Konstitusionalisme Baru dan Hak Angket KPK

Hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat telah mendapat perlawanan secara luas dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu perlawanan dari perspektif hukum tata negara datang dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Administrasi Negara, yang menolak penggunaan hak angket DPR kepada KPK. Salah satu argumentasi pokok dari Asosiasi adalah secara hukum hak angket ditujukan kepada pemerintah, dalam hal ini presiden (eksekutif), sehingga tidak dapat ditujukan kepada lembaga-lembaga independen seperti KPK.

Meski demikian, pendapat ini tidaklah bulat di kalangan pakar hukum tata negara. Sebagian pakar memandang hak angket tetap dapat ditujukan kepada KPK karena dianggap sebagai bagian dari hak kekuasaan legislatif sebagai representasi rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan pelaksanaan undang-undang. Pada diskursus ketatanegaraan, pandangan Asosiasi mewakili paradigma konstitusionalisme baru, yang berbeda dengan pandangan pakar hukum tata negara lainnya, yang mewakili paradigma tradisional ketatanegaraan.

Kedua pendapat tersebut mewakili pertentangan dalam wacana ketatanegaraan kontemporer sehubungan dengan bermunculannya lembaga-lembaga independen dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Salah satu faktor utama munculnya lembaga independen adalah ketidakpercayaan terhadap institusi ketatanegaraan tradisional (eksekutif dan legislatif) dalam melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu, terutama fungsi pemerintahan spesifik yang membutuhkan keahlian dan profesionalitas. Hal ini kemudian melahirkan apa yang disebut oleh Stephen Gill sebagai paradigma Konstitusionalisme Baru (New Constitutionalism). Salah satu tujuan utama konstitusionalisme baru ini adalah mengisolasi keputusan lembaga independen dari pengaruh konstelasi politik, baik dari eksekutif maupun legislatif (Stephen Gill, 2014).

Saya berpendapat penggunaan pandangan tradisional ketatanegaraan dalam melihat hak angket KPK tidaklah tepat. Secara normatif, sebagaimana ditunjukkan oleh Asosiasi, hak angket ditujukan kepada pemerintah (eksekutif). Demikian pula secara teoretis, kelembagaan independen seperti KPK memiliki mekanisme akuntabilitasnya sendiri yang harus terpisah dari akuntabilitas politik (hak angket DPR) dan harus dilihat dalam konstruksi paradigma konstitusionalisme baru.

Kemunculan lembaga independen dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia tidak terlepas dari reformasi ketatanegaraan yang terjadi setelah 1998. Reformasi ketatanegaraan yang diwujudkan di dalam Amendemen UUD 1945 telah memperkenalkan lembaga pemerintah independen. Dari sudut pembentukannya, lembaga ini terbagi menjadi dua. Lembaga yang dibentuk melalui Undang-Undang Dasar dan lembaga yang dibentuk melalui undang-undang. Pada level UUD, hal ini dapat dilihat dalam pemberian status independen pada Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, dan Komisi Pemilihan Umum.

Pada level undang-undang lembaga independen terwujud, antara lain, dalam KPK dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Legitimasi lembaga ini didasarkan pada profesionalisme, yang berbeda dengan DPR dengan legitimasi dari proses demokratis (Ackerman, 2000). Berbeda dengan institusi yang berasal dari legitimasi proses demokratis, keputusan yang diambil lembaga independen harus diambil berdasarkan keputusan profesional-teknokratis tanpa adanya pertimbangan politis. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan hukum yang berkepastian dan dapat diprediksi (Stephen Gill, 2014).

Sebagai contoh, keputusan suku bunga oleh BI merupakan keputusan yang dijamin independensinya oleh UUD. Independensi tersebut menjamin bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan yang obyektif berdasarkan penilaian profesional. Walaupun keputusan yang diambil tersebut tidak menguntungkan secara politik bagi pemerintah, pemerintah tak dapat melakukan intervensi.

KPK di dalam keputusannya juga memiliki karakteristik independensi yang sama. Keputusan proses hukum suatu kasus di KPK berdasarkan pada kondisi obyektif, yakni hanya fakta dan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan melalui penilaian profesional.

Meski demikian, bukan berarti lembaga independen tidak memiliki mekanisme akuntabilitas sama sekali. Pada kelembagaan independen seperti ini, Martino Maggeti (2010) melihat bahwa adanya bentuk mekanisme akuntabilitas baru dalam lembaga-lembaga independen ini, yakni melalui akuntabilitas jejaring antar-lembaga-lembaga sejenis yang bersifat lintas negara. Sebagai contoh, BI atau OJK dalam hal pengawasan bank memiliki jejaring akuntabilitas melalui Basel Committee. Pada level domestik, akuntabilitas juga dilakukan melalui cabang kekuasaan yudikatif (peradilan) yang mandiri dan imparsial. Karena itu, perwujudan akuntabilitas tindakan KPK adalah melalui pengadilan, bukan DPR.

Intervensi politik DPR melalui hak angket yang sedang berjalan ini harus dihentikan untuk tetap menjamin KPK yang bebas dari tekanan politik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Giri Ahmad Taufik, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

-------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 3 Juli 2017 dengan judul "Konstitusonalisme Baru dan Hak Angket KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan