi. Kepercayaan publik terhadap KPK "diluluhlantakkan", soliditas masyarakat dipecah-pecah dengan pembentukan Tim 5, yang seolah-olah sebagian anggotanya merupakan representasi publik.

Perpu merupakan salah bentuk perundang-undangan yang mendapat legitimasi konstitusi. Presiden mempunyai hak mengeluarkan perpu dalam hal adanya kegentingan memaksa, sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945. Kewenangan subyektif Presiden dalam mengeluarkan perpu dikontrol melalui adanya syarat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa persidangan berikutnya.

Ada dua hal penting yang menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan perpu, yaitu, pertama, kemungkinan terjadinya abuse of power potensial dilakukan pada penggunaan kewenangan subyektif presiden dalam penerbitan perpu. Presiden dapat memberi interpretasi secara sepihak atas dasar kepentingannya sendiri dalam mengkualifikasi ada-tidaknya "kegentingan memaksa". Pendeknya, presiden dapat memaksakan sifat "kemendesakan dan kegentingan" sesuai dengan kebutuhan serta kepentingan kekuasaannya walau tidak berpijak pada kepentingan substantif dari rakyat.

Kedua, pada sejarah pembuatan perpu di Indonesia pascakemerdekaan, 37 buah perpu telah dikeluarkan. Jumlah pembuatan perpu di era reformasi sangat banyak karena ada 24 buah bila dibanding pada Orde lama sebanyak 9 buah, dan masa Orde Baru hanya 4 buah. Yang menarik, Presiden SBY telah mengeluarkan setidaknya 15 perpu sepanjang pemerintahannya, mulai 2005 hingga 2009. Fakta inflasi perpu perlu dikaji lebih mendalam.

Bisa saja terjadi, problem sosial-politik pada masa reformasi lebih "dahsyat" ketimbang pada periode Orde Baru dan Orde Lama, sehingga ada begitu banyak kegentingan yang memaksa yang perlu ditangani, atau penguasa tidak begitu yakin dapat mengendalikan kekuasaan di parlemen sehingga lebih "efisien" membuat kebijakan melalui perpu agar parlemen tidak "menyandera" eksekutif untuk hal-hal yang tidak begitu strategis. Juga bisa terjadi, perpu merupakan instrumen hukum yang paling efektif untuk menetrasi kebijakan politik penguasa guna melindungi kepentingannya sendiri atau dengan cara memanipulasi kepentingan kekuasaan seolah kepentingan publik.

Secara umum, pada kondisi khusus tertentu, di mana kekuasaan mempunyai intensi untuk mendesakkan kepentingan dan/atau "mengkooptasi" suatu lembaga negara tertentu, instrumen yang paling efektif untuk melegitimasi tindakannya adalah membuat perpu. Penyalahgunaan otoritas melalui justifikasi penggunaan kewenangan yang biasa dilakukan oleh penguasa yang melakukan abuse of power inilah yang biasa disebut sebagai political corruption.

Pada prakteknya, tindakan yang dikualifikasi sebagai political corruption dapat dilakukan melalui penggunaan kewenangan subyektif yang tidak didasari prinsip akuntabilitas yang ditujukan bagi kepentingan kemaslahatan dan tidak dilaksanakan secara amanah, yang diwujudkan dalam bentuk perundangan untuk menjustifikasi adanya legitimasi.

Pada era Orde Baru, bentuk perundangan perpu tidak banyak dibuat untuk menjustifikasi kepentingan kekuasaan karena penguasa tampaknya lebih banyak menggunakan bentuk perundangan berupa keputusan presiden (keppres). Itu sebabnya, ada inflasi keppres karena ada cukup banyak keppres yang dibuat untuk mewadahi segala kepentingan kekuasaan.

Apakah perpu di era reformasi mempunyai tendensi seperti keppres di era Orde Baru? Sulit untuk menyimpulkannya secara sepihak dan sepintas lalu, tapi bagaimana dengan Perpu Pelaksana Tugas Pimpinan KPK? Secara umum, perpu, yang merupakan hak subyektif presiden dan pada banyak kajian antikorupsi hak subyektif tanpa kontrol yang efektif, mempunyai potensi menjadi tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai bagian dari political corruption.

Bilamana Pasal 33 (1) Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 yang dijadikan dasar perpu, sangat terbuka untuk diperdebatkan apakah benar telah terjadi kekosongan pimpinan KPK sehingga Presiden dapat mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Apa yang dimaksud dengan kekosongan? Apakah kondisi dengan dua orang pimpinan KPK yang masih ada--karena dua orang diberhentikan sementara dan satu orang telah diberhentikan--itu dapat dikualifikasi sebagai kekosongan pimpinan KPK.

Yang juga penting untuk diperdebatkan, seberapa mendesak hal tersebut mempengaruhi kinerja Presiden dan upaya pemberantasan korupsi sehingga sangat merugikan kebijakan dan pelaksanaan pemberantasan korupsi, di mana Presiden punya kepentingan dan perhatian khusus atas hal itu.

Isu kunci perpu di atas juga terletak pada intensi kepentingan Presiden untuk mengabaikan prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota pengganti, yang telah diatur secara ketat dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pengabaian pasal-pasal tersebut berarti pelaksanaan penggantian tidak perlu dilakukan secara transparan, dan Presiden memutuskan siapa yang layak menjadi calon terpilih karena dapat "mengebiri" kewenangan DPR.

Tulisan ini sekali lagi tak hendak menyimpulkan ada-tidaknya potensi "political corruption" melalui penerbitan perpu. Kini ada sejumlah kalangan yang mempersoalkan suatu fakta lain yang mengemuka, di mana KPK tengah menangani kasus Bank Century. Pada kasus itu, tidak hanya akan diperiksa adanya dugaan keterlibatan petinggi Bareskim Polri, tapi juga kontroversi pengucuran dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terhadap Bank Century, yang potensial merugikan keuangan negara triliunan rupiah karena dana yang dikucurkan LPS itu melebihi jumlah dana yang direkomendasikan oleh DPR. Badan Pemeriksa Keuangan juga akan melakukan audit investigasi dan audit kinerja untuk memastikan ada-tidaknya fraud dan sejauh mana keterlibatan berbagai pihak dalam kekuasaan (BI, pemerintah, dan kepolisian).

Apakah ada hubungannya penanganan kasus Bank Century dengan kasus lainnya yang potensial melibatkan kepentingan kekuasaan dengan kriminalisasi pimpinan KPK, delegitimasi sistem hukum untuk penindakan korupsi yang diatur di dalam Undang-Undang KPK, dan dekonstruksi pemberantasan korupsi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan penerbitan Perpu Pelaksana Tugas Pimpinan KPK. Kesimpulan atas penilaian itulah yang kelak akan menjawab, apakah perpu = political corruption.

Bambang Widjojanto, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Senior Lawyer di WSA Lawfirm. Anggota Tim Pembela Pimpinan KPK yang Diberhentikan Sementara

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan