Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan dan Operasionalisasi TransJakarta Koridor 4,5,6 dan 7 Tahun 2007-2008

Pukul. 10.30 WIB, Rabu, 27 Mei 2009 ICW bersama YLKI melaporkan Dugaan Korupsi Kasus Trans Jakarta/Bus Way. Kami diterima oleh Bagian Pengaduan Masyarakat dan menyerahkan sejumlah dokumen, dan analisis kasus untuk mendukung laporan dugaan korupsi dalam penunjukan Operator dan penentuan harga/kilometer Bus Way koridor 4, 5, 6, dan 7. Dari ICW: Agus Sunaryanto, Kepala Divisi Investigasi ICW dan Febri Diansyah, Peneliti Hukum ICW. Dari YLKI: Sudaryatno, Pengurus Harian YLKI.

HP Agus Sunaryanto (0812 8576873)

----------------------------
Press Release Indonesia Corruption Watch

Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan dan Operasionalisasi Bus TransJakarta Koridor 4,5,6 dan 7 Tahun 2007-2008

Busway merupakan jalur khusus yang dipergunakan oleh angkutan umum bus. Sejak awal dioperasikan pada 15 Januari 2004, angkutan yang kemudian dikenal sebagai Bus Transjakarta ini ditujukan untuk meningkatkan pelayanan angkutan bus menuju standar pelayanan yang lebih baik , lebih cepat, nyaman dan terjangkau bagi warga Jakarta.

Untuk mengatur operasionalisasi busway, Pemda DKI Jakarta kemudian membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta sebagai unit pelaksana teknis dinas perhubungan provinsi daerah khusus jakarta.

Pada akhir tahun 2006 Pemda DKI Jakarta berencana mengoperasikan Busway Koridor 4,5,6,7. Sehubungan dengan rencana tersebut maka pada 20 juli 2006 Dinas Perhubungan DKI Jakarta memberitahukan kepada perusahaan bus kota yang terkena dampak penataan trayek untuk melakukan persiapan pengadaan kendaraan.

Pada prakteknya proses pengadaaan bus transjakarta koridor 4,5,6,7, diduga sarat dengan penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Penyimpangan tersebut khususnya terjadi dalam penentuan operator dan kompensasi tarif (Rp/Km)yang melanggar Keppress 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang/jasa. Secara spesifik terdapat beberapa indikasi penyimpangan, diantaranya;

1. Penunjukan Langsung Operator 4-7
Salah satu alasan penunjukan konsorsium untuk menjadi operator busway koridor 4,5,6,7 adalah untuk mengakomodasi perusahaan-perusahaan bus kota yang trayeknya terkena dampak penataan karena bersinggungan 50%-100% dengan rencana rute busway koridor 4,5,6,7.

Alasan tersebut tertuang dalam surat Kepala Dinas perhubungan No 3480/-1.811.1 dan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta nomor 123 tahun 2006 tanggal 7 desember 2006. Kemudian dalam pasal 1 ayat 11 Pergub 123/2006 tersebut disebutkan bahwa konsorsium merupakan penggabungan perusahaan-perusahaan angkutan umum bus kota yang terkena dampak restrukturiasi trayek.

Penunjukan langsung konsorsium yaitu PT Jakarta Mega Trans (PT JMT) dan PT Jakarta Trans Metropolitan (PT JTM) sebagai operator bus transjakarta koridor 4,5,6 dan 7 jelas bermasalah karena melanggar prosedur seperti tertuang dalam lampiran Keppres 80 tahun 2003 khususnya tentang kriteria penunjukan langsung baik dalam keadaan tertentu maupun pengadaan barang dan jasa khusus. Dan yang harus digarisbawahi, penunjukan konsorsium dilakukan terlebih dahulu sebelum tarif resmi pemerintah diberlakukan.

Selain itu pembentukan konsorsium juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena Peraturan Gubernur No 123 tahun 2006 yang mengatur penetapan operator bus, baru disahkan pada tanggal 7 desember 2006. Artinya, diduga kuat Pergub 123/2006 dikeluarkan hanya untuk melegitimasi penunjukan langsung operator busway koridor 4,5,6 dan 7.

2. Operasionalisasi operator Konsorsium hanya berdasarkan SPK
Persoalan lain yang krusial adalah kedua operator konsorsium beroperasi hanya berdasarkan surat perintah kerja (SPK). Ini diperkuat oleh surat nomor 042/JTM/BLU/VI/2007 tentang permohonan penetapan tarif dari PT JMT dan PT JTM. Salah satu substansi materi surat ini menyebutkan;

” Bahwa selama ini kami beroperasi dengan tarif Rp/km berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) No.005/-077.922 tanggal 22 januari 2007....”

Menurut pasal 31 ayat 4 Keppres 80/2003 disebutkan bahwa pengadaan dengan nilai di atas Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa Surat Perintah Kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan.

Operasionalisasi koridor 4,5,6 dan 7 membawa konskuensi atas kebutuhan untuk mengadakan sejumlah armada bus untuk melayani koridor tersebut yaitu lebih dari 100 bus yang tentunya akan bernilai lebih dari 50 juta. Itu artinya kerjasama operasi operator konsorsium seharusnya didasarkan atas kontrak bukan SPK.

Oleh karena itu operasionalisasi bus transjakarta harus mengacu pada pasal 31 ayat 5 Keppres 80 tahun 2003 dimana disebutkan bahwa pengadaan dengan nilai di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ) dengan jaminan pelaksanaan. Dengan demikian jelas bahwa pemberian SPK kepada operator konsorsium telah melanggar hukum.

3. Penentuan Tarif Konsorsium Tanpa Tender
Kompensasi tarif bagi operator busway merupakan persoalan yang terus menjadi polemik, bahkan pada pada tahun 2008 dua konsorsium yaitu PT JMT dan PT JTM pernah mengancam akan menghentikan operasional seluruh armada bus yang melayani koridor 4,5,6 dan 7 karena tidak sepakat dengan penyesuaian tarif hasil tender yang ternyata lebih murah[1].

Mengacu pada Pergub 123/2006 pasal 7 ayat 1 dan 2, penentuan tarif dilakukan melalui dua mekanisme yaitu negoisasi untuk operator konsorsium dan mekanisme tender untuk operator baru. Sedangkan dalam pasal 3 disebutkan apabila terjadi perbedaan nilai rupiah maka akan dilakukan negoisasi ulang terhadap harga yang lebih tinggi.

Mengingat penentuan tarif berkaitan dengan pengadaan armada bus yang tentunya bernilai ebih dari Rp. 50 juta, maka seharusnya tetap mengacu pada Keppres 80 tahun 2003 pasal 17 yaitu dengan cara pelelangan umum. Hal ini karena penyedia bus tidak terbatas, bukan pekerjaan yang kompleks dan tidak dalam keadaan khusus.

Apalagi, BLU belakangan melakukan sistem tender tarif yang ternyata hasilnya lebih murah dibanding tarif hasil negoisasi. Tender tarif yang dimenangkan oleh PT Primajasa dan PT Lorena) ternyata hanya berkisar antara Rp. 9.371,74 - Rp. 9536,50 (Single bus/ Koridor 4,6,7) dan Rp. 16.661,00 (Articulated Bus/ Koridor 5).

Tarif hasil tender jelas menunjukan bahwa tarif yang diberlakukan kepada dua konsorsium sejak tahun 2007 terlalu mahal sehingga merugikan masyarakat serta membebani APBD DKI Jakarta.

4. Potensi Kerugian Negara
Seperti diketahui, Operator konsorsium Koridor 4,5,6 dan 7 menerima pembayaran dari BLU Transjakarta sebesar Rp. 12.885/ Km. Sedangkan menurut hasil tender, operator baru untuk koridor yang sama mendapatkan pembayaran yang jauh lebih murah yaitu ;
a. Koridor 4 : Rp. 9536,50
b. Koridor 5 : Rp. 16.661,00
c. Koridor 6 : Rp. 9.371,74
d. Koridor 7 : Rp. 9,443,00

Mengacu pada Tarif Rp/Km hasil tender tersebut jelas membuktikan bahwa tarif hasil negoisasi yang diberikan kepada operator konsorsium tidak terlalu mahal dan pada akhirnya membebankan keuangan pemerintah daerah.

Setidaknya dari total dana yang dibayarkan BLU Transjakarta untuk koridor 4,5,6 dan 7 selama tahun 2007 kepada operator konsorsium, 44,86%nya diduga berasal dari APBD. Sedangkan selama tahun 2008, untuk koridor yang sama, APBD juga menyumbang 34,92 % dari total jumlah yang dibayarkan kepada Konsorsium. (tabel 1 dan 2)

secara hukum tarif yang diberikan kepada konsorsium juga bermasalah karena hanya mengacu pada peraturan Gubernur 123 tahun 2006 yang notabene melanggar peraturan diatasnya yaitu Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa. Pelanggaran hukum tersebut sangat berpotensi merugikan keuangan negara/daerah.

Jika total tarif Rp/ km koridor 4,5,6 dan 7 yang dibayarkan kepada operator konsorsium selama tahun 2007 dan tahun 2008 dibandingkan dengan tarif Rp/Km hasil lelang terdapat selisih yang sangat besar.

Berdasarkan kalkulasi setidaknya terdapat selisih yang menjadi potensi kerugian negara yaitu sebesar Rp. 61.816.268.068,78. (Enam puluh satu milyar delapan ratus enambelas juta dua ratus enam puluh delapan ribu enam puluh delapan koma tujuh puluh delapan rupiah).

Tabel 1 : Perbandingan besaran tarif antara harga negoisasi (Konsorsium) dan Hasil lelang Koridor 4,5,6 dan 7 selama Tahun 2007

Koridor

Bus Km-Tempuh

Harga Konsorsium

Harga Hasil lelang

Selisih

4

2.266.987,7 Km

Rp. 29.210.136.515

Rp. 21.619.128.201,42

Rp.   7.591.008.313,58

5

2.519.853,5 Km

Rp. 32.468.312.348

Rp. 24.030.582.903,12

Rp.   8.437.729.444,88

6

2.679.429,5 Km

Rp. 34.524.449.108

Rp. 25.110.916.622,69

Rp.   9.413.532.458,31

7

2.084.786,4 Km

Rp. 26.862.472.764,5

Rp. 19.686.637.975,57

Rp.   7.175.834.788,93`

 

 

 

 

Rp. 32.618.105.032,70

Tabel 2 : Perbandingan besaran tarif antara harga negoisasi (Konsorsium) dan Hasil lelang Koridor 4,5,6 dan 7 selama Tahun 2008

Koridor

Bus Km-Tempuh

Harga Konsorsium

 

Harga Hasil lelang

Selisih

4

2.839.518,70 Km

Rp. 31.992.279.952,43

Rp. 23.017.209.570,17

Rp.   8.975.070.382,26

5

3.023.435,90 Km

Rp. 42.817.445.700,42

Rp. 42.817.445.700,42

Rp.                        0

6

3.524.231,80 Km

Rp. 39.659.761.863,15

Rp. 28.073.956.510,93

Rp. 11.585.805.353,22

7

2.670.360,50 Km

Rp. 30.071.069.371,88

Rp. 21.433.782.071,28

Rp.   8.637.287.300,60

 

 

 

 

Rp. 29.198.163.036,08

 
Tabel 3 :Total Selisih hasil perbandingan tahun 2007 dan tahun 2008

Tahun

Selisih

Tahun 2007

Rp. 32.618.105.032,70

Tahun 2008

Rp. 29.198.163.036,08

Jumlah Total

Rp. 61.816.268.068,78

Kesimpulan
Pengoperasian bus transjakarta koridor 4,5,6 dan 7 adalah tindak lanjut dari kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam membagun moda transportasi yang lebih berkualitas, efisien dan manusiawi. Namun dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum khususnya Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Beberapa penyimpangan tersebut diantaranya, penunjukan langsung konsorsium sebagai operator busway koridor 4,5,6 dan 7, Operasionalisasi operator Konsorsium hanya berdasarkan SPK, Penentuan Tarif Konsorsium Tanpa Tender.

Rekomendasi

  1. Gubernur DKI Jakarta harus mengevaluasi seluruh pengelolaan bus transjakarta khususnya koridor 4,5,6 dan 7
  2. Badan Layanan Umum Transjakarta harus melakukan tender ulang atas hak pengelolaan dan nilai tarif koridor 4,5,6 dan 7 yang secara istimewa telah diberikan kepada operator konsorsium.
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan bus transjakarta koridor 4,5,6 dan 7.

Jakarta, 27 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan