Memetakan Dugaan Korupsi di Sisminbakum

Beberapa hal yang kontras mulai diperdebatkan ketika salah seorang akademisi dan praktisi yang sering terlibat aktivitas pemberantasan korupsi justru ditahan atas tuduhan korupsi. Romly Atmasasmita, guru besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, mantan pejabat Departemen Hukum dan HAM (Depkum HAM), menjadi ahli yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Kemudian, banyak yang bilang bahwa Romly harus dibela. Sebab, dia korban buruknya sistem. Penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan lebih dilihat sebagai upaya serangan balik koruptor, bahkan kental urusan politis. Tapi, bukankah tidak ada maaf untuk koruptor? Termasuk, teman dekat atau bahkan saudara.

Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak memilih berada pada posisi membela. Perdebatan terpenting agaknya terletak pada bagaimana sesungguhnya konstruksi hukum kasus yang sedang ditangani kejaksaan tersebut. Dengan demikian, bisa dipahami siapa yang pantas atau tidak pantas diseret. Dalam penegakan hukum dikenal satu asas penting, equality before the law. Siapa pun itu harus diproses jika terlibat korupsi.

Namun, benarkah Romly melakukan korupsi? Kita punya mekanisme peradilan yang terbuka dan hukum acara mengatur tata cara pembuktian. Di sanalah benar atau tidaknya Romly harus diuji oleh pengadilan yang terbuka, independen, dan imparsial.

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan Surat Perintah Penahanan No: Print-47/F2/Fd.1/11/2008, kejaksaan mendalilkan tindak pidana korupsi terkait dengan pemungutan accsess fee dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Sehingga, digunakanlah pasal 2 ayat (1); pasal 3; pasal 12 huruf e, f dan g; pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b UU 31 Tahun 1999 serta UU 20 Tahun 2001.

Pada prinsipnya, ICW mencoba memetakan kasus sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) ini menjadi dua level korusi. Pertama, level kebijakan. Kedua, level implementasi saat aliran uang haram diindikasikan sampai ke saku pejabat-pejabat Depkum HAM, bahkan istri-istri mereka.

Karena itu, tindak-tanduk kejaksaan harus diawasi. Sebab, kejaksaan akan sangat mudah bermain hanya di level implementasi. Publik sangat mencemaskan dan ragu, terutama terkait kebiasaan menerbitkan SP3 dan "pilih bulu". Kita paham, praktik inilah yang menjadi salah satu potret buruk penanganan kasus korupsi di institusi adhyaksa tersebut.

Di Mana Menteri?

Pemilihan prioritas pada level implementasi semata dan indikasi permainan seperti dijelaskan di atas tentu punya konsekuensi serius. Kejaksaan, baik langsung atau tidak, justru berpotensi melindungi koruptor induk jika penanganan kasus hanya berhenti sampai dirjen.

Padahal, untuk masuk di level kebijakan, ada dua hal yang bisa diposisikan sebagai grand design unsur melawan hukum. Pertama, dugaan pungutan liar. Surat keputusan menteri yang ditandatangani Yusril saat itu jelas melanggar ketentuan UUD 1945, tepatnya pasal 23A dan 23C serta UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Di sana diatur bahwa pungutan lain yang bersifat memberatkan masyarakat diatur pada level UU (pasal 23A) dan hal lain mengenai keuangan negara diatur pada UU (pasal 23C).

Dalam logika hukum tata negara, perintah dua pasal di atas bersifat imperatif. Yakni, bicara tentang materi yang hanya boleh diatur di level UU. Norma ini juga didasarkan pada asas bahwa masyarakat atau rakyat hanya bisa diwajibkan membayar sepanjang aturan tersebut berasal dari legislatif atau pihak yang dipilih rakyat untuk duduk mewakilinya di parlemen. Apakah keputusan menteri memenuhi syarat itu? Tentu saja tidak. Dengan kata lain, dapat diargumentasikan bahwa sisminbakum masuk dalam kategori pungutan liar.

Kedua, penunjukan langsung pengelolaan sisminbakum pada PT SRD. Hal ini jelas melanggar keputusan presiden tentang pengadaan barang dan jasa. Seharusnya, menteri paham bahwa penunjukan langsung (tanpa tender) hanya dimungkinkan untuk barang atau jasa yang bersifat sangat khusus, tidak diproduksi atau dihasilkan pihak lain. Atau, barang dan jasa tersebut berkaitan dengan kerahasiaan negara. Apakah kasus sisminbakum demikian? Tentu saja tidak.

Pertanyaan berikutnya, siapa sesungguhnya pelaku yang bisa diseret? Di sinilah, konsep penyertaan dalam hukum pidana seperti diatur pada pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dapat diterapkan. Dijelaskan, dalam tindak pidana dikenal tiga pelaku. Pertama, yang menyuruh melakukan. Kedua, yang melakukan. Ketiga, yang ikut melakukan.

Maka, posisi menteri kehakiman dan HAM mau tidak mau masuk pada kategori pertama, yaitu pihak yang menyuruh melakukan. Dengan kata lain, melalui kewenangannya sebagai menteri dia menyuruh orang membentuk sisminbakum, menunjuk PT SRD, dan memungut accsess fee dalam rangka pendaftaran badan hukum di seluruh Indonesia.

Inilah dugaan penyalahgunaan wewenang yang pada akhirnya merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Berdasar analisis dokumen ICW, indikasi terlibatan tersebut terletak pada empat titik.

Pertama, kehadiran menteri pada rapat penyelesaian tunggakan pendaftaran badan hukum yang mencapai 3.500 berkas. Kedua, SK Menkeh tentang pemberlakuan sisminbakum (Nomor: 01.Ht.01.01 Tahun 2000, 4 Oktober 2000). Ketiga, SK Menkeh yang menunjuk PT SRD sebagai pelaksana (Nomor 19/K/Kep/KPP DK/X/2000, 10 Oktober 2000). Keempat, penandatanganan perjanjian kerja sama BoT antara Koperasi Pengayoman Depkeh dengan PT SRD (Nomor: 135/K/UM/KPPDK/XI/2000, 8 November 2000).

Tercatat, pada dokumen dua, tiga, dan empat terdapat tanda tangan menteri kehakiman dan HAM yang saat itu dijabat Yusril Ihza Mahendra. Terlibatkah Yusril? Kejaksaanlah yang paling bertanggung jawab menjawabnya.

Meskipun masih sulit percaya dengan Kejaksaan Agung, terutama terkait prioritas dan mindset pemberantasan korupsi tanpa road map, pilihan penyelesaian pungutan liar di Depkum HAM dapat menjadi awal untuk pembersihan birokrasi di departemen lain. (*)

Febri Diansyah , peneliti hukum pada Indonesia Corruption Watch (ICW)

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan