Presiden Diminta Tegas Tetapkan Moratorium Oslo

Masyarakat sipil mendesak pemerintah segera mengesahkan Instruksi Presiden terkait pemberlakuan Moratorium Oslo. Moratorium tentang jeda tebang di hutan Indonesia itu dinilai sebagai solusi terbaik untuk menahan laju deforestasi di hutan akibat pembalakan liar dan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

"Moratorium harus dipercepat, terutama di kawasan hutan alam dan lahan gambut," ujar Teguh Surya, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonasia (Walhi), dalam diskusi "Moratorium Hutan" yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat (4/2/11).

Teguh menuturkan, moratorium itu harus segera diberlakukan karena laju deforestasi di kawasan hutan Kalimantan Tengah saja telah mencapai 400 ribu hektar pertahun akibat ekspansi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Draf Inpres mengenai penetapan moratorium itu pernah diajukan ke masyarakat sipil, tetapi ditolak karena ada beberapa pasal yang dinilai belum berpihak pada penyelamatan lingkungan. Draf yang diajukan presiden, kata Teguh, masih mengatur sejumlah aturan perkecualian untuk membuka lahan dengan alasan tertentu.

Presiden, kata Teguh, harus bisa bersikap obyektif, mengesampingkan "ancaman" dari pengusaha yang menyatakan pertumbuhan ekonomi akan turun ketika moratorium diberlakukan. Brasil telah menerapkan moratorium ini sejak 2004, dan berhasil menahan laju deforestasi hingga 600 ribu hektar hutan setiap tahun. Secara besamaan, perekonomian Brasil tumbuh sekitar 6% pertahun. ""SBY terlalu khawatir, takut melawan apa kata pengusaha yang menyebut adanya kerugian ekonomi jika moratorium itu diberlakukan," tukas Teguh.

Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch, Jeffry Gideon Saragih, menganggap ketakutan pengusaha perkebunan sawit itu berlebihan. Pasalnya, para pengusaha masih berpikiran untuk selalu membuka lahan-lahan baru. "Padahal, produktivitas kebin sawit di Indonesia masih lebih rendah dibanding kebun sawit Malaysia. Tidak perlu ekspansi. Yang lebih diperlukan adalah peningkatan produktivitas," kata Jeffry.

Jeffry juga mengimbau perusahaan sawit segera masuk ke sektor hilir minyak sawit.

Peneliti Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Mouna Wasef mengungkapkan, pemberlakuan moratorium jeda tebang itu penting untuk mengamankan keuangan negara. Sebab, kata Mouna, potensi penerimaan negara yang dapat diselamatkan dengan asumsi moratorium diterapkan secara nasional selama dua tahun saja, dapat mencapai Rp 25,92 triliyun berupa nilai tegakan kayu, sedangkan untuk pilot project di Kalimantan Tengah dapat menyelamatkan aset negara sebesar 3,6 trilyun.

"Kerugian akibat laju deforestasi jauh lebih besar dibandingkan penerimaan negara yang secara riil masuk ke APBN," ujar Mouna. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan