Polri Jangan Terjebak Pada Sknario Melemahkan KPK

Seperti kita ketahui Antasari Azhar (AA), tersangka kasus pembunuhan Nasruddin beberapa waktu lalu mengungkapkan pengakuan (testimoni) terkait dengan dengan dugaan suap yang dilakukan oleh pimpinan, pejabat dan penyidik KPK. Koalisi CICAK memberikan sikapnya.

Pernyataan Sikap Bersama Koalisi CICAK
POLRI JANGAN TERJEBAK PADA SKENARIO MELEMAHKAN KPK

Antasari Azhar (AA), tersangka kasus pembunuhan Nasruddin beberapa waktu lalu mengungkapkan pengakuan (testimoni) terkait dengan dengan dugaan suap yang dilakukan oleh pimpinan, pejabat dan penyidik KPK.

Surat testimoni AA terdiri dari 4 halaman dan dibuat tanggal 16 Mei 2009. Dalam surat tersebut AA menjelaskan adanya dugaan suap terkait kasus PT Masaro, yakni pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan dengan tersangka pimpinan perusahaan tersebut Anggoro Widjaja. Anggoro sempat ditemui AA dan menyebut pernah memberi uang kepada oknum di KPK dalam 2 tahap agar kasusnya tidak dilanjutkan.

Selain motif AA mengungkapkan testimoni dugaan suap ini pada saat ditetapkan sebagai tersangka patut dipertanyakan, ada beberapa hal yang penting untuk dicermati dari testimoni tersebut.

Pertama, testimoni AA justru harus menjadi dasar untuk memidanakan AA.

Testimoni yang disampaikan Ketua KPK non-aktif ini merupakan fakta baru bahwa AA (saat itu masih menjabat sebagai pimpinan KPK) telah melakukan pertemuan dengan Anggoro sebagai pihak yang terkait dengan kasus yang ditangani oleh KPK. Anggoro diduga terlibat dalam 2 (dua) kasus yang sedang ditangani oleh KPK yaitu SKRT di Departemen Kehutanan dan penyuapan terhadap anggota DPR.

Dengan alasan apapun Antasari tidak dapat menemui Anggoro apalagi tanpa adanya pemberitahuan kepada pimpinan KPK yang lain. Apa yang dilakukan oleh AA dengan bertemu Anggoro merupakan perbuatan pidana.

Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK khususnya Pasal 36 menyebutkan “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 65 disebutkan “Setiap Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”

Kedua, Testimoni AA lemah sebagai suatu alat bukti.

Testimoni yang dibuat oleh AA hanya berdasarkan pada keterangan orang lain (dalam hal ini Anggoro). Dalam istilah hukum keterangan ini dikenal sebagai testimonium de auditu (keterangan yang diperoleh dari orang lain, ia tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut). Kesaksian seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kesaksian tersebut hanya dapat dijadikan sumber persangkaan dan untuk melengkapi keterangan saksi yang bisa dipercaya.

Berdasarkan pasal 185 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), maka keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sehingga sesuai dengan ketentuan pasal tersebut keterangan saksi yang diberikan di luar sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti yang sah di dalam perkara pidana. Para “saksi” boleh mengatakan apa saja berkaitan dengan apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (sesuai dengan defenisi saksi menurut KUHAP) akan tetapi sepanjang keterangan yang diberikannya tersebut bukan di sidang Pengadilan, maka keterangannya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti.

Selain lemah karena merupakan testimonium de auditu, testimoni AA dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang cacat. Dalam hukum berkembang asas bahwa alat bukti harus diperoleh secara sah dan tidak melawan hukum. Perolehan alat bukti oleh AA pada faktanya dilakukan dengan melawan UU khususnya UU KPK. Sebagaimana diuraikan sebelumnya tindakan AA sebagai pimpinan KPK bertemu dengan Anggoro merupakan perbuatan pidana.

Ketiga, testimoni AA adalah bagian skenario melemahkan KPK.

kinerja KPK yang saat ini lebih progresif dengan menjerat sejumlah pelaku korupsi dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, perbankan dan swasta pada akhirnya menimbulkan perlawanan balik dari koruptor dan pendukungnya. Saat ini segala cara atau skenario dilakukan oleh koruptor -maupun pihak-pihak lain yang tidak menghendaki adanya KPK- untuk melemahkan bahkan membubarkan KPK.

Salah satunya dengan cara kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Posisi pimpinan KPK secara hukum sangat rentan berdasarkan UU KPK. Lepas apakah terbukti atau tidak, dengan hanya ditetapkan sebagai tersangka, pimpinan KPK harus diberhentikan sementara (non-aktif) dari jabatannya. Kondisi ini dapat mengganggu atau melemahkan kinerja KPK dalam menangani kasus korupsi.

Skenario pelemahan KPK yang diusung oleh AA ini, kalau tidak disikapi secara profesional oleh Polri, pada ujungnya akan menyulitkan posisi Presiden. Selama ini, Presiden selalu mengatakan komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Seandainya Presiden mendiamkan proses pelemahan KPK ini berlangsung, SBY akan dianggap berada di balik skenario ini atau minimal ikut "menikmati" lemahnya KPK. Oleh karena itu, Presiden harus secara seksama mengikuti perkembangan kasus ini dan memastikan Polri bekerja secara profesional.

Berdasarkan uraian diatas kami meminta Kepolisian Republik Indonesia (POLRI):

a. bersikap profesional dan hati-hati menindaklanjuti testimoni AA
Penyidik POLRI jangan gegabah dalam menindaklanjuti kasus yang hanya mengandalkan bukti seadanya dan lemah apalagi melanjutkan hingga ke proses penyidikan dan menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka.

Jika proses dipaksakan hingga tahap penyidikan/penuntutan dan pada akhirnya tidak terbukti, ha ini tidak saja akan mencoreng kredibilitas POLRI, namun juga akan memunculkan kecurigaan masyarakat bahwa institusi penegak hukum ini - secara sadar atau tidak tidak sadar – telah diperalat untuk melemahkan KPK.

b. untuk menjerat AA dengan pidana secara berlapis

Penyidik Polri tidak saja harus menjerat AA dengan dugaan tindak pidana pembunuhan terhadap Nasrudin, namun juga dengan tindak pidana larangan bagi pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK serta dugaan tindak pidana pemalsuan surat pencabutan cekal terhadap Anggoro.

Jakarta, 7 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan