Pesiden Harus Hentikan Pembajakan Materi RUU Pengadilan Tipikor

Kamis (2 Juli 2009) Koalisi Penyelamat Pemberatasan Korupsi mengadakan Konferensi Pers untuk menanggapi sinyal pembajakan materi RUU Pengadilan Tipikor yang justru kali ini berasal dari utusan Pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM serta Jaksa Agung.

Saat Daftar Inventaris Masalah (DIM) di DPR justru sudah tidak lagi mempersoalkan komposisi Hakim Ad Hoc dan Hakim Karier 3 : 2, tim pemerintah justru mempertahankan Pasal 27 RUU Pengadilan Tipikor yang mengatakan komposisi hakim diserahkan pada Ketua Pengadilan Negeri. Hal inilah yang kami anggap sebagai upaya membajak materi UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena pasal tersebut sama saja berarti memberikan diskresi lebih luas pada Ketua Pengadilan. Bukan tidak mungkin, komposisi hakim Karier akan lebih banyak dibanding Hakim Ad Hoc. Dengan kata lain, dikhawatirkan ada upaya sistematis untuk mengembalikan peran yang lebih besar pada hakim pengadilan umum untuk menyidangkan kasus korupsi. Lantas, apa bedanya pengadilan khusus korupsi dengan pengadilan umum?

Perlu diingat, semangat pembentukan pengadilan tipikor sebagai unit khusus pengadilan adalah karena rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan umum dalam memproses kasus korupsi. Catatan ICW yang menemukan banyaknya vonis bebas di pengadilan umum adalah fenomena kontradiktif yang terjadi di kancah pemberantasan korupsi. Bertentangan dengan logika dan rasa keadilan jika ditengah tingginya dan luasnya penyebaran korupsi, akan tetapi vonis bebas di pengadilan umum justru mengalami trend yang meningkat dari tahun ke tahun.

Artinya, kebutuhan komposisi hakim ad hoc lebih banyak dari hakim karier merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Karena ini adalah salah satu cara mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pengadilan adalah dengan memaksimalkan peran hakim ad hoc yang berasal dari masyarakat.

Sebagai Narasumber dalam Konferensi Pers:
   1. Febri Diansyah, Peneliti Hukum ICW
   2. Muji Kartika Rahayu, Wakil Koordinator KRHN
   3. Wahyudi Djafar, Peneliti Hukum dan Konstitusi KRHN

Rilis selengkapnya ada dibawah ini:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rilis Media
Pesiden Harus Hentikan Pembajakan Materi RUU Pengadilan Tipikor

Batas akhir pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui RUU Pengadilan Tipikor sudah sangat dekat. Jika DPR tidak mampu menyelesaikan menjelang akhir masa tugasnya (30/9) dan tidak ada produk hukum pengganti yang terbit menjelang 19 Desember 2009, maka Pemberantasan Korupsi yang mulai tumbuh akan mati seketika. Persidangan kasus korupsi akan beralih di Pengadilan Umum. Itu sama artinya buruk tentang “kemenangan para koruptor” akan menjadi kenyataan.

Masyarakat luas sebagai korban dari kebusukan korupsi yang dilakukan pejabat negara tentu tidak ingin mimpi buruk tersebut menjadi nyata. Oleh karena itulah, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus sudah terbentuk sebelum deadline yang diberikan Mahkamah Konstitusi. Persoalannya, komitmen DPR untuk menyelesaikan RUU ini sangat diragukan. Pembahasan yang lambat, pernyataan yang justru seringkali mementahkan urgensi Pengadilan Tipikor, dan bahkan semakin banyaknya koruptor yang berasal dari anggota DPR-RI menjadi tanda-tanda buruk terhadap masa depan pemberantasan korupsi Indonesia.

Sebelum deadline pengesahan itu berakhir, masyarakat tentu saja sangat berharap Presiden dan DPR sama-sama berkomitmen menuntaskan segala hambatan yang ada. Ketika komitmen DPR diragukan publik, harapannya Presiden pun melalui utusannya tidak ikut menghambat atau memperlambat proses pembahasan. Selain harus mengesahkan tepat waktu, substansi atau materi UU ini juga tidak boleh membajak semangat pemberantasan korupsi. Alih-alih ingin memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui Pengadilan Tipikor, jika materi UU buruk, Pengadilan justru akan lemah menjerat koruptor.

Sinyal adanya kepentingan untuk membajak materi RUU dapat dicermati dari poin krusial “komposisi hakim ad hoc dan hakim karier” di Pengadilan Tipikor. Dari awal sudah ada tanda-tanda untuk melemahkan posisi Hakim Ad Hoc. Persoalannya, kali ini pembajakan tersebut bukan berasal dari DPR, tetapi justru dari draft RUU Pemerintah dan kemudian diungkapkan kembali oleh utusan Pemerintah.

Pada sidang akhir Juni 2009 lalu, utusan pemerintah, khususnya Menkumham dan Jaksa Agung, tampak bersikeras agar komposisi hakim tidak lagi 3 : 2 seperti yang berlaku saat ini. Hakim karier menurut mereka harus lebih dominan, atau komposisi tersebut sebaiknya diserahkan pada Ketua Pengadilan saja.

Hal ini tentu saja berarti melemahkan dan membajak Pengadilan Tipikor. Sulit dipungkiri, masyarakat belum terlalu percaya dengan pengadilan umum termasuk pula hakim karir yang mengadilinya. Menurut catatan ICW, bahkan trend vonis bebas untuk kasus korupsi terus meningkat dari tahun 2005 hingga 2008, dan kalaupun vonis dijatuhkan itupun masih tergolong rendah. Dari 1421 terdakwa kasus korupsi, sekitar 659 divonis bebas di pengadilan umum. Tidak sedikit juga, koruptor dihadiahi vonis percobaan, bahkan di Mahkamah Agung sekalipun.

Dan, menjadi pertanyaan bagi kami, kenapa resistensi tersebut justru berasal dari Jaksa Agung? Padahal, banyak kasus korupsi yang diajukan Kejaksaan pada pengadilan yang berujung vonis bebas. Bukankah seharusnya Jaksa Agung setuju dengan penguatan Pengadilan Tipikor, yang terbukti lebih efektif menjerat koruptor? Sehingga, wajar kami bertanya, apakah Jaksa Agung menikmati banyaknnya vonis bebas di Pengadilan Umum? Atau, wajar jika kami meragukan itikad baik Jaksa Agung sebagai utusan Pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.

Lebih dari itu, tindakan dan pernyataan yang ingin mengembalikan dominasi kekuasaan pengadilan umum melalui komposisi hakim karier yang lebih banyak sama artinya dengan tindakan penggembosan dan pembajakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Masalahnya, apakah ini sepengetahuan dan atas rencana Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan?

Keraguan dan kegelisahan publik ini patut dijawab secara tegas oleh Presiden. Setidaknya SBY harus menegaskan apakah sikap utusan Presiden di pembahasan RUU di DPR atas perintah dan koordinasi dengan Presiden SBY? Jika saja itu perintah langsung dari Presiden, maka tidak berlebihan untuk kembali mempertanyakan komitmen SBY terhadap Pengadilan Tipikor. Sebagai bagian dari masyarakat, kami sangat mengecam upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

Akan tetapi, jika tidak, SBY diminta untuk segera berkoordinasi dengan utusannya di DPR untuk tidak ikut membajak materi RUU Pengadilan Tipikor.

Oleh karena itu, kami:

  1. Meminta Presiden dan utusan pemerintah dalam pembahasan di DPR tidak membajak materi UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, khususnya komposisi hakim Ad Hoc dan Karier. Jika, pernyataan Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM diluar koordinasi dengan Presiden, maka SBY harusnya memberikan teguran keras.
  2. Mengecam segala bentuk upaya dan pernyataan anggota DPR, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, serta semua pihak yang ingin mematikan Pemberantasan Korupsi di KPK dan Pengadilan Tipikor.
Jakarta, 2 Juli 2009

Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi

ICW, LBH Jakarta, KRHN, MAPPI FH UI, TII, MTI, LeIP, PSHK, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, YLBHI, RACA Institute, Wahid Institute, FITRA, LBH Padang, ICM Yogyakarta, PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW),Bali Corruption Watch (BCW), SaHDAR Medan, MATA Aceh, PIAR Kupang,Garut Governance Watch (GGW), PATTIRO Semarang)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan