Tren Vonis Kasus Korupsi 2022

Sumber foto: Dokumentasi ICW (EP)

Setiap tahunnya, ICW melakukan pemantauan putusan tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh pengadilan, baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), maupun Mahkamah Agung (MA). Pemantauan ini dilakukan setidaknya sejak tahun 2005, dan bertujuan untuk menghimpun beragam kategori informasi yang relevan bagi warga dan penegak hukum.

Tindak pidana korupsi sendiri memiliki karakteristik yang khusus dalam konteks Indonesia. Selain karena ia merupakan tindak pidana luar biasa, latar belakang sejarah bagaimana tindak pidana korupsi merajalela dan diinisiasi oleh mantan kepala negara, membuat upaya pemberantasannya menjadi agenda penting yang turut dicatatkan dalam sejarah reformasi 1998.

Sejumlah “infrastruktur” pemberantasan korupsi disiapkan untuk menyambut babak baru penyelenggaraan negara yang lebih bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pengesahan UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (UU Tipikor), pembentukan KPK, hingga pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, merupakan sejumlah perubahan struktural yang memberikan harapan baru dalam memutus masa kelam pemberantasan korupsi di masa pra-reformasi 1998.

Hampir seperempat abad setelah reformasi berjalan, bagaimana rupa pemberantasan korupsi dalam dimensi penegakan hukum berjalan? Sejauh pemantauan tren vonis tipikor dilakukan, penegakan hukum tipikor ternyata belum berjalan optimal. Setiap tahunnya, rata-rata tuntutan dan putusan terdakwa tipikor, bersifat fluktuatif. Jikapun ada peningkatan, umumnya tidak signifikan, sehingga belum dapat tercatat sebagai pola maupun tren yang membawa harapan bagi pemberantasan korupsi.

Tentu saja ada beberapa terobosan hukum yang juga tercatat dari waktu ke waktu. Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi, penggunaan instrumen hukum pencucian uang dalam dakwaan tipikor, hingga penjeratan beneficial owner korporasi telah dilakukan oleh aparat penegak hukum demi menjerakan para koruptor. Namun, hal-hal seperti itu belum menjadi tren, sehingga upaya penjeraan pelaku tipikor, cenderung stagnan, karena fokus penghukuman masih pada pemidanaan badan (pidana penjara).

Setiap tahunnya, ICW melakukan pemantauan putusan tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh pengadilan, baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), maupun Mahkamah Agung (MA). Pemantauan ini dilakukan setidaknya sejak tahun 2005, dan bertujuan untuk menghimpun beragam kategori informasi yang relevan bagi warga dan penegak hukum.

Tindak pidana korupsi sendiri memiliki karakteristik yang khusus dalam konteks Indonesia. Selain karena ia merupakan tindak pidana luar biasa, latar belakang sejarah bagaimana tindak pidana korupsi merajalela dan diinisiasi oleh mantan kepala negara, membuat upaya pemberantasannya menjadi agenda penting yang turut dicatatkan dalam sejarah reformasi 1998.

Sejumlah “infrastruktur” pemberantasan korupsi disiapkan untuk menyambut babak baru penyelenggaraan negara yang lebih bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pengesahan UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (UU Tipikor), pembentukan KPK, hingga pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, merupakan sejumlah perubahan struktural yang memberikan harapan baru dalam memutus masa kelam pemberantasan korupsi di masa pra-reformasi 1998.

Hampir seperempat abad setelah reformasi berjalan, bagaimana rupa pemberantasan korupsi dalam dimensi penegakan hukum berjalan? Sejauh pemantauan tren vonis tipikor dilakukan, penegakan hukum tipikor ternyata belum berjalan optimal. Setiap tahunnya, rata-rata tuntutan dan putusan terdakwa tipikor, bersifat fluktuatif. Jikapun ada peningkatan, umumnya tidak signifikan, sehingga belum dapat tercatat sebagai pola maupun tren yang membawa harapan bagi pemberantasan korupsi.

Tentu saja ada beberapa terobosan hukum yang juga tercatat dari waktu ke waktu. Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi, penggunaan instrumen hukum pencucian uang dalam dakwaan tipikor, hingga penjeratan beneficial owner korporasi telah dilakukan oleh aparat penegak hukum demi menjerakan para koruptor. Namun, hal-hal seperti itu belum menjadi tren, sehingga upaya penjeraan pelaku tipikor, cenderung stagnan, karena fokus penghukuman masih pada pemidanaan badan (pidana penjara).

Pada tahun 2022, jumlah putusan yang berhasil terpantau oleh ICW mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu, 2.056 putusan dengan 2.249 terdakwa. Rata-rata pidana penjara terdakwa korupsi di tahun 2022 adalah, 3 tahun 4 bulan, dengan total kerugian negara sebesar Rp48.786.368.945.194,70 (Rp48,786 triliun) dengan jumlah nilai suap, gratifikasi, pemerasan, serta pungli sebesar, Rp376.710.554.164 (Rp376,710 miliar), dan jumlah pencucian uang sebesar, Rp244.728.721.490 (Rp244,728 miliar).

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan