Musik, Budaya dan Perlawanan Terhadap Korupsi Iklim

Pada 23–27 Juni 2025, Lokakarya IKLIM digelar sebagai ruang kolaboratif bagi musisi, seniman, dan organisasi masyarakat sipil untuk merespons krisis iklim lewat pendekatan budaya dan komunikasi kreatif. Kegiatan ini melibatkan 78 peserta, termasuk 15 musisi dan band terpilih seperti Kunto Aji, The Brandals, dan Reality Club, serta dukungan dari berbagai organisasi seperti Greenpeace, Trend Asia, EcoNusa, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Salah satu sorotan penting datang dari sesi yang dibawakan oleh Egy Primayogha dari ICW, yang memaparkan keterkaitan antara korupsi dan krisis iklim. ICW menyoroti bagaimana korupsi dalam tata kelola sumber daya alam memperparah degradasi lingkungan, menghambat transisi energi bersih, serta memicu konflik sosial. Kasus-kasus seperti “pemutihan” kawasan hutan untuk sawit ilegal dan pembiaran proyek tambang batubara di wilayah sensitif menjadi bukti bahwa penyalahgunaan kekuasaan ikut memperparah ketimpangan iklim.
Dalam lokakarya ini, ICW mengajak peserta memahami bahwa perlawanan terhadap krisis iklim tidak bisa dilepaskan dari perjuangan melawan korupsi. Pesan ini dikuatkan dengan testimoni dari komunitas adat Mollo Utara yang menghadapi tekanan ganda akibat krisis iklim dan korupsi sumber daya alam di wilayah mereka, disampaikan langsung oleh Marlinda Nau, Randiano Tamelan, dan Wilibrodus Oematan.
Lokakarya ini menjadi tonggak awal gerakan kolaboratif lintas disiplin yang bertujuan untuk memobilisasi 3,5% populasi Indonesia agar terlibat aktif dalam aksi iklim. Para musisi akan melanjutkan kampanye ini dengan merilis lagu-lagu bertema krisis iklim menjelang IKLIM Fest pada 1 November 2025.