Direksi Pertamina Bergeming; Penjualan Tanker Tetap Dilakukan

Langkah Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) melaporkan dugaan adanya praktik KKN dalam penjualan dua unit tanker very large crude carrier (VLCC) yang masih dalam pemesanan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak digubris jajaran manajemen Pertamina. Mereka bersikukuh dengan keputusan semula. Alasannya, tidak ingin membebani cash flow perusahaan.

Kondisi cash flow kita tidak memungkinkan untuk memesan tanker itu. Apalagi, Juni ini kita sudah harus membayar cicilan untuk pengadaan tanker. Sementara likuiditas kita tidak memungkinkan, tegas Direktur Keuangan PT Pertamina Alfred Ardianus Rohimone saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR di Jakarta kemarin.

Hingga akhir 2003, Pertamina telah mengeluarkan dana sekitar USD 52,2 juta. Rinciannya, untuk pembayaran uang muka USD 6,5 juta, cicilan termin pertama pada April 2003 senilai USD 19,6 juta, dan cicilan termin kedua pada November 2003 USD 26,1 juta. Sedangkan Juni nanti, cicilan jatuh tempo dan harus dibayarkan kepada Hyundai Heavy Industries, Korsel, USD 13,08 juta (Rp 119,02 miliar).

Menurut Alfred, penjualan dua tanker itu juga didasarkan pertimbangan lebih ekonomis. Menyewa kapal dengan spesifikasi lama lebih menguntungkan dibandingkan memiliki tanker dengan spesifikasi baru, katanya. Dia menyebutkan, biaya sewa tanker single hull (spesifikasi lama) mencapai USD 22 ribu per hari, sedangkan untuk double hull USD 44 ribu per hari.

Memang, kita mendapatkan persetujuan dari Korean Exim dengan all in cost of financing yang murah, tapi tetap saja memberatkan cash flow perusahaan, cetus Alfred. Berdasarkan data dari Clarkson Research, harga pembuatan VLCC saat ini mencapai USD 85,4 juta per unit. Sedangkan harga yang diberikan Hyundai Heavy Industries kepada Pertamina USD 65,4 juta per unit.

Jadi, apabila dijual, kita masih dapat untung USD 20 juta per unit, paparnya.

Pertamina telah menunjuk Goldman Sachs Group Inc sebagai konsultan penjualan tanker yang memiliki daya angkut 2 juta barel minyak mentah itu. Dalam proses tender itu, disyaratkan peserta menyerahkan dana USD 5 juta sebagai jaminan. Pada 27 Mei 2004 besok akan ditentukan short list perusahaan yang akan mengikuti uji tuntas (due diligence). Ada 60 perusahaan yang sudah menyatakan berminat. Sebagian besar dari luar negeri, ungkap Alfred.

Pertimbangan lain, hingga saat ini Pertamina belum berpengalaman mengoperasikan VLCC, dan sewa operator tanker membutuhkan dana USD 1,5 juta per tahun. Selain itu, pemanfaatan VLCC oleh Pertamina terbatas sebagai sarana transportasi ekspor-impor minyak mentah ke Kilang Cilacap.

Meski dua unit VLCC-nya dijual, 4 unit tanker yang dipesan di dalam negeri -di PT Nan Indah Mutiara Shipyard Batam (3.500 DWT dan 6.500 DWT), PT Dok Perkapalan Surabaya (6.500 DWT), dan PT PAL (30 ribu DWT)- tetap dilanjutkan. Pertamina, kata Alfred, telah membayar 20 persen dari nilai kontrak 4 tanker itu yang mencapai USD 51,25 juta. Kita sudah bayar 20 persen kepada pihak galangan nasional, katanya.

Sementara itu, Komisaris Pertamina Roes Ariawijaya menjelaskan, pembiayaan pengadaan 4 tanker tersebut akan diupayakan dari pendanaan internal. Biaya lain diharapkan diperoleh dari return atas kegiatan yang akan dilakukan empat tanker itu. Jadi, dananya tidak dari obligasi atau pinjaman lainnya seperti yang digunakan untuk membiayai VLCC itu.

Menurut Roes, sebagai ganti penjualan dua VLCC itu, dewan komisaris meminta Pertamina menyewa kapal dari pihak ketiga. Dia menegaskan, core bisnis Pertamina bukan pengadaan tanker, tapi minyak. Berdasarkan kajian direksi maupun komisaris, lanjut dia, menyewa tanker lebih efisien ketimbang memiliki sendiri.

Jadi, dari hasil kajian kita, Pertamina akan rugi dalam jangka panjang kalau punya tanker sendiri. Penggunaannya tidak optimal, cetusnya. (ton)

Sumber: Jawa Pos, 26 Mei 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan