Seleksi Calon Anggota BPK Menghilangkan Uji Kompetensi

Kritik dari LSM dan DPD terhadap seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diselenggarakan Komisi XI DPR ternyata tidak dihiraukan sama sekali. Komisi XI tetap melaju dengan segala ketertutupannya. Ini sekaligus menegaskan adanya agenda tersembunyi dibalik seleksi tersebut. Untuk itu ICW bersama IBC, PSHK dan TII memberikan pernyataan sikap.

Siaran Pers Bersama
IBC, ICW, PSHK, TII

Seleksi Calon Anggota BPK Menghilangkan Uji Kompetensi

Kritik dari LSM dan DPD terhadap seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diselenggarakan Komisi XI DPR ternyata tidak dihiraukan sama sekali. Komisi XI tetap melaju dengan segala ketertutupannya. Ini sekaligus menegaskan adanya agenda tersembunyi dibalik seleksi tersebut.

Tidak akomodatif dan responsifnya Komisi XI DPR atas kritik publik terhadap proses pelaksanaan seleksi calon anggota BPK menambah daftar masalah dalam lembaga parlemen. BPK sebagai lembaga negara, sekaligus pengawas independen pengelolaan keuangan negara terancam gagal menjalankan fungsinya karena proses seleksi terhadap calon anggotanya yang tidak akuntabel dan tidak kredibel.

Manuver DPR dalam memandulkan lembaga antikorupsi sudah banyak jejak sejarahnya. Mulai dari tuntutan membubarkan KPK, menyandera RUU Pengadilan Tipikor dan kini Komisi XI akan 'melumpuhkan' BPK melalui sebuah proses seleksi yang tidak legitimate sama sekali.  

Proses seleksi calon anggota BPK di Komisi XI DPR menunjukkan gejala tersebut:

Pertama, ada isu yang kian menguat akhir-akhir ini bahwa alokasi jabatan anggota BPK akan lebih banyak diberikan jatahnya kepada anggota DPR yang mendaftar. Paling tidak, ada empat (4) jatah kursi anggota BPK bagi kalangan internal DPR dari tujuh kursi yang pada Oktober 2009 mendatang lowong.

Kedua,  untuk memuluskan agenda di atas, mekanisme atau tahapan seleksi oleh Komisi XI meniadakan uji kompetensi bagi calon anggota BPK. Dari tahapan seleksi yang dibuat Komisi XI, secara umum hanya ada uji administrasi, masa pertimbangan DPD dan fit and proper test.  Jika dibandingkan dengan ujian bagi calon pejabat publik lainnya, ada proses dimana hal itu wajib dilalui yakni uji kompentensi/kemampuan melalui test tertulis atau wawancara terbuka terhadap calon. Hilangnya proses ini bisa disimpulkan sebagai cara untuk memuluskan jalan bagi calon anggota BPK dari unsur DPR.

Ketiga, Komisi XI juga tidak serius dalam melibatkan DPD sebagai mitra  yang akan memberikan pertimbangan terhadap calon. Dari informasi yang diperoleh dari salah satu anggota DPD, mereka saat ini hanya menerima daftar nama calon anggota BPK dari Komisi XI tanpa disertai dengan dokumen lengkap administrasi yang menjadi syarat utama pengajuan diri sebagai calon. Sulit rasanya DPD memberikan pandangan dan pertimbangan jika tidak ada bahan sama sekali untuk menilai para calon.

Dari berbagai kecenderungan di atas, dikhawatirkan akan ada politisasi terhadap institusi BPK, sekaligus benturan kepentingan yang kuat, khususnya bagi anggota DPR yang mengajukan diri sebagai calon anggota BPK. Sekeras apapun Komisi XI menghindari benturan kepentingan, misalnya dengan tidak menyertakan calon sebagai panitia seleksi, masalah benturan kepentingan bukan hanya pada proses seleksi. Akan tetapi jauh ke depan dimana BPK tidak bisa indepeden dalam pengambilan keputusan karena adanya unsur DPR dalam keanggotaan BPK.

Jakarta, 27 Mei 2009

ICW, PSHK, IBC, TII

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan