Menjadi Kapolri Pilihan Rakyat

Polemik mengenai siapa calon kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) mendatang akhirnya selesai sudah. Presiden Joko Widodo pada Rabu lalu (15/6) resmi menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jenderal Badrodin Haiti.
 
Penunjukan Tito Karnavian –yang saat ini menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)– sebagai calon Kapolri sungguh di luar dugaan banyak pihak. Pertama, Jokowi hingga Jumat (10/6) masih dihadapkan pada dua opsi, yaitu memperpanjang masa pensiun Badrodin Haiti atau memilih figur baru sebagai calon Kapolri. Jokowi beralasan masih menunggu masukan dari Komisi Kepolisian Nasional, internal Polri, dan masyarakat.
 
Kedua, di antara sejumlah jenderal bintang tiga Polri, Tito paling junior. Selain Tito, terdapat sejumlah jenderal lain yang masuk bursa sebagai calon Kapolri. Di antaranya, Wakapolri Komjen Budi Gunawan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso, Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno, Irwasum Komjen Dwi Priyatno, Kalemdikpol Komjen Syafruddin, dan Sestama Lemhanas Komjen Suhardi Alius.
 
Lepas dari semua keterkejutan yang muncul, keputusan Presiden Jokowi memilih Tito Karnavian sebagai calon Kapolri harus dihormati dan layak diapresiasi. Tito sosok ideal sebagai Kapolri. Sebab, dia memiliki keunggulan pada aspek kepemimpinan (leadership), integritas, rekam jejak, kapasitas, serta komitmen yang kuat dalam mendorong agenda reformasi dan antikorupsi di tubuh Polri.
 
Tito merupakan lulusan terbaik Akpol tahun 1987 dengan menerima penghargaan Adhi Makayasa, menyelesaikan pendidikan di University of Exeter Inggris pada 1993, dan terakhir pada 1996 menjadi lulusan terbaik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dengan mendapatkan Bintang Wiyata Cendekia.
 
Mantan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Papua itu juga termasuk polisi yang berprestasi cemerlang untuk tugas di bidang reserse kriminal maupun penanganan terorisme. Selama bertugas, Tito pernah menangkap Tommy Soeharto (putra mantan Presiden Soeharto) dalam kasus pembunuhan serta membongkar jaringan Noordin M. Top dan menangkap Azahari Husin dalam kasus terorisme.
 
Dari aspek integritas, hingga saat ini belum pernah ada laporan atau bukti tentang dugaan korupsi maupun kepemilikan rekening tidak wajar atas nama Tito Karnavian maupun keluarga. Tito juga rutin melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 
Surat penunjukan Tito Karnavian sebagai calon Kapolri telah disampaikan Jokowi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seminggu mendatang komisi hukum DPR dijadwalkan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Kapolri.
 
Mekanisme pemilihan Kapolri melalui DPR harus dilakukan, mengingat mandat Undang-Undang Kepolisian jelas menyebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Namun, seperti kebiasaan sebelumnya, calon Kapolri yang diusung presiden dipastikan bakal disetujui oleh parlemen. Artinya, jika tidak ada gejolak politik, tidak lama lagi Tito Karnavian menjadi Kapolri baru.
 
Di negara ini jabatan Kapolri adalah jabatan paling strategis dan merupakan tangan kanan presiden di bidang penegakan hukum. Meski demikian, tugas yang diemban Tito sebagai Kapolri pada masa mendatang bukanlah suatu yang ringan. Sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah untuk membenahi Polri telah menanti orang nomor satu di korps Bhayangkara.
 
Pertama, konsolidasi di internal Polri. Sebelum melangkah ke luar, penting bagi Tito selaku Kapolri untuk melakukan konsolidasi di internal Polri serta membentuk tim kerja yang solid. Tito perlu membangun komunikasi dan koordinasi yang baik dengan sejumlah jenderal polisi yang senior dan masih aktif maupun petinggi Polri lainnya.
 
Kedua, mendorong reformasi di kepolisian. Persoalan mengenai integritas aparat, perekrutan dan pendidikan, serta pengawasan yang dinilai menghambat reformasi di kepolisian perlu dijawab dengan pembenahan secara menyeluruh. Diperlukan sosok Kapolri yang tegas untuk memastikan bahwa agenda reformasi di tubuh Polri berjalan baik.
 
Ketiga, memperbaiki citra institusi Polri di mata publik. Sudah banyak survei maupun laporan resmi lembaga lain yang menilai institusi kepolisian masih memiliki persoalan serius tentang independensi, praktik mafia peradilan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta pelayanan kepada masyarakat. Dalam praktiknya juga masih ditemukan intervensi pihak tertentu dalam sejumlah penanganan kasus. Citra Polri juga semakin merosot ketika ada oknum polisi yang terlibat kasus korupsi, pencucian uang, narkotika, maupun kejahatan lain.
 
Komnas HAM dalam peringatan Hari HAM Sedunia pada 2015 menyebutkan, selama lima tahun terakhir institusi yang paling sering dilaporkan karena melanggar HAM adalah kepolisian. Pada awal 2016 Komisi Ombudsman menyebutkan, kepolisian merupakan salah satu institusi –selain Badan Pertanahan Nasional dan Badan Kepegawaian Negara-yang dinilai paling sering dilaporkan karena buruknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
 
Agar tidak selalu dilaporkan sebagai institusi yang banyak melanggar HAM, untuk kerja-kerja penegakan hukum sebaiknya Polri perlu mengubah pendekatan yang biasanya menggunakan cara kekerasan. Juga, menggantinya dengan pendekatan lain yang lebih humanistis. Meningkatkan kualitas pelayanan dan profesionalitas staf juga harus jadi prioritas untuk menjawab keluhan masyarakat yang terkait dengan layanan yang diberikan polisi.
 
Keempat, menjadikan Polri sebagai bagian penting bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Membangun dan menegakkan zona antikorupsi dan antisuap di lingkungan kepolisian secara konsisten menjadi prioritas yang harus dilaksanakan oleh Kapolri baru.
 
Juga, memastikan seluruh agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana dimandatkan presiden, termasuk pelaporan kekayaan ke KPK, dilaksanakan seluruh jajaran Polri. Polri dan KPK juga perlu memperkuat kerja sama dan koordinasi dalam upaya penindakan terhadap kasus korupsi.
 
Hal lain yang lebih penting, keharmonisan antara dua lembaga penegak hukum itu perlu dijaga agar tidak muncul lagi kegaduhan dan perseteruan yang pernah terjadi. Pada akhirnya jutaan rakyat di Indonesia punya harapan besar di bawah kepemimpinan Tito Karnavian: Semoga performa institusi kepolisian menjadi lebih baik dan lebih profesional.
 
Tito perlu bekerja keras mewujudkan harapan tersebut sekaligus membuktikan bahwa dirinya memang layak bukan hanya sebagai Kapolri pilihan presiden maupun DPR, tapi juga Kapolri pilihan rakyat. (*)
 
Emerson Yuntho, anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch
 
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, Jumat, 17 Juni 2016

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan