In-Depth Analysis: Tiga Pemicu Korupsi Sektor Peradilan

Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik, dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun hasil yang dicapai pasti akan lebih baik (Prof. B.M Taverne). Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa penegakan hukum sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh individu-individu didalamnya. Dinamika penegakan hukum amat bergantung kepada komitmen serta sosok aparat penegak hukum itu sendiri.

Dalam konteks penegakan hukum Indonesia, terjadi sebaliknya. Undang-undang cukup baik, tapi orang-orang yang bertugas untuk menjaga justru banyak bermasalah. Penegakan hukum tak murni mencerminkan keadilan, tetapi sering kali identik dengan uang. Keadilan menjadi barang mahal bagi banyak orang

Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal tahun hingga pertengahan 2016 telah berhasil menangkap dan membongkar berbagai praktik mafia peradilan, 27 Oknum Pengadilan Ditangkap, yang teranyar penangkapan Hakim tipikor Janner Purba (Tribun News).

Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan pegawai dan hakim makin mencoreng wajah dunia peradilan. Sayangnya Ketua Mahkamah Agung sebagai pemimpin tertinggi lembaga pengadilan dianggap tak memiliki sikap jelas dalam mengatasi persoalan tersebut.  Padahal terbongkarnya berbagai kasus dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan pembenahan di internal MA dan lembaga peradilan dibawahnya.

Meski pada praktiknya mafia peradilan bekerja di wilayah teknis penanganan perkara tetapi akar masalah utamanya terletak pada persoalan-persoalan yang lebih mendasar. Setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang mesti dibenahi. Pertama, lemahnya kepemimpinan. Dalam hal ini lemahnya kemampuan untuk mendorong perubahan juga berkontribusi terhadap terpeliharanya jaringan mafia peradilan. Ketua Mahkamah Agung serta Ketua Pengadilan tidak memiliki arah dan sikap yang jelas dalam memberantas praktik mafia peradilan.

Kedua, lemahnya manajemen sumber daya manusia. Maraknya praktik mafia peradilan tidak bisa dilepaskan dari rusaknya manajemen promosi, mutasi, rekrutmen, dan evaluasi kinerja. Dalam konteks promosi dan mutasi sering kali faktor utama yang menentukan bukanlah berbasis evaluasi kinerja, melainkan hubungan baik dengan atasan atau adanya uang pelicin.

Ketiga, kelemahan pengawasan internal dan eksternal. Dalam konteks pengawasan internal, nampaknya masih belum memiliki komitmen yang kuat membangun lembaga peradilan yang bersih. Hal ini terlihat dari berbagai masalah mendasar yang dialami pengawasan internal seperti, lembaga pengawas internal tidak didukung staf yang memadai, sifatnya pasif hanya menunggu laporan pengaduan, tidak didukung mekanisme akuntabilitas dan transparansi sehingga sulit bagi publik untuk mengetahui sejauh mana kerja pengawasan dilakukan, serta sistem pengawasan melekat yang dilakukan pimpinan satuan kerja tidak berjalan karena kurangnya komitmen.

Selain itu pengawasan eksternal juga tidak memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat sehingga desain pengawasan eksternal pun tak maksimal dilakukan. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal justru mendapat perlawanan. Kewenangan mereka coba dipersempit. Dalam banyak kesempatan KY tidak dianggap sebagai bagian dari upaya menyelamatkan marwah lembaga pengadilan. Lembaga tersebyt seringkali dianggap sebagai gangguan terhadap independensi kekuasaan kehakiman.

Terbongkarnya berbagai kasus korupsi menjadi momentum bagi MA untuk berbenah dan melakukan langkah-langkah revolusioner dalam membongkar dan memutus mata rantai praktik mafia peradilan.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan