Bangkitlah Penegak Hukum

Korupsi individual menjadi bagian sejarah Orde Baru yang mengalami paradigma berbeda dengan era reformasi yang penuh langkah pembaruan. Karena itu, masyarakat amat responsif atas buruknya penegakan hukum pada era Orde Baru itu.

Meskipun demikian, tidaklah benar persepsi bahwa pembaruan memerlukan eliminasi lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian dan Kejaksaan Agung—institusi awal pencegah dan pemberantas korupsi—yang terkontaminasi etika korupsi. Diakui atau tidak, sejak reformasi, pembaruan dan perubahan etika korupsi tidak bersifat individu, tetapi lebih pada polemik korupsi kelembagaan.

Menjamurnya korupsi kelembagaan merupakan arah penegakan hukum yang perspektif. Korupsi kelembagaan tidak diartikan sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan koruptif, tetapi lebih pada penyimpangan tindakan kolektif terhadap kebijakan yang merugikan perekonomian negara. Keadaan ini memberi beban kontaminasi terhadap kelembagaan negara itu.

Korupsi sudah menyebar dan di institusi pemerintahan, kenegaraan, dan swasta. Representasi kasus korupsi kelembagaan ini, misalnya KPU, DPRD, gubernur, wali kota, bupati, Komisi Yudisial, BI, dan terakhir DPR. Bahkan, korupsi dianggap sebagai bagian hidup bangsa. Korupsi individual sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal.

Penegakan hukum terpilah

Sejak kelahirannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi trigger mechanism institusi independen yang dapat memberdaya atas skeptisme publik terhadap lemahnya penegakan hukum. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan amat luar biasa (extra ordinary power) yang tidak dimiliki institusi lain.

KPK bisa meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka (tanpa izin Bank Indonesia), menyadap/merekam pembicaraan, tidak memerlukan izin untuk memeriksa pejabat negara, dan lainnya.

Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan bagian tatanan pemberantasan korupsi. Ini penting mengingat lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan esensial dengan penegak hukum lain dari sistem peradilan pidana.

Korupsi kelembagaan selalu merusak sistem ketatanegaraan dan perekonomian negara. Maka, diperlukan beberapa hal.

Pertama, melakukan tindakan terintegrasi lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, di antara penegak hukum harus memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan sama di antara para penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi.

Selain itu, diskriminasi kewenangan juga akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum. Dalam sistem peradilan pidana, tingkat keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandasi integrated criminal justice system, bukan menciptakan sistem diskriminasi kewenangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penegakan hukum terpilah. Anekdot yang sering muncul, lebih baik disidik Polri dan Kejaksaan Agung daripada KPK.

Tujuan penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegakan hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang nondiskriminatif.

Independensi semu

Kedua, selain itu independensi proses penegakan hukum merupakan wacana yang bersifat imperatif. Akan menjadi sulit bagi Polri dan Kejaksaan Agung untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi, selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status subordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi. Hal ini memunculkan kesan, ada kekuasaan otoriter yang permisif.

Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi penegak hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan. Dengan demikian, selama masih ada hubungan subordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif, kehendak menegakkan hukum korupsi akan selalu gamang dan minim hasilnya.

Gangguan, serangan, dan intervensi terhadap institusi penegak hukum hadir begitu kuat. Pola intervensi pun dikemas dalam bentuk independensi semu, seperti penempatan lembaga penegak hukum yang menjadi subordinasi kekuasaan, penegak hukum hadir rutin dalam rapat kabinet sehingga polisi dan Kejaksaan Agung jarang terlihat memeriksa pejabat negara dalam pemberantasan korupsi. Semua ini memberi arah, seolah ada justifikasi yang berlindung di balik prinsip legalitas subordinasi.

Sikap nonsinergis, diskriminatif kewenangan di antara lembaga penegak hukum—Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK—dalam memberantas korupsi justru melemahkan penegakan hukum.

Balanced and equal of power adalah kebangkitan penegak hukum, Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK sebagai voorportaal (gerbang terdepan) membuka tabir korupsi kelembagaan dalam konteks due process of law yang prospektif.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum

Tulisan ini disalin dari Kompas,14 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan