Laporan Akhir Tahun ICW 2019

2019 merupakan tahun paling berat bagi pemberantasan korupsi. Meskipun banyak yang beranggapan Indonesia mendapatkan orang baik sebagai Presiden, dimana harapan masyarakat atas pemberantasan korupsi yang lebih efektif jauh lebih besar di tangan Jokowi, namun realitas tidak seindah persepsi kita. Di tangan Jokowi justru pemberantasan korupsi babak belur. UU KPK No 30 tahun 2002 secara aklamasi disepakati diubah menjadi UU No 19 ta Pemerintah tak bergeming, UU KPK baru tetap lolos. Tren politik nasional yang cenderung mengabaikan agenda-agenda reformasi seperti penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, pemberantasan korupsi, penegakan rule of law seakan bertolak belakang dengan pandangan sebagian pemilih bahwa Jokowi adalah orang baik. Lahirnya koalisi masyarakat sipil yang mengusung tema #ReformasiDikorupsi merupakan reaksi atas kebijakan pemerintah yang keluar dari semangat reformasi itu.

Dengan kondisi seperti ini, masyarakat sipil, termasuk ICW harus mulai berfikir lebih jauh, bagaimana mendorong agenda reformasi tanpa harus bergantung pada pemerintah dan KPK lagi. Hal ini mengingat Pemerintah sudah pada posisi menganak-emaskan para pemodal dan investor, KPK dilucuti wewenangnya melalui UU KPK baru, sementara Pimpinan KPK yang dipilih tidak mencerminkan dengan sungguh-sungguh aspek integritas dan profesionalitas. Ini merupakan sebuah tantangan besar, namun harus direspon dengan baik.

Meskipun gambaran suram antikorupsi makin jelas, perjuangan memberantas korupsi bukan tanpa kemenangan sama sekali. Gugatan ICW dan jaringan antikorupsi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam Pilkada dikabulkan MK. Ini artinya, para mantan narapidana korupsi tidak boleh langsung ikut Pilkada karena harus menunggu 5 (lima) tahun masa jeda sebagaimana putusan MK. Upaya ini adalah sedikit dari kerja-kerja advokasi antikorupsi yang tetap dilakukan ICW.

Ke depan, pilihan untuk membangun koalisi yang lebih besar dengan berbagai elemen masyarakat sipil yang dirugikan dari kebijakan Pemerintah merupakan langkah penting. Kampus dengan para akademisinya terbukti masih menunjukkan akal sehat dan posisi idealnya dalam berhadapan dengan kebijakan Pemerintah yang dianggap koruptif. Sementara pada tingkat lokal, lahirnya beberapa pemimpin lokal yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dan perbaikan kualitas layanan publik adalah potensi untuk dikembangkan menjadi jejaring yang lebih besar untuk menjaga asa reformasi.

Sementara, kerja-kerja pendidikan untuk membangun kesadaran bersama di tingkat masyarakat mengenai korupsi dan dampaknya harus lebih ditingkatkan. Pasalnya, demokrasi yang matang membutuhkan pemilih yang rasional. Kesadaran antikorupsi masyarakat adalah sebagian dari usaha membangun pemilih yang kritis sehingga mereka tidak mudah diperdaya oleh silat lidah politisi beserta karung beras, uang tunai dan mie instan yang datang tiap kali pemilihan umum berlangsung.**

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan