Korupsi Subur di Sekolah

APABILA pemegang peran di sekolah-sekolah tak lagi mengindahkan akuntabilitas publik, sistem kontrol sosial —khususnya dalam interaksi— antara pemangku kepentingan dengan para pemegang peran di sekolah, baik kepala sekolah, komite sekolah, maupun birokrasi pendidikan, menjadi terkebiri.

Bersamaan dengan itu, suasana enjoy mendorong perilaku korupsi di sekolah tumbuh semakin subur, dan pertanggungjawaban publik tidak memadai. Para pemegang peran di sekolah-sekolah pada umumnya mengaku telah melaksanakan good governance, setidaknya meliputi transparansi, akuntabilitas, dan akomodatif terhadap partisipasi masyarakat.

Ungkapan itu mudah diperdengarkan, tetapi sulit dilihat buktinya karena terdapat ragam anasir yang menyesatkan. seperti: ”Terbuka kan tidak harus bugil.” Kita tahu, bugil itu dekat dengan urusan privasi. sedangkan transparansi mengandung makna jujur mengelola amanah untuk umum. Jadi, anasir itu akal-akalan saja demi menyembunyikan maksud tertentu.

Kemudian, akuntabilitas —jika mengacu pengertian legal formal— memang berpotensi mudah disalahartikan, seolah-olah hanya wajib bagi pejabat eselon II ke atas, meskipun dari telaah hukum mengandung arti yang luas.

Jadi sebenarnya pemegang peran di sekolah tidak terlepas dari kewajiban memberi pertanggungjawaban publik dalam arti yang sesungguhnya. Demikian pula, partisipasi sering diaplikasikan secara distursif. Untuk kepentingan menggali uang, cenderung lebih optimal; sebaliknya, upaya mendorong agar para orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam bentuk pemikiran kritis justru berkesan dihambat.

Bukti lain yang meragukan transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan pengambilan peran di sekolah adalah adanya pengakuan kalangan guru di Kudus; mereka tidak tahu dokumen yang berkenaan dengan informasi keuangan sekolah.

Senada dengan itu, Sekjen Serikat Guru Tangerang (SGT) Agus Supriyadi menyatakan ada dua versi mengapa bisa terjadi korupsi di sekolah. Pertama, tidak dilibatkan sama sekali guru-guru dalam pembuatan anggaran sekolah.
Kedua, seolah-olah melibatkan guru dalam penyusunan anggaran, namun kenyataannya tidak dimasukkan dalam anggaran yang sudah jadi, atau disebut juga partisipasi semu (ICW web. Lagi, APBS Alat Penipuan yang Mutakhir, Kamis, 17 Juli 2008).

Demikian pula, Ketua Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, Handaru mengatakan, anggaran pendapatan belanja sekolah (APBS) di SDN tempat putranya sekolah sekitar Rp 4 miliar pada tahun ajaran 2007/2008. Penyusunan anggaran sebesar itu tidak melibatkan komite, guru, atau orang tua murid (ICW web. APBS Harus Transparan, Rabu, 16 Juli 2008).

Sejauh ini, APBS sekolah-sekolah di Kudus tidak didistribusikan kepada pemangku kepentingan —termasuk peserta didik aktif atau orang tuanya— dengan berbagai alasan, seperti biayanya tinggi. Kondisi demikian tak luput dari skenario penyembunyian data keuangan dengan maksud tertentu.

Hal itu bertentangan dengan komitmen penyelenggaraan good governance di negeri kita. Masih tentang penyelenggaraan good governance yang timpang, terdapat contoh pelaksanaan akuntabilitas publik di suatu sekolah bertaraf internasional di Kudus.

Saya mengamati jalannya rapat pleno komite sekolah: Laporan keuangan tahun sebelumnya yang didistribusikan kepada peserta rapat, isinya tidak lengkap. Pimpinan rapat tidak menjelaskannya. Pada rencana tahun berjalan memuat anggaran tak kurang dari Rp 4,8 miliar, di satu sisi terdapat mata anggaran berpotensi tumpang tindih, di sisi lain terdapat usulan kenaikan pungutan 50% dari tahun sebelumnya bagi kelas tertentu.

Untuk musyawarah, disediakan waktu hanya 20 menit. Pimpinan rapat dengan mudahnya mengambil keputusan, meskipun pertanggungjawaban publiknya tidak memadai.

Jadi jelas bahwa pilar good governance berupa transparansi, akuntabilitas publik, dan keterlibatan peran secara sehat, tidak terselenggara dengan baik di sekolah-sekolah.

Sistem Terkebiri

Seiring dengan tuntutan reformasi, seharusnya pemegang peran membenahi kinerja yang dipandang tidak lagi sejalan dengan aspirasi dan komitmen pengelolaan pemerintahan yang baik.

Mengapa pemegang peran tidak berbuat sesuatu yang lebih baik? Atas dasar kapasitas, ataukah tak cukup ada komitmen untuk bekerja lebih baik, atau mungkin integritasnya diragukan?

Penyelenggaraan rapat dipandang wajar, layak, ataupun sehat, manakala tujuan dan mekanisme kerja diatur secara proporsional, baik mengenai kecukupan waktu, fasilitasi dialog yang demokratis atas dasar nilai-nilai, maupun perlunya pemeliharaan suasana rapat yang kondusif.

Menurut Mahmudi SE MSi dalam bukunya Manajemen Kinerja Sektor Publik (2005), penekanan akuntabilitas publik adalah pemberian informasi kepada publik dan konstituen lainnya yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder).

Akuntabilitas publik juga berkait dengan kewajiban untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah, sedang, dan direncanakan, akan dilakukan organisasi publik.

Kemudian, dasar informasi dan penjelasan itu dikandung maksud mampu memberi keyakinan kepada pemangku kepentingan sehingga dapat mengambil peran menyampaikan pemikirannya secara kritis, mengoreksi yang dianggap tidak efisien, tidak efektif, dan menyimpang dari visi dan/atau misi sekolah, ataupun peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian menentukan sikapnya secara objektif, apakah menerima atau menolak pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan oleh pemegang peran.

Apabila hal itu tidak terjadi, sistem kontrol sosial menjadi rusak. Kontrol sosial itu khusus berkenaan dengan sikap kritis dalam interaksi antara pemangku kepentingan sekolah dengan pihak sekolah maupun komite sekolah. Kontrol sosial itu berdimensi dua: menolak yang salah atau yang jelek, dan menerima yang benar atau yang baik.

Sistem tersebut akan berjalan normal kalau memenuhi tiga unsur, (1) jelas dan memadai informasinya, (2) sehat mekanisme dan proses komunikasinya, serta (3) terwakilinya dalam pengambilan peran secara proporsional pihak pemangku kepentingan.

Untuk kepentingan menggali dana, cenderung dilakukan lebih optimal; sebaliknya, upaya mendorong agar para orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam bentuk pemikiran kritis, justru berkesan dihambat.

Kita pahami bersama, informasi dibutuhkan untuk bahan analisis dan untuk pertimbangan guna menilai dan menyikapi suatu masalah ataupun pilihan-pilihan. Apabila tidak diperoleh informasi yang jelas tentang sesuatu, mana mungkin seseorang bisa menilai secara objektif dan mengambil sikap yang tepat terhadap sesuatu masalah.

Demikian pula, meskipun tersedia informasi yang jelas dan memadai, kalau mekanisme dan proses komunikasi tidak sehat maka keberadaan informasi tidak dapat diakses oleh yang berkepentingan. Lebih-lebih kalau pemangku kepentingan tidak terwakili secara proporsional, maka kontrol sosial terkebiri, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pilar-pilar good governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, pada hakikatnya adalah memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya sistem kontrol sosial dengan baik.

Kita ketahui, kejelasan informasi bisa terpenuhi kalau ada transparansi. Sehatnya mekanisme dan proses komunikasi bergantung kepada akuntabilitas publik dan terwakilinya secara proporsional para pemangku kepentingan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Jadi, tidak terpenuhinya salah satu tiga pilar good governance —yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi— menyebabkan kontrol sosial terkebiri, tak mampu berbuat banyak dalam melakukan koreksi, pemikiran-pemikiran kritis dan inovatif yang konkret demi terselenggaranya mutu pendidikan yang sportif dan unggul dalam makna yang sebenarnya.

Korupsi Subur

Indonesia Corruption Watch (ICW), berkait dengan temuannya (paparan12 Juli 2005), menyatakan, korupsi dilakukan dengan cara baru, yaitu melalui manajemen berbasis sekolah (MBS). Aktor utama dalam korupsi model baru itu adalah kepala sekolah, dibantu komite sekolah dan birokrasi pendidikan, seperti dinas pendidikan kecamatan, kabupaten, maupun kota. Akibatnya, berbagai pungutan di sekolah makin beragam jenisnya, dan jumlahnya bertambah. Biaya sekolah pun tiap tahunnya bertambah mahal (Republika, 13 Jui 2005).

Ironi memang, gegap gempita penanganan kasus penyalahgunaan wewenang melakukan korupsi nasional, ternyata tidak berpengaruh kepada para pemegang peran di lini terdepan seperti di sekolah-sekolah. Terdapat gelagat kurang sehat yang semakin mencolok tetapi tetap saja percaya diri.

Hal itu diperkuat dengan adanya pengakuan pemegang peran suatu sekolah bertaraf international yang saya amati: penyelenggaraan rapat pleno demikian itu ditegaskan sebagai hal yang sudah biasa.

Saya menyayangkan, hubungan kerja sama antara kepala sekolah, komite sekolah, dan birokrasi pendidikan yang seolah-olah antara satu terhadap lainnya tidak ada lagi saling kontrol dan sarat dengan nuansa kongkalikong itu berlangsung dengan penuh percaya diri. Mereka menganggap tidak ada kekeliruan, tanpa rasa malu ataupun beban dosa.

Jadi, apabila pemegang peran di sekolah-sekolah tak lagi mengindahkan akuntabilitas publik sesuai dengan makna sebenarnya, maka sistem kontrol sosial di sekolah rusak. Bersamaan dengan itu, suasana enjoy mendorong perilaku korupsi meningkat. Pendek kata, komite sekolah lemah, dan korupsi tumbuh subur di sekolah. Pertanyaan kita, siapa percaya anggaran pendidikan nasional sebesar 20% untuk pendidikan akan selamat mencapai tujuan. Wallahu ëalam!(68)

Bambang Purwanto, Auditor Ahli Madya Bawasda Kabupaten Kudus.

 

Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka,  16 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan