In Depth Analysis: POLEMIK PEMILIHAN KAPOLRI

Kapolri Jenderal Polisi Baroddin Haiti (BH) pada Juli 2016 mendatang memasuki masa pensiun (58 tahun). Saat ini muncul polemik apakah masa pensiun termasuk jabatan Badroddin sebagai Kapolri perlu diperpanjang ataukah tidak? Jika tidak diperpanjang, lalu siapakah figur yang tepat menjadi Kapolri?

Ketentuan masa akhir jabatan sebagai Kapolri sudah diatur pada Pasal 30 Ayat (2) Undang-undang (UU) Polri Nomor 2 Tahun 2002 (UU Kepolisian) menyatakan, usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai 60 tahun.

Sikap partai di DPR sendiri terbelah soal perpanjangan masa pensiun. Pihak yang menolak adalah PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat, PKS, dan Hanura. Sedangkan pihak yang minta diperpanjang adalah Gerindra, PAN, PKB, PPP, Nasdem.

Pihak yang menolak perpanjangan masa pensiun Kapolri memberikan argumen antara lain kinerja BH dianggap buruk, kepentingan kaderisasi dan usia pensiun menurut UU Kepolisian adalah 58 tahun, dan tidak ada alasan untuk perpanjang masa jabatan BH. Sedangkan pihak yang setuju perpanjangan memberikan argumentasi bahwa pemilihan Kapolri adalah hak prerogatif dari Presiden dan UU Kepolisian memberikan kemungkinan perpanjangan pensiun hingga 60 tahun dengan catatan memiliki keahlian khusus.

Presiden Joko Widodo hingga Selasa (7/6) belum memutuskan apakah memperpanjang ataukah tidak masa pensiun Kapolri Badroddin Haiti karena masih menunggu masukan dari Komisi Kepolisian Nasional, Polri, dan masyarakat. Jokowi juga menyatakan bahwa belum menerima usulan nama-nama calon Kapolri sehingga belum dapat memutuskan siapa Kapolri mendatang.

Sejumlah Jenderal bintang tiga masuk bursa sebagai calon Kapolri antara lain Waka Polri Komjen Budi Gunawan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso, Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno, Kepala BNPT Komjen Tito Karnavian, Irwasum Komjen Dwi Priyatno, Kalemdikpol Komjen Syafruddin, dan Sestama Lemhanas Komjen Suhardi Alius. Dari ketujuh orang tersebut nama Budi Gunawan dan Budi Waseso yang sementara ini dinilai punya peluang paling besar menjabat sebagai Kapolri. Meski kedua nama Budi ini punya catatan soal rekam jejak dan sempat menimbulkan kegaduhan.

Lepas dari polemik diperpanjang masa pensiun Kapolri dan perdebatan soal siapa figur yang tepat, maka dalam memilih Kapolri sebaiknya Presiden berpedoman pada Program Nawacita yang salah satu butirnya jelas menyatakan Presiden akan memilih Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan komit pada penegakan hukum.

Dengan demikian pemilihan Kapolri sebaiknya tidak didasarkan pada politik “balas budi” atau kedekatan dengan partai politik. Kapolri bukanlah jabatan politik sehingga Jokowi harus dalam posisi yang independen ketika memilih figur Kapolri dan bukan karena titipan atau tekanan Ketua Umum atau elit partai politik tertentu. Hal ini penting agar upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh pihak Kepolisian mendatang tidak dibajak oleh kepentingan politik.

Selain harus bisa bekerjasama dengan Presiden, bahwa Kapolri yang nantinya dipilih haruslah figur yang tidak bermasalah atau berpotensi menimbulkan masalah secara hukum. Penting bagi Jokowi untuk melibatkan lembaga lain seperti KPK, PPATK, Komnas HAM atau masyarakat untuk melihat rekam jejak calon Kapolri secara utuh agar tidak salah memilih orang bermasalah menjadi Kapolri.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan