Jauh Sasaran Sapi Bantuan

Bantuan ternak sapi di Sulawesi Selatan kerap tidak tepat sasaran. Sebelum bergulir ke peternak lain, sapi mati atau dijual.

TIGA lelaki itu asik mengobrol di bawah naungan gubuk kayu yang terbuka. Salah seorang dari mereka berdiri menyambut penulis yang bertandang ke gubuk beralaskan rerumputan kering itu pada 27 Juli 2017.

Sebut saja nama lelaki itu Anton. Dia adalah salah satu penerima bantuan sapi ternak dari pemerintah di Desa Turatea, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. “Ini dulunya kandang sapi,” kata Anton merujuk pada gubuk kayu itu.

Anton mempersilakan penulis duduk di kursi plastik. Di atas meja, terhidang gelas berisi sirup merah dan toples berisi kue kering cokelat. Sore itu, cahaya matahari menerobos masuk dari sela-sela dinding kayu gubuk itu.

Anton bercerita, ia menerima bantuan seekor sapi dari pemerintah daerah pada Mei 2016. Awalnya, Anton mengetahui ada pembagian ternak dari sepupunya yang merupakan ketua kelompok tani di Desa Turutea.

Untuk mendapat sapi bantuan itu, Anton harus menyerahkan salinan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Bagi pekerja serabutan ini, syarat itu masih ringan. Yang memberatkan Anton adalah keharusan menyerahkan uang sebesar Rp 1 juta.

Anton sempat bertanya-tanya mengapa untuk mendapat bantuan dia malah harus membayar. “Biasanya kan gratis,” kata dia. Namun, karena terbuai oleh bayangan akan mendapat keuntungan, Anton nekat meminjam uang dari tetangganya. Itu pun, Anton hanya bisa mengumpulkan Rp 700 ribu.

Waktu itu, menurut Anton, ada tujuh anggota kelompok tani yang memperoleh bantuan sapi. “Saya mendapatkan sapi terkecil,” kata Anton. “Mungkin karena saya hanya menyetor Rp 700.000,” ujar bapak satu anak ini.

Anton hanya bertahan memelihara sapi itu selama setahun. Menurut dia, sapi bantuan itu makannya pilih-pilih. Si sapi hanya mau makan rumput hijau yang masih segar. Padahal, Desa Turatera termasuk wilayah gersang. Rumput hijau nan segar tak bisa ditemukan di sembarang tempat. “Di sini susah mencari rumput. Saya kewalahan,” kata Anton.

Bisa jadi karena kurang makan, sapi bantuan itu sakit-sakitan. Anton pun menelepon anggota tim pendamping peternak dari Dinas Peternakan. Tadinya, selain melapor, Anton berharap petugas akan mengobati sapinya. “Eh, dia malah meminta uang bensin,” kata Anton. “Karena tak punya uang, saya ndak kasih.”

Semangat Anton untuk terus memelihara sapi mulai goyah. Apalagi, sejumlah tetangga menyarankan dia menjual sapi tersebut. Alasan mereka, kalau pun tidak mati, sapi itu bisa saja dicuri. Di samping itu, anggota kelompok tani penerima bantuan lainnya lebih dulu menjual sapi mereka.

Anton sempat meminta pendapat ketua kelompok tani. Sang ketua awalnya menyarankan Anton tetap memelihara sapi itu untuk berjaga-jaga bila ada petugas dari Dinas Peternakan yang datang memeriksa. Tapi, di ujung percakapan, ketua kelompok tani malah menawar sapi Anton dengan harga murah.

Ditunggu beberapa waktu, petugas dari Dinas Peternakan tak kunjung datang. Akhirnya, karena perlu uang, Anton pun menjual sapinya. “Kalau dipikir–pikir, tenaga dan biaya perawatan sapi tidak sebanding dengan harga jual,” kata Anton yang juga harus berbagi “keuntungan” dengan tetangga yang meminjami dia uang.

Anton bukanlah satu–satunya peternak yang gagal mengurus sapi bantuan pemerintah. Pada 29 April 2017, penulis menemui beberapa warga Desa Bontomanai, Kecamatan Bangkala, Jeneponto, yang mendapatkan bantuan sapi. Salah seorang warga, sebut saja namanya Sappo, bercerita bahwa dia menerima sapi betina dari pemerintah pada 2014. Ketika dibagikan, sapi itu umurnya sekitar 1,5 tahun.

Seperti halnya petani lain, Sappo juga kesulitan memelihara sapi karena sedikitnya rumput segar di desanya. Akibatnya, sapi yang dia pelihara sakit-sakitan, lalu mati sekitar setahun sejak serah terima. “Prosedurnya, apabila sapi mati, tinggal dilaporkan ke kepala desa,” ujar Sappo.

Sekretaris Desa Bontomanai, Bustam, membenarkan bahwa pada 2014 sejumlah warga menerima sapi bantuan dari pemerintah. Bantuan itu merupakan usulan pada tahun anggaran 2013. Pada 2015-2016, tak ada warga desa yang menerima bantuan sapi. Desa Bontomanai akan menerima bantuan sapi lagi pada tahun ini, yang merupakan usulan tahun 2014.

Bustam menerangkan banyak warga desa yang kesulitan memelihara ternak bantuan itu karena sebagian besar wilayah Jeneponto merupakan tanah berbatu yang tandus. Rumput hijau untuk makanan ternak terbatas. “Apalagi, pencuri ternak juga merajalela,” kata Bustam.

Cerita dari warga penerima bantuan sapi di Kecamatan Turatea, Jeneponto, juga sama suramnya. Tono, bukan nama sebenarnya, menerima sapi bantuan pada 2015. Tono mendapatkan sapi karena pengurus kelompok ternak di kecamatan itu masih keluarga dia.

Sebelum menerima bantuan sapi, menurut Tono, setiap calon penerima mendapat penyuluhan dari petugas Dinas Peternakan. Mereka diajari cara membuat kandang dan memelihara sapi, serta diperkenalkan dengan teknik inseminasi buatan.

Nyatanya, menurut Tono, memelihara sapi di wilayah yang kurang rumput segar tetap saja susah. Apalagi, sapi yang dibagikan sebagaian kurang sehat. Karena itu, Tono pun menjual sapi bantuan itu. Menurut dia, belasan orang anggota kelompok tani yang dia kenal juga menjual sapi sebulan setelah pembagian. “Kebiasaan di sini, sapi pembagian dijual karena susah mengurusnya,” ujar Tono.

***

Meski cerita kegagalan pengurusan sapi bantuan berserak di banyak tempat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terus menganggarkan pengadaan sapi bantuan untuk masyarakat. Jumlah anggarannya pun dari tahun ke tahun meningkat.

Di Kabupaten Jeneponto, misalnya. Pada 2015, pemerintah menganggarkan bantuan sapi sebesar Rp 219 juta yang lelangnya dimenangkan CV Mawaddah. Lalu, pada 2016, anggaran pengadaan sapi bantun melonjak menjadi Rp 1,889 miliar. Kali ini, lelang pengadaan sapi bantuan dimenangkan CV Kiswah Ma’al Attar.

Tak hanya Kabupaten Jeneponto yang menerima bantuan sapi potong. Berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Sulawesi Selatan, pada 2016, pemerintah menyediakan anggaran bantuan sapi potong untuk Kabupaten Bulukumba, senilai Rp 1,880 miliar, dan Kabupaten Sinjai, senilai Rp 1,316 miliar. Pemenang lelang pengadaan sapi potong di kedua kabupaten ini juga CV Kiswah Ma’al Attar.

Pada tahun yang sama, Pemerintah Sulawesi Selatan menyalurkan bantuan sapi potong untuk Kabupaten Enrekang, senilai Rp 2,257 miliar, dan Kabuaten Takalar, senilai Rp 1,318 miliar. Pemenang lelang pengadaan sapi potong untuk kedua kabupaten itu adalah CV. Pao Poerwosari.

Penulis sempat menelusuri perusahaan CV Kiswah Ma’al Attar yang sering memenangkan tender pengadaan sapi bantuan. Dalam dokumen lelang tertulis direktur perusahaan itu adalah Rizal Effendy. Pada 9 April 2017, penulis mendatangi alamat CV Kiswah di Jalan Perintis Kemerdekaan nomor 7, Makassar, seperti tertera di situs LPSE Sulawesi Selatan. Ternyata, itu alamat rumah ibu kandung Rizal. Sementara kantor CV Kiswah telah pindah ke Jalan Pelita Raya, Makassar, sekitar 10 kilometer dari alamat semula.

Ketika ditemui di rumahnya, ibunda Rizal menuturkan, anaknya bekerja di CV Kiswah sejak 2014. Setelah CV Kiswah memenangi tender pengadaan sapi pada 2015-2016, Rizal yang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin diangkat menjadi salah satu direktur. “Anak saya sebenarnya cuma ikut bos-bos itu,” kata sang bunda.

Penulis tak sempat bertemu lagsung dengan Rizal karena dia sibuk mengikuti lelang di beberapa daerah. Di LPSE Sulawesi Selatan, CV Kiswah tak hanya tercatat sebagai pemenang tender pengadaan ternak. Perusahaan ini juga memenangi berbagai lelang, dari pengadaan pakaian seragam sampai alat-alat olahraga.

****

Penyaluran bantuan sapi di Sulawesi Selatan termasuk poin yang mendapat sorotan dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2015. Menurut BPK, pengelolaan aset berupa hewan ternak pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan “belum memadai”.

Badan Pemeriksa Keuangan mencatat, per 31 Desember 2015, ada 472 ekor sapi—senilai Rp 1,853 miliar—yang digaduhkan alias diserahkan kepada masyarakat untuk dipelihara dengan perjanjian tertentu.

Aturan main resminya, menurut BPK, penggaduhan hewan ternak harus didasari dokumen perjanjian antara Dinas Peternakan dan kelompok masyarakat penerima hewan gaduhan. Dokumen perjanjian tersebut mengatur bahwa penerima sapi gaduhan wajib melaporkan perkembangan ternak yang dipeliharanya, serta menyerahkan keturunan hewan itu kepada Dinas Peternakan. Sapi induk baru menjadi milik peternak—berdasarkan akta hibah—setelah mereka memenuhi kewajibannya.

Faktanya, menurut temuan BPK, penyaluran ternak gaduhan sering tidak disertai perjanjian penggaduhan. Padahal, dokumen tersebut sangat penting untuk mengontrol dan memonitor hewan ternak yang digaduhkan. Dokumen tersebut juga penting sebagai pertanggungjawaban jika hewan ternak itu mati atau mempunyai keturunan.

Badan Pemeriksa Keuangan juga menyebutkan bahwa pengusulan ternak gaduhan dari kelompok masyarakat tidak sesuai aturan. Pada 2014, misalnya, usulan masuk setelah penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Akibatnya, pada penjabaran APBD 2014, tidak dilampirkan daftar nama penerima ternak gaduhan, alamat penerima, serta besaran nilai yang akan diberikan kepada masing–masing penerima.

Meski menemukan indikasi penyimpangan, BPK tidak tegas-tegas menyatakan ada kerugian negara dalam penyaluran bantuan sapi gaduhan. Kepala Perwakilan BPK Sulawesi Selatan, Endang Tuti Kardiani, mengatakan temuan BPK soal tenak gaduhan itu sifatnya administrasi saja.

Mantan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Profesor Muladno, memberi catatan khusus atas bantuan ternak yang dia sebut “berorientasi belas kasihan” itu. Menurut Muladno, program serupa rawan terjangkit korupsi. “Yang diuntungkan politikus partai dan pedagang ternak,” kata dia.

Politikus partai, menurut Muladno, bisa mempengaruhi pemerintah daerah untuk membagikan ternak itu kepada konstituen si politikus atau partainya. “Dasar pemilihan bukan karena profesionalitas peternak, tetapi karena loyalitas politik mereka,” kata Muladno.

Adapun para pedagang, kata Muladno, mendapat untung tak hanya ketika menjadi pemenang lelang. Mereka juga bisa meraup untung ketika peternak kembali menjual hewan gaduhan dengan harga murah. “Yang banyak menikmati madunya adalah pedagang. Sedangkan peternak tak beranjak baik nasibnya,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor ini.

Pejabat Humas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Rusdin, menolak bila bantuan ternak sapi disebut salah sasaran. Menurut dia, lelang pengadaan sapi bantuan berlangsung terbuka. Dinas Peternakan menyalurkan bantuan ternak berdasarkan kebutuhan dan proposal dari kelompok tani.

Sebelum menyalurkan bantuan, kata Rusdin, Dinas Peternakan juga melakukan kunjungan lapangan untuk menilai apakah kelompok pengrim proposal layak mendapat bantuan atau tidak. “Biasanya, setiap tim kami turun meninjau lokasi, pengurus kelompok tani berjanji membuat kandang dan merawat ternaknya dengan baik,” kata Rusdin.

Masalahnya, menurut Rusdin, setelah mendapat bantuan, sebagian peternak tidak memenuhi janjinya. Mereka tak merawat ternak dengan baik, sehingga banyak ternak yang mati. Ketika ternak mati, menurut Rusdin, banyak kelompok tani yang menunda-nunda laporan. “Makanya, menurut temuan BPK, banyak sapi yang tidak tercatat,” ujar Rusdin.***

Penulis: Aqilah Nurul Khaerani Latif - Jurnalis Harian Fajar - Jurnalis Fellowship ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan