Mahar Politik Zaman Dulu

Foto: Republika
Foto: Republika

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, isu mahar politik kembali mencuat. Praktik inilah yang membuat biaya pilkada menjadi mahal dan menghasilkan pemimpin daerah berkualitas rendah. Namun pungutan semacam mahar politik ini tidak hanya terjadi sekarang. Dalam sejarah Indonesia, cara-cara seperti itu sudah lama terjadi dalam pemilihan kepala desa di Jawa. Koran-koran kolonial yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 banyak menyoroti praktik-praktik kotor penyuapan dan jual-beli suara dalam banyak kasus pemilihan kepala desa.

Desa adalah lembaga otonom tertua dalam sejarah Indonesia. Ia dipimpin oleh kepala desa, yang di Jawa disebut lurah atau kuwu. Mereka dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Sistem pemilihan langsung ini merupakan tradisi asli di pedesaan Jawa yang tidak diketahui secara pasti sejak kapan muncul. Pemerintah kolonial mempertahankan tradisi ini sebagai model pemerintahan demokratis.

Namun keluhan terhadap kepala desa kemudian muncul pada pertengahan abad ke-19. Kepala desa dilaporkan telah menelantarkan rakyatnya dengan indikasi menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah kolonial tidak habis pikir bagaimana rakyat memilih pemimpin yang justru akan memeras dan menindas mereka.

Secara teoritis, kepala desa dipilih oleh masyarakat secara langsung. Calonnya adalah orang yang telah mendapat persetujuan wedana dan asisten wedana (camat) serta kontrolir (pejabat pengawas pemerintah Belanda). Dalam proses persetujuan inilah sering terjadi transaksi dan penyuapan (Het Nieuws van den dag, 24 Mei 1905).

Surat kabar kolonial melaporkan, pemilihan kepala desa ternyata sangat rumit dan koruptif. Mereka umumnya menyuap wedana atau asistennya agar lolos sebagai calon kepala desa. Selama dua atau tiga bulan menjelang pemilihan, mereka harus "membuka meja" setiap malam. "Buka meja" merupakan istilah untuk jamuan umum berupa makan, minuman, dan rokok untuk warga desa. Warga desa dapat mengunjungi rumah para calon yang telah membuka meja untuk makan dan minum. Selesai di satu calon, mereka dapat mengunjungi rumah calon lain untuk melakukan hal yang sama.

Saat pemilihan, para calon harus membeli suara pemilih. Untuk memastikan pemilih yang diberi uang itu memilihnya, mereka biasanya mengangkat preman. Tidak jarang preman yang sama digunakan oleh kandidat lain sehingga si preman menerima imbalan dari semua kandidat. Untuk memastikan pemilih yang sudah dibayar tidak mengalihkan suaranya, mereka dikumpulkan di suatu tempat dan saat pemilihan berlangsung mereka harus duduk berjajar di belakang calon yang telah memberi uang.

Java Post, 20 Februari 1904, melaporkan bahwa biaya pencalonan itu mencapai 1.000 gulden. Media tersebut melaporkan pula bahwa di Jawa Tengah pada tahun itu ada 200 kali pemilihan kepala desa sehingga ada 200 ribu gulden yang terbuang sia-sia. Jumlah itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan calon yang tidak terpilih.

Akibat sistem pemilihan seperti ini, desa mengalami kemunduran ekonomi. Meskipun praktik curang tersebut diketahui oleh semua orang, tidak ada bukti memadai untuk mengadilinya. Sebanyak 99 persen dari 100 perkara yang diajukan ke pengadilan akan diputus sebagai "kurang terang" atau pemberi suap bukan penduduk desa tersebut sehingga tidak bisa dijerat dengan pasal pidana.

Kepala desa terpilih kemudian akan mencari cara untuk segera mengembalikan uangnya. Yang paling mudah adalah uang pajak. Para kepala desa tidak jarang memungut pajak dengan teror. Misalnya, seorang wajib pajak yang tidak dapat membayar pajak karena tidak punya uang akan ditelanjangi dan diusir dari kampung sampai tunggakan pajaknya dilunasi. Sesuai dengan aturan, kepala desa akan mendapat 8 persen dari total pajak yang dipungut. Namun banyak kepala desa yang menggelapkannya sehingga masuk penjara.

Sayangnya, praktik buruk pemilihan kepala desa pada masa kolonial itu kini masih terjadi. Jika pada masa kolonial "mahar politik" diberikan kepada asisten wedana, wedana, dan kontrolir, kini kepada partai politik. Pemberian itu dapat dirasakan tapi sulit untuk dibuktikan.

Banyak ahli kolonial yang menginginkan agar sistem pemilihan kepala desa dihapus. Banyak yang mengusulkan agar kepala desa diangkat oleh pemerintah. Namun pemerintah tidak menerima usul tersebut dengan alasan menjaga otonomi desa, meskipun mengakui buruknya perilaku kepala desa. Alasan lain, pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menggaji 30 ribu kepala desa.

Kini, sudah ada ahli dan praktisi yang mengusulkan agar kepala desa dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah seperti pada zaman Orde Baru untuk mengurangi biaya politik. Namun, seperti alasan klasik pemerintah kolonial, banyak akademikus, praktisi, dan pemerintah yang beranggapan bahwa pemilihan langsung kepala desa adalah bagian dari proses demokrasi yang memang harus dibayar mahal.

Effendi Wahyono, Sejarawan Universitas Terbuka

------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 25 Januari 2018, dengan judul "Mahar Politik Zaman Dulu"

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan