Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang dan Jasa Saat COVID-19

Policy Paper
PBJ COVID-19 (foto: voaindonesia.com)
PBJ COVID-19 (foto: voaindonesia.com)

Indonesia merupakan salah satu negara yang terjangkit wabah Coronavirus Disease 19 atau yang dikenal dengan istilah COVID-19. Pagebluk telah masuk ke Indonesia sejak tanggal 2 Maret 2020 dan hingga saat ini jumlahnya bertumbuh secara eksponensial. Per tanggal 13 Mei 2020 kasus COVID-19 di Indonesia mencapai 15.438 orang yang positif dan sebanyak 1.028 orang meninggal akibat corona.

Berdasarkan Indeks Ketahanan Kesehatan Global di wilayah Asia tenggara yang dikeluarkan pada Oktober tahun 2019 oleh Nuclear Threat Initiative, Indonesia menduduki posisi keempat dengan skor 56,6 skala 0-100. Semakin tinggi nilainya semakin bagus indeks ketahanan kesehatan. Secara global, Indonesia menduduki peringkat 30 dari 195 negara. Penilaian didasari atas enam kategori, yakni pencegahan, deteksi dan pelaporan, kecepatan merespons, sistem ketahanan, pemenuhan terhadap standar internasional, dan risiko lingkungan.1 Jika melihat indeks tersebut menandakan bahwa kondisi ketahanan kesehatan di Indonesia tidak buruk.

Namun secara fakta kondisinya sangat bertolak belakang. Indonesia dinilai tidak mampu dalam menanggulangi COVID-19. Sebab, berdasarkan statistik nyatanya kasus positif yang disebabkan oleh virus corona di Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Asia Tenggara lainnya. Apalagi tingkat kematian orang akibat corona di Indonesia hampir sama dengan Filipina, yakni 6,7 persen.2 Hal ini makin memperburuk keadaan yang mana menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap dalam mengatasi kondisi wabah penyakit.

Untuk menekan penyebaran virus yang kian masif dan mengurangi korban berkelanjutan, perlu adanya upaya pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah. Pembatasan aktivitas seperti perjalanan ke dalam atau luar negeri, memperketat mobilisasi warga dengan berdiam diri di rumah, menutup tempat yang berpotensi melibatkan banyak orang, dan lain lain. Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk membuat strategi penelusuran terhadap warga yang terinfeksi oleh COVID-19. Sebab gejala COVID-19 yang muncul seringkali tidak terdeteksi.

Selain pembatasan aktivitas, World Heatlh Organization<(WHO) mendesak agar seluruh negara memperbanyak tes virus COVID-19. Sebab, salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran virus adalah dengan melakukan pendeteksian terhadap warga yang diduga pernah berkontak dengan pasien positif. Dalam konteks ini negara membutuhkan alat tes virus dalam jumlah banyak untuk mendeteksi setiap warga.

Peran negara dalam menanggulangi penyebaran pagebluk bukan hanya sekadar pada aspek ketersediaan alat uji saja, melainkan juga memastikan bahwa para tenaga kesehatan memiliki Alat Pelindung Diri (APD) untuk meminimalisir terpaparnya virus ketika melakukan penanganan. Wacana pemerintah pun saat ini juga telah sampai pada ketersediaan obat untuk para penderita COVID-19.

Oleh sebab itu, untuk melakukan mitigasi terhadap bencana non alam, maka pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus (Perppu 1/2020). Aturan tersebut salah satunya mengatur mengenai anggaran yang dapat digelontorkan untuk penanganan wabah sebesar Rp405, 1 triliun.3

Anggaran tersebut akan digunakan ke dalam empat kategori, yakni: 1). Belanja sektor kesehatan sebesar Rp75 triliun; 2). Insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp70,1 triliun; 3). Perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun; dan 4). Program pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun.

Besarnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk menanggulangi COVID-19 berpotensi dapat disalahgunakan apabila longgarnya aturan dan besarnya diskresi yang diambil oleh para pejabat publik, terutama dalam konteks pengadaan barang dan jasa.

Oleh sebab itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat analisis untuk melihat potensi kecurangan yang terjadi terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa di kondisi wabah. Hal ini dilakukan untuk memberikan sebuah rekomendasi kepada pemangku kebijakan agar dapat menjalankan proses pengadaan tanpa mengabaikan prinsip dan juga etika.

 

Pembahasan

Memutus rantai penyebaran COVID-19 merupakan tanggung jawab negara dalam rangka menanggulangi bencana. Sebab, COVID-19 termasuk dalam kategori bencana nonalam sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007) yang menyatakan bahwa:

Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

Untuk menanggulangi bencana nonalam, maka pemerintah menunjuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Hal tersebut diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada Pasal 8.

Kemudian, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional (Keppres 12/2020). Hal ini untuk melegitimasi kerja-kerja yang nantinya akan dilakukan oleh Tim Gugus Tugas.

Proses penanggulangan wabah COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah dinilai tertutup. Sebab, sejumlah informasi terkesan ditutupi dengan dalih agar membuat masyarakat tidak panik. Namun, pemerintah gagal menetapkan prioritas informasi apa yang seharusnya wajib disampaikan ke publik.

Padahal salah satu hal harus dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi bencana yakni dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) huruf e UU 24/2007. Selain itu, di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008) pun dinyatakan bahwa:

Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Keterbukaan informasi dibuat sebagai instrumen bagi masyarakat untuk mengawasi kerja-kerja yang dilakukan oleh negara, khususnya dalam kondisi bencana nonalam. Sehingga, peran masyarakat dibutuhkan dalam memantau apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penanganan bencana.

Masyarakat dituntut untuk memantau setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di masa bencana salah satunya agar tidak terjadinya potensi kecurangan. Sebab anggaran untuk penanganan COVID-19 yang digelontorkan oleh pemerintah sangat besar. Hal ini memicu terjadinya potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat menimbulkan kerugian negara.

Apalagi pada Pasal 50 ayat (1) UU 24/2007 terdapat ruang diskresi yang apabila tidak dipantau maka dapat menimbulkan potensi kecurangan. Pasal tersebut berbunyi:

Dalam hal status kedaruratan bencana ditetapkan, Badan Nasional Penangglangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai kemudahan akses yang meliputi:

  1. Pengerahan sumber daya manusia;

  2. Pengerahan peralatan;

  3. Pengerahan logistik;

  4. Imigrasi, cukai, dan karantina;

  5. Perizinan;

  6. Pengadaan barang/jasa;

  7. Pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;

  8. Penyelamatan; dan

  9. Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga”.

Upaya transparansi dan akuntabilitas terkait dengan kerja-kerja pemerintah dalam menanggulangi COVID-19 secara sadar perlu disampaikan ke publik. Hal tersebut tercantum pada Pasal 3 ayat (2) huruf e UU 24/2007 yang berbunyi:

Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu transparansi dan akuntabilitas”.

Dalam konteks anggaran, pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp75 triliun yang dapat digunakan pada sektor kesehatan dari total sekitar Rp405,1 triliun. Besarnya anggaran yang telah dialokasikan berpotensi memunculkan kecurangan apabila tidak diawasi oleh masyarakat.

Pada sektor kesehatan, potensi terjadinya korupsi cukup besar. Berdasarkan hasil pemantauan ICW terkait dengan Tren Penindakan Kasus Korupsi Sektor Kesehatan sejak tahun 2010 hingga 2015 menemukan bahwa ada sebanyak 219 kasus korupsi di bidang kesehatan dengan nilai kerugian negara sebesar Rp890,1 miliar. Objek yang paling banyak dikorupsi pada sektor kesehatan yakni pengadaan alat kesehatan.

Dari total kasus yang ditangani oleh penegak hukum, sebanyak 107 kasus atau sekitar 48 persen merupakan korupsi alat kesehatan dengan menimbulkan kerugian negara sekitar Rp543,1 miliar. Modus yang seringkali muncul dalam aspek korupsi alat kesehatan yakni melakukan penggelembungan harga. Sehingga selisih harga menjadi keuntungan para pelaku korupsi.

Korupsi pengadaan ketika kondisi bencana pun pernah terjadi. Ketika bencana Tsunami melanda Palu, Sulawesi Tengah, terjadi kasus dugaan korupsi suap pelaksanaan proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di lingkungan Kementerian Pekerjan Umum dan Perumahan. Pada saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan berhasil menetapkan sebanyak delapan orang tersangka.4

Contoh lainnya yaitu ketika mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, divonis bersalah akibat melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa tahun 2005. Selain itu, ia juga didakwa menerima gratifikasi dari Direktur Keuangan PT Graha Ismaya berupa cek pelawat Bank Mandiri yang totalnya sekitar Rp1,87 miliar.5

Dari contoh di atas tergambar bahwa anggaran pada sektor kesehatan paling rentan dikorupsi ketika dalam proses pengadaan barang dan jasa. Apalagi ketika kondisinya bencana, kerentanan korupsi di sektor pengadaan alat kesehatan akan bertambah menjadi dua kali lipat.

 

Potensi Korupsi Pengadaan Barang/Jasa

Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) telah diatur tentang pengadaan barang/jasa dalam rangka penanganan keadaan darurat. Pada Pasal 59 ayat (5) dijelaskan bahwa:

Untuk penanganan keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menunjuk Penyedia terdekat yang sedang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa sejenis atau Pelaku Usaha lain yang dinilai mampu dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa sejenis.

Turunan Pasal 59 Perpres 16/2018 yakni Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Dalam Penanganan Keadaan Darurat (Perlem 13/2018). Secara umum, proses pengadaan dalam kondisi keadaan darurat dipersingkat hanya menjadi tiga tahapan yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan pembayaran.

Pada tanggal 23 Maret 2020 LKPP mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan PBJ Penanganan Darurat COVID-19. Dalam aturan tersebut terdapat empat proses yang harus dilaksanakan untuk melakukan pengadaan barang/jasa, antara lain sebagai berikut:

  • Perencanaan

Dalam proses perencanaan, potensi korupsi akan terjadi apabila pengadaan tidak sesuai dengan identifikasi kebutuhan. Selain itu, dapat juga terjadi apabila pelaku pengadaan (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen) keliru dalam menetapkan cara pengadaan.

  • Pelaksanaan Pemilihan

Sejumlah kasus yang ICW pernah identifikasi menemukan bahwa korupsi banyak terjadi pada saat proses pelaksanaan. Terdapat beberapa celah potensi korupsi yang muncul ketika pelaksanaan, seperti adanya konflik kepentingan, terjadinya suap untuk menjadi penyedia barang, atau yang jamak ditemukan yakni penggelembungan harga.

  • Pelaksanaan Pekerjaan

Pada proses pelaksanaan, terdapat tahapan yang perlu ditempuh untuk memastikan pengadaan yang dilakukan sudah sesuai dengan apa yang direncanakan. Tahapan yang harus dilakukan oleh pelaku pengadaan yakni: pemeriksaan lokasi, serah terima lokasi, Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)/Surat P P (SPP), pelaksanaan pekerjaan, perhitungan hasil pekerjaan, dan serah terima hasil pekerjaan.

Celah korupsi yang dapat terjadi ketika proses pelaksanaan yakni pada saat hasil pekerjaan tidak sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan di awal sehingga ada upaya untuk menurunkan kualitas barang yang dibeli. Penyebabnya yakni pelaku pengadaan tidak melakukan pengecekan ketika barang telah disediakan oleh penyedia.

  • Penyelesaian Pembayaran

Tidak seperti proses pengadaan dalam kondisi normal, pengadaan dalam kondisi bencana kontrak dilakukan pada tahap akhir. Selain kontrak, pelaku pengadaan harus melakukan pembayaran dan melakukan audit.

Potensi korupsi yang terjadi saat proses ini adalah adanya suap yang dilakukan pelaku pengadaan terhadap auditor yang melakukan proses audit meskipun tidak melalui prosedur yang benar.

Setiap proses pengadaan menimbulkan potensi korupsi yang akan terjadi apabila pemerintah tidak secara sigap membuat mekanisme yang ketat. Oleh sebab itu, transparansi dan akuntabilitas diperlukan agar pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Selain itu, integrasi informasi diperlukan agar adanya sinkronisasi pengadaan antar pemerintah pusat dan daerah. Ketiadaan sinkronisasi data berakibat pada munculnya anggaran ganda untuk belanja alat kesehatan.

 

Pengadaan Alat Kesehatan di Masa COVID-19

Pemerintah telah melakukan sejumlah pengadaan yang berkaitan dengan penanganan wabah COVID-19, antara lain: alat uji, alat pelindung diri, dan obat.

  1. Alat Uji

Dalam konteks COVID-19, pendeteksian virus yang dilakukan oleh pemerintah telah dimulai setidaknya sejak tanggal 13 Februari 2020 sebelum munculnya kasus pertama di Indonesia. Total uji spesimen yang dilakukan dalam rentang 13 Februari hingga 1 Maret 2020 ada sebanyak 2.344. Rata-rata per hari uji spesimen diambil sebanyak 130 sampel.

Grafik 1. Uji Spesimen per tanggal 13 Februari – 1 Maret 20206

Uji spesimen

Hingga saat ini, pemerintah tidak pernah menyampaikan kepada publik alat apa yang digunakan untuk melakukan uji spesimen sebelum munculnya kasus pertama. Selain itu, pemerintah pun tidak pernah menyampaikan informasi mengenai jumlah ketersediaan alat uji. Bahkan, informasi mengenai jumlah anggaran yang digunakan untuk melakukan uji spesimen sebanyak 2.344 pun tidak diumumkan.

Hal ini menandakan bahwa pemerintah dinilai tertutup dalam memberikan informasi kepada masyarakat sehingga terjadi asimateris informasi. Ketertutupan informasi malah akan memperparah kondisi penanggulangan COVID-19.

Pasca kasus pertama muncul pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah mulai melakukan sejumlah protokol keamanan untuk mencegah penyebaran virus makin meluas. Hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan tes massal. Pemerintah menggunakan dua metode untuk melakukan tes massal, yakni rapid test serologi dan rapid test Polymerase Chain Reaction (PCR).

Semula pemerintah menggunakan rapid test serologi yang hasilnya bisa keluar dalam waktu 10 menit. Tes tersebut digunakan karena biayanya murah dan prosesnya pun juga cepat sehingga pemerintah membeli sekitar 1 juta alat dari Cina.7 Namun, tingkat akurasi terhadap hasil tes hanya 30 persen. Bahkan sejumlah negara seperti Belanda, Spanyol, Georgia, Republik Ceko, dan Turki mengembalikan alat rapid test ke negara asalnya.8 Akibatnya, anggaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membeli rapid test diduga menguap.

Kondisi semacam ini menandakan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana mitigasi untuk menanggulangi wabah. Sebab, kebijakan yang dilakukan guna menekan angka penyebaran malah menimbulkan potensi kecurangan ketika tidak efektifnya barang yang telah diadakan.

Informasi mengenai harga beli alat tersebut pun tidak pernah disampaikan ke publik. Pertanyaannya kemudian adalah, kemana rapid test serologi yang telah dibeli oleh pemerintah?

Pada akhirnya pemerintah mulai memilih opsi melakukan pengujian dengan metode PCR. Berdasarkan pernyataan dari Juru Bicara untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa uji spesimen telah dilakukan di 48 laboratorium yang tersebar di seluruh Indonesia. Target uji spesimen yang ingin dicapai minimal 10.000 per hari. Pengujian spesimen membutuhkan alat PCR dan Reagen.

Berdasarkan hasil tabulasi yang dilakukan oleh ICW sejak munculnya COVID-19 pada 2 Maret 2020 hingga per 15 Mei 2020, sampel yang telah diuji oleh pemerintah sebanyak 132.060. Rata-rata uji spesimen yang dilakukan oleh pemerintah hanya sebanyak 1.623 sampel. Artinya, target pemerintah belum tercapai setelah hampir tiga bulan Indonesia dilanda wabah.

Pemerintah pun mengakui bahwa target yang diinginkan belum tercapai. Menurut Presiden Joko Widodo, tes dengan menggunakan metode PCR per harinya baru mencapai 4.000 hingga 5.000 sampel. Dari 104 laboratorium untuk menganalisis spesimen COVID-19, baru 53 yang beroperasi.9 Penyebab terjadinya tidak tercapainya target yakni terbatasnya sumber daya manusia yang bekerja di laboratorium.10

Pemerintah mengklaim bahwa telah membeli 20 PCR dari perusahaan farmasi asal Swiss, Roche, yang mampu menguji sebanyak 9.000-10.000 per hari.11 Juga pemerintah telah mendatangkan 487.300 Reagen dari Korea Selatan sejak 16 April hingga 24 April 2020.12

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Hal yang patut untuk dilakukan dalam kondisi bencana adalah fleksibilitas dalam melakukan pengadaan. Namun prinsip transparansi dan akuntabel menjadi fondasi dalam pengadaan tetap harus dilakukan. Terutama berkaitan tentang informasi harga pembelian alat uji. Hingga saat ini BNPB sebatas memberikan informasi mengenai jumlah alat uji yang telah didistribusikan.13

  1. Alat Pelindung Diri

Persoalan lain yang muncul yakni tidak tersedianya Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga kesehatan -dokter dan perawat- yang mencukupi. Pada saat COVID-19 mewabah di Indonesia, pemerintah dinilai tidak siap untuk melindungi tenaga kesehatan khususnya dalam mendistribusikan APD.

Terhambatnya pendistribusian alat kesehatan salah satunya karena birokrasi.14 Alur pendistribusian sangat rumit. Mulai dari pemerintah provinsi kemudian dikirimkan ke pemerintah kabupaten atau kota baru masuk ke rumah sakit.

Akibat panjangnya proses birokrasi menyebabkan banyak tenaga kesehatan yang meninggal karena terpapar pagebluk. Setidaknya per 29 April 2020 telah ada 42 tenaga kesehatan yang meninggal, diantaranya 25 dokter15 dan 17 perawat16.

Namun lambat laun pemerintah mulai berbenah dalam mendistribusikan APD. Menurut laporan dari Gugus Tugas yang dapat diakses melalui situs milik BNPB, per tanggal 15 Mei 2020 telah ada sejumlah Alat Material Kesehatan (AMK) yang telah dikirimkan, antara lain:

Tabel 1. Alat Material Kesehatan Per 15 Mei 202017

No

Keterangan

Jumlah

1.

Alat Pelindung Diri

2.360.535

2.

Masker Bedah

2.748.554

3.

Goggles

29.065

4.

Bouffant Caps

50.000

5.

Masker N95

137.470

6.

Medical Gloves

845.700

7.

Face Shield

20.931

Sejumlah AMK tersebut telah didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia. Dari data yang disampaikan, tim Gugus Tugas tidak menyampaikan secara detil rumah sakit mana saja yang mendapatkan AMK tersebut. Selain itu, nominal harga yang dibeli serta distributor yang memasok AMK pun tidak disampaikan ke publik.

Informasi tersebut dibutuhkan oleh publik agar dapat melakukan pemantauan terhadap pendistribusian alat kesehatan yang telah dibeli oleh pemerintah. Sebab, apabila terdapat kekeliruan dalam melakukan pendistribusian, masyarakat dapat segera melakukan validasi terhadap sejumlah informasi yang disediakan oleh pemerintah.

  1. Obat COVID-19

Wacana yang sempat disampaikan oleh Presiden Joko Widodo terkait penanggulangan COVID-19 adalah mengenai pembelian obat. Meskipun belum ada uji klinis yang pasti dari WHO, pemerintah tetap memesan 2 juta butir obat Avigan dan 3 juta butir obat Chloroquine.18

Selain memesan kedua obat tersebut, Kementerian BUMN melalui perusahaan farmasi plat merah sedang mengupayakan untuk memproduksi obat-obatan antara lain oseltamivir. Sejak tanggal 9 April 2020 lalu, Kementerian BUMN telah membeli bahan baku untuk meracik obat yang akan diproduksi oleh Bio Farma sebanyak 500 ribu tablet.

Saat ini obat oseltamivir sudah jadi dan bakal telah didistribusikan ke rumah sakit yang menangani COVID-19. Namun informasi mengenai jumlah bahan baku yang dibeli dari negara lain, jumlah tablet yang diproduksi, jumlah tablet yang didistribusikan tidak disampaikan kepada publik.

Apabila informasi tersebut tidak dapat disampaikan oleh pemerintah, maka akan memantik mafia obat untuk melakukan penggelapan ataupun monopoli dalam hal distribusi. Sehingga peran BNPB selaku Tim Gugus Tugas dapat meminta informasi kepada seluruh pemangku kepentingan yang melakukan proses produksi obat mulai dari hulu hingga hilir.

 

Rekomendasi Terhadap Upaya Transparansi dan Akuntabel Dalam Pengadaan Bagi Pemerintah

Upaya pemerintah dalam memberikan informasi secara transparan dan akuntabel dirasa belum sepenuhnya berhasil dan cenderung parsial. Meskipun telah ada sejumlah kebijakan yang mengatur perihal pengadaan barang/jasa dalam kondisi darurat, nyatanya hal tersebut belum efektif.

Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna memberikan informasi yang transparan dan akuntabel sehingga penanggulangan bencana menjadi efektif dan efisien.19

Pertama, pemerintah harus membuat kebijakan terkait dengan sentralisasi pengadaan seperti di Italia. Negara tersebut membuat kebijakan untuk melakukan sentralisasi pengadaan ventilator kepada lembaga pengadaan nasional. Selain itu di Kolombia, kontrak yang berkaitan dengan kondisi COVID-19 harus disampaikan kepada publik melalui platform e-procurement pemerintah.20

Apabila diterapkan di Indonesia, BNPB dapat menjadi lembaga yang melakukan konsolidasi pengadaan terkait dengan COVID-19. Sebab, tanggung jawab pelaksanaan kedaruratan ada pada Kepala BNPB. Secara administratif, LKPP dapat membantu BNPB dalam hal memberikan informasi ke publik terkait dengan kontrak yang telah dilakukan antara pemerintah dengan pihak swasta. Hal ini untuk memudahkan lembaga pengawas keuangan seperti BPK dan BPKP dalam melakukan fungsi audit.

Kedua, pemerintah harus membuka akses data ke publik melalui portal daring. Lembaga pengadaan di Portugal misal, membuat dataset yang terbuka bagi publik terkait dengan pengadaan. Dataset akan diperbaharui setiap minggu serta menyampaikan kontrak kerja sama dengan pihak swasta menggunakan kerangka hukum kedaruratan. Di Ukraina, semua kontrak pengadaan darurat wajib diterbitkan secara keseluruhan, mulai dari pembayaran hingga pengiriman beserta nilainya.

Pada konteks Indonesia, kerangka hukum kedaruratan tidak mengatur secara teknis mengenai transparansi dataset pengadaan beserta dengan kontrak melalui portal daring. LKPP sebagai lembaga yang mengatur mengenai mekanisme pengadaan pun tidak menyertakan aturan teknis. Sehingga, LKPP diharapkan dapat membuat aturan secara spesifik terkait dengan keterbukaan data pengadaan hingga kontrak antara pemerintah dengan penyedia.

Ketiga, pemerintah harus mengoptimalkan penggunaan mesin pencari untuk mencari penyedia yang pernah bekerja sama dengan pemerintah. Dalam kondisi saat ini, sulit untuk mengetahui keberadaan barang-barang yang dibutuhkan akibat terbatasnya bahan baku produksi. Di Ukraina terdapat platform bisnis intelijen untuk mencari pemasok barang, CoProcure.

Di Indonesia, LKPP memiliki katalog elektronik. Setiap penyedia dapat teridentifikasi di dalam platform tersebut mulai dari barang yang disediakan hingga stok barang. Katalog elektronik dapat dioptimalisasi oleh pemerintah karena penyedianya telah terdaftar di dalam platform tersebut.

Keempat, Kementerian Kesehatan dalam pengadaan alat kesehatan tetap mengutamakan prinsip prioritas, efektif, dan efisien. Meski dalam keadaan darurat dan secara teknis tidak diatur transparansi pengadaan beserta kontrak melalui portal daring, perencanaan alat kesehatan dalam menghadapi COVID-19 harus dijalankan dan dibuka ke publik. Melihat dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang tertera dalam situs Kementerian Kesehatan RI hanya ada dokumen RUP 2013-2015, sedangkan RUP tahun 2016-2020 dan dalam menanggulangi COVID-19 tidak ada dalam situs Kementerian Kesehatan.

Kelima, pemerintah harus memastikan bahwa kebutuhan alat kesehatan merupakan hasil kajian cepat berdasarkan kondisi di lapangan. Hal ini untuk meminimalisir potensi korupsi yang dapat terjadi pada setiap prosesnya.

 

LAMPIRAN

Grafik 2. Uji Spesimen per tanggal 2 Maret – 31 Maret 2020

Uji spesimen

Grafik 3. Uji Spesimen per tanggal 1 April – 30 April 2020

Uji spesimen

Grafik 4. Uji Spesimen per tanggal 1 Mei – 13 Mei 2020

Uji spesimen

REFERENSI

1 Nuclear Threat Initiative, “Global Health Security Index, Building Collective Action and Accountability” diakses dari https://www.ghsindex.org/wp-content/uploads/2019/10/2019-Global-Health-Security-Index.pdf pada tanggal 14 Mei 2020 pukul 20:07 WIB.

2 Worldmeters, diakses dari https://www.worldometers.info/ pada tanggal 14 Mei 2020 pukul 16:19 WIB.

3 Detik, “Jokowi Gelontorkan Rp 405 T Lawan Corona, Uangnya dari Mana?” diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4960978/jokowi-gelontorkan-rp-405-t-lawan-corona-uangnya-dari-mana pada tanggal 14 Mei 2020 pukul 20:31 WIB.

4 Detik, “OTT Pejabat Kementerian PUPR Diduga Terkait Proyek SPAM” diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4363186/ott-pejabat-kementerian-pupr-diduga-terkait-proyek-spam pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 00:33 WIB.

5 Kumparan, “MA Tolak PK Mantan Menkes Siti Fadilah” diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/ma-tolak-pk-mantan-menkes-siti-fadilah-1q3aYQTwsm8/full pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 00:59 WIB.

6 Diolah dari Infeksi Emerging, diakses dari https://infeksiemerging.kemkes.go.id/downloads/?dl_cat=5 pada tanggal 14 Mei 2020.

7 Warta Ekonomi, “Dokter Kritik Jokowi: Jangan Lagi deh Beli Rapid Test. Kenapa?”, diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read277993/dokter-kritik-jokowi-jangan-lagi-deh-beli-rapid-test-kenapa pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 11:39 WIB.

8 GoRiau, “Sejumlah Negara Kembalikan Alat Rapid Test Corona dan APD Pasokan Cina”, diakses dari https://www.goriau.com/berita/baca/sejumlah-negara-kembalikan-alat-rapid-test-corona-dan-apd-pasokan-china.html pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 11:40 WIB.

9 Kompas, “Jokowi Akui Target Tes PCR 10.000 Spesimen Per Hari Belum Tercapai”, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/05/11/10363101/jokowi-akui-target-tes-pcr-10000-spesimen-per-hari-belum-tercapai pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 12:32 WIB.

10 Kompas, “Target Jokowi Tes PCR 10.000 Per Hari Belum Tercapai, Ini Sebabnya...”, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/05/04/13190791/target-jokowi-tes-pcr-10000-per-hari-belum-tercapai-ini-sebabnya pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 12:36 WIB.

11 Tirto, “Alat Tes PCR Baru dari Swiss Langsung Disebar ke Sejumlah Provinsi”, diakses dari https://tirto.id/alat-tes-pcr-baru-dari-swiss-langsung-disebar-ke-sejumlah-provinsi-eLRU pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 12:54 WIB.

12 Suara, “Duh, Pemerintah Indonesia Sulit Dapat Reagen Untuk Tes Corona Covid-19”, diakses dari https://www.suara.com/health/2020/04/23/193000/duh-pemerintah-indonesia-sulit-dapat-reagen-untuk-tes-corona-covid-19 pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 12:55 WIB.

13 BNPB, diakses dari https://loker.bnpb.go.id/s/GugusTugasCovid19?path=%2FInfografis%20Data pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 14:35 WIB.

14 Republika, “IDI Sebut Distribusi APD Masih Terhambat Birokrsi”, diakses dari https://republika.co.id/berita/q8yxz3414/idi-sebut-distribusi-apd-masih-terhambat-birokrasi pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 14:00 WIB.

15 Kompas, “Ada 25 Dokter yang Meninggal Terkait Covid-19 di Indonesia, PB IDI Bentuk Tim Khusus”, diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/28/163240665/ada-25-dokter-yang-meninggal-terkait-covid-19-di-indonesia-pb-idi-bentuk pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 13:10 WIB.

16 Detik, “1 Perawat Berstatus PDP Corona Gugur, Total 17 Orang” diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4991011/1-perawat-berstatus-pdp-corona-gugur-total-17-orang pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 13:10 WIB.

17 BNPB, diakses dari https://loker.bnpb.go.id/s/GugusTugasCovid19?path=%2FInfografis%20ALMATKES pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 14:47

18 BBC, “Virus Corona: Jokowi pesan tiga juta klorokuin, apakah ‘obat malaria’ teruji sembuhkan Covid-19?”, diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52000873 pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 13:11 WIB.

19 Open Contracting Partnership, “5 Procurement Strategies for Navigating the COVID-19 Crisis from Around the World” diakses dari https://www.open-contracting.org/2020/04/08/5-procurement-strategies-for-navigating-the-covid-19-crisis-from-around-the-world/ pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 16:25 WIB.

20 Gavin Hayman, “Emergency Procurement for COVID-19: Buying Fast, Open, and Smart” diakses dari https://www.opengovpartnership.org/stories/emergency-procurement-for-covid-19-buying-fast-open-and-amart/ pada tanggal 17 Mei 2020 pukul 17:41 WIB.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan