DPR Harus Tolak Upaya Pelemahan KPK dan Pengadilan Tipikor

Kamis, 9 Juli 2009 pukul 10.30, Koalisi Pemantau Peradilan yang diwakili oleh Emerson Yuntho dan Febri Diansyah mendatangi Badan Legislasi DPR untuk menyerahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) versi Masyarakat. RUU ini merupakan naskah tandingan atau alternatif terhadap RUU Tipikor yang juga telah diserahkan pemerintah kepada DPR pada Mei 2009 lalu. Koalisi diterima oleh Mutamimul Ula (anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS) dan yang bersangkutan menyatakan melelui sekretaris Badan legislasi akan mendistribuisikan dan mempelajari RUU yang dibuat oleh Koalisi ke anggota Badan Legislasi DPR.

Pernyataan Pers

DPR HARUS TOLAK UPAYA PELEMAHAN KPK DAN PENGADILAN TIPIKOR

Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Departemen Hukum dan HAM, pada bulan Mei 009 lalu telah menyerahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain RUU Tipikor yang baru diserahkan, regulasi antikorupsi yang sedang dibahas oleh DPR adalah RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor).

Berkaitan dengan UU Tipikor, naskah yang disusun oleh pemerintah pada dasarnya memiliki suatu kemajuan seperti (1) Telah memasukkan beberapa prinsip-prinsip penting UNCAC (2) perluasan tindak pidana suap dalam ranah korupsi (penyuapan terhadap pejabat publik domestik, pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional, serta di sektor swasta), dan (3) penghapusan izin pemeriksaan bagi kepala daerah dalam perkara korupsi.

Namun demikian kami menilai naskah RUU Tipikor dari Pemerintah sedikitnya memiliki 20 persoalan yang justru tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi (terlampir). Beberapa diantaranya adalah beberapa pasal tidak mencantumkan ancaman pidana minimal. Ini tentu saja membuka peluang koruptor bisa hanya dikenai hukuman percobaan. Selain itu ada pula tanda-tanda mulai kompromi dengan koruptor. RUU Tipikor versi pemerintah menyebutkan korupsi di bawah Rp 25 juta tidak dihukum jika pelaku menyesal dan mengembalikan uang hasil korupsi.

Hal penting yang perlu dicermati dalam RUU Tipikor versi pemerintah adalah muncul upaya  melemahkan dan tidak mengakui eksistensi institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikior. RUU Tipikor versi pemerintah secara tersirat membatasi kewenangan KPK hingga tingkat penyidikan (tidak sampai penuntutan seperti kewenangan yang dimiliki saat ini). Pengadilan Tipikor juga tidak ”diakui” dalam RUU yang disusun oleh pemerintah.

Dalam konteks pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan sudah merasuki hampir semua sendi kehidupan bangsa, maka upaya khusus dan luar biasa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Keberhasilan KPK menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan memberikan vonis yang lebih punya efek jera melalui Pengadilan Tipikor sudah selayaknya didukung. Bukan justru dilemahkan atau dibubarkan.

Untuk antisipasi upaya pelemahan tersebut, Koalisi Pemantau Peradilan bersama dengan  sejumlah ahli (expert) menyusun Naskah RUU Tipikor versi Masyarakat sebagai alternatif terhadap RUU yang telah disusun oleh pemerintah. Keberadaan RUU Tipikor Versi Masyarakat merupakan bagian dari strategi untuk “mengawal”  proses penyusunan dan pembahasan RUU yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR serta sekaligus mendukung percepatan pemberantasan korupsi, penjeraaan bagi koruptor dan memperkuat eksistensi KPK dan Pengadilan  Tipikor.

Berdasarkan uraian diatas dengan ini kami meminta DPR:

  1.  Menolak upaya-upaya dari pihak tertentu maupun oknum anggota DPR yang ingin institusi KPK dan Pengadilan Tipikor menjadi lemah atau bahkan dibubarkan. Langkah progresive yang dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor dengan memeriksa dan mengadili serta menghukum sejumlah mantan dan anggota dewan harus dimaknai sebagai suatu yang positif dalam rangka membersihkan mafia parlemen.
  2.  Merombak ulang ketentuan RUU Tipikor versi pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Proses penyusunan harus dilakukan secara terbuka dan publik diberikan ruang seluas-luasnya dalam memberikan masukan.
  3. Memastikan bahwa RUU Tipikor yang nantinya disahkan dapat mendorong upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif dan mendukung penuh terhadap eksistensi dan penguatan KPK dan juga Pengadilan Tipikor.

 

Jakarta, 9 Juli 2009
Koalisi Pemantau Peradilan

ICW-PSHK-LeIP-LBH Jakarta- ILRC-MAPPI-KRHN

----------------
Lampiran
11 UPAYA MELEMAHKAN KPK

1. JUDICIAL REVIEW KE MK
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan pasal 53 UU KPK tidak sah. Perlu dibentuk dengan UU tersendiri (UU Pengadilan Tipikor). MK memberikan batas waktu sampai tahun 2009. (19 Desember 2006) 

2. PROSES SELEKSI
Muncul upaya “pembajakan KPK” melalui proses seleksi fit and propert test pimpinan KPK jilid II (2008-2011). Track record calon tidak menjadi pertimbangan dalam memilih. Antasasri Azhar terpilih menjadi Ketua KPK (10 Desember 2007).   

3. ANCAMAN PEMBOMAN
Gedung KPK diancam bom. Namun setelah ditelusuri tidak ditemukan (6 Februari 2008)

4. WACANA PEMBUBARAN KPK
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR Ahmad Fauzi mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Hal ini terkait dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR. Ahmad menilai, KPK menjadi lembaga yang super dalam menangani kasus-kasus korupsi. Menurut diaUU KPK perlu direvisi (April 2008).

5. PENOLAKAN ANGGARAN KPK
Permintaan tambahan dana dalam rekening 069 pada RAPBN 2009 untuk KPK sebesar Rp90 miliar ditolak DPR dengan alasan belum pernah dibicarakan dalam rapat Komisi III DPR. (November 2008).

6. PROSES LEGISLASI UU ANTIKORUPSI
RUU KPK
Pemerintah dan DPR memasukkan Revisi UU KPK kedalam Program Legislasi Nasional 2004-2009. Jika UU KPK dibahas, potencial justru akan melemahkan KPK. Namun proses pembahasan batal  dilakukan.

RUU TIPIKOR
Isu krusial : kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan (dilimpakan ke DPR Mei 2009).

RUU PENGADILAN TIPIKOR
Isu krusial : Komposisi hakim ad hoc mulai diperkecil, Ketua Pengadilan diberikan kewenangan penuh memilih hakim, pembentukan pengadilan tipikor disetiap kabupaten (dilimpakan ke DPR Sept 2008).

Proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di Pansus DPR masih macet, jika tidak disahkan hingga 19 Desember 2009, maka semua kasus yang ditangani oleh KPK akan diadili oleh pengadilan umum.  

7. PENARIKAN PERSONEL DARI KPK
Mabes POLRI menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK (November 2008). BPKP berupaya menarik 25 personelnya dari KPK dan akan memberikan sanksi jika menolak. Namun rencana urung dilaksanakan (Mei 2009).

8. PEMBATASAN KEWENANGAN PENYADAPAN
Sejumlah anggota Komisi III DPR mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Muncul ide pembatasan penyadapan KPK melalui Revisi UU KPK (Agustus 2008). Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah terkait.

9. PENGHENTIAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Ada dorongan dari sebagian anggota Komisi III DPR untuk meminta KPK tidak melakukan penyidikan atau penuntutan selama komposisi pimpinan tidak lengkap 5 orang (Mei 2009).   

10. AUDIT
BPKP berupaya melakukan audit terhadap KPK atas perintah Presiden. Namun SBY membantah (Juni 2009).

11. KRIMINALISASI
Chandra Hamzah, wakil Ketua KPK diperiksa sebagai saksi oleh Mabes Polri. Para petinggi Polri memberi sinyal Chandra diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, yang menyeret Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar (Juni 2009).

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan