Sudah Dua Kali, Lalu Bagaimana?

Foto: Tirto.id
Foto: Tirto.id

Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejatinya tak boleh disandang orang dengan kualifikasi biasa-biasa saja. Jabatan mahapenting itu seharusnya berada di pundak mereka yang memiliki integritas dan kompetensi yang tidak disangsikan sedikit pun.

Untuk menemukan hakim yang memiliki integritas dan kompetensi, dapat dilacak dari perjalanan hidup pribadi, karier, dan intelektual seseorang. Mereka yang terpilih menduduki jabatan mulia itu pun barulah sosok yang dipercaya untuk sementara, sampai dibuktikan di ujung pengabdian bahwa ia lolos ujian dan berhasil menjalankan amanah itu tanpa cacat.

Itu artinya setiap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) masih berstatus dipercaya untuk sementara waktu. Sepanjang waktu ia menjabat, ujian akan datang setiap saat, baik yang berasal dari luar dirinya maupun dari dirinya sendiri.

Ada banyak ragam ujian integritas hakim. Misalnya, suap untuk memainkan perkara, menyembunyikan konflik kepentingan dalam penanganan perkara, dan menegosiasikan kasus secara diam-diam atau terbuka untuk kepentingan mendapatkan jabatan kembali di masa depan. Ada juga menjual pengaruh, menyalahgunakan kedudukan dan jabatan untuk kepentingan pribadi, menceritakan perkara yang sedang ditangani kepada orang yang menjadi pihak dalam sengketa, mengeluarkan kata-kata tidak patut, dan sebagainya.

Ujian-ujian kepercayaan telah terjadi dan menimpa hakim-hakim MK terdahulu. Ada yang lolos ujian dan khusnul khotimah dalam jabatan, ada yang gagal. Yang pertama terjadi pada 2011, diuji dengan permainan perkara dan gagal lalu mundur sebagai hakim MK. Ujian kedua lebih berat dan memalukan, menimpa Ketua MK Akil Mochtar: terkena operasi tangkap tangan KPK lalu dipecat dan dipenjara. Ujian ketiga menimpa Patrialis Akbar yang juga kena OTT KPK, mundur dan berakhir di penjara.

 Belum lagi kepercayaan masyarakat pulih akibat peristiwa-peristiwa itu, MK kembali tercoreng oleh sanksi etik yang dijatuhkan Dewan Etik MK terhadap hakim sekaligus Ketua MK Arief Hidayat untuk yang kedua kalinya. Sanksi yang dijatuhkan Dewan Etik kepada Arief, jika diukur dengan jabatan, posisi, perbuatan, dan tindakan pengulangan yang ia lakukan, sanksi yang pertama—apalagi yang kedua—jelas terlalu ringan.

Pada perbuatan pertama, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua MK Arief Hidayat karena sang ketua penjaga konstitusi itu membuat katebelece yang tidak pantas dilakukan. Dewan Etik menyatakan, hakim Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi dengan sanksi teguran lisan.

Pada tindakan kedua, Dewan Etik MK kembali menyatakan Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran kode etik atas pertemuannya dengan sejumlah anggota Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat, dan, karena itu, Arief dijatuhi sanksi ringan. Dewan Etik menilai perbuatan itu merupakan pelanggaran etik karena sebagai Ketua MK seharusnya Arief memberikan contoh dan teladan dalam memenuhi kode etik serta senantiasa menjaga marwah wibawa MK.

Jadilah sosok kesatria

Pertanyaan etisnya, apakah seorang hakim yang telah terbukti melanggar etika dan dijatuhi sanksi sebanyak dua kali masih etis untuk terus menjadi hakim, apalagi menjadi ketua lembaga terhormat penjaga konstitusi itu?  Kalau mau dijawab jujur, dengan akal sehat dan nurani yang peka, seharusnya yang bersangkutan menyatakan berhenti sebagai hakim MK.

Arti penting berhenti atau mundur bisa dipersepsikan dalam dua aspek. Pada dimensi personal, tindakan mundur bukanlah aib atau cela, melainkan tindakan etis dan kesatria sebagai wujud hormat dan patuh kepada etika dan sumpah jabatan yang pernah diucapkan. Dari sisi institusi, mundur adalah cara terbaik yang bisa dilakukan Arief dalam memulihkan kepercayaan dan kehormatan MK sebagai penjaga konstitusi. Tindakan kesatria semacam itu sekaligus membangun tradisi bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan demi kehormatan, kepercayaan, dan kewibawaan MK.

Kita mesti terus berkaca dari tradisi mundur bangsa lain. Park Hee Tae,  Kepala Parlemen Korea Selatan, mundur karena disebut melakukan penyuapan untuk mendapatkan jabatan sebagai kepala partai. ”I say to the people that I’m sorry,”kata Park melalui pernyataan tertulis yang dibacakan juru bicara dalam konferensi pers pada 2012. Awal Januari 2016, Menteri Ekonomi Jepang Akira Amari mundur karena tuduhan menerima suap dari sebuah perusahaan konstruksi. Meski belakangan terbukti yang ”bermain” adalah anggota stafnya.

Jabatan hakim tentulah lebih mulia dibandingkan semua jabatan sosok-sosok yang mundur dari jabatan di atas. Akan tetapi, mereka berhasil membebaskan diri dari cengkeraman hasrat tinggi untuk terus berkuasa dengan memilih memuliakan diri dan institusi dengan menyatakan mundur dari jabatan itu.

Suparman Marzuki, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

--------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2018, dengan judul "Sudah Dua Kali, Lalu Bagaimana?"

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags