Terbukti Melanggar Etik, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Harus Mundur!

Sumber foto: ICW
Sumber foto: ICW

Setelah empat bulan lebih, skandal pengubahan frasa pada risalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU-XX/2022 akhirnya menemui titik terangnya. Secara jelas dan terang benderang, aktor lancung di balik pelanggaran yang sangat memalukan dan melawan sumpah jabatan tersebut adalah Hakim Konstitusi Guntur Hamzah. Terungkap oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusan No. 01/MKMK/T/02/2023, Guntur terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, khususnya pada bagian penerapan prinsip integritas.

Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan (selanjutnya “Koalisi”) menyayangkan putusan MKMK tersebut karena tidak memberhentikan dan hanya memberikan teguran tertulis kepada Guntur yang telah terbukti melanggar etik. Bukan cuma itu, putusan MKMK juga masih menyisakan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. 

Sebagaimana diketahui, ada sejumlah alasan yang dijadikan pijakan oleh MKMK untuk meringankan sanksi terhadap Guntur, antara lain:

  1. Guntur Hamzah sejak awal dengan kesatria dan terus terang mengakui perbuatannya, sama sekali tidak berusaha menutup-nutupinya, bahkan menunjukkan bukti sendiri perihal coretan yang diusulkannya, sehingga sangat memudahkan proses pemeriksaan di MKMK;
  2. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Guntur Hamzah sudah menjadi praktik lazim di MK selama ini sepanjang tidak dilakukan secara diam-diam dan sepanjang mendapat persetujuan dari hakim-hakim lainnya, setidak-tidaknya hakim drafter
  3. Belum adanya (standard operating procedure) SOP untuk praktik yang sudah menjadi kelaziman tersebut, sehingga hal itu suka atau tidak harus diterima sebagai faktor yang turut mengurangi bobot kesalahan dari perbuatan Guntur Hamzah;
  4. Lambannya respon MK terhadap dampak dari perbuatan Guntur Hamzah harus pula dianggap sebagai hal yang meringankan. Sebab, berselang beberapa hari sejak pengucapan putusan, adanya perbedaan frasa dalam putusan yang diucapkan dalam sidang dengan yang termuat di laman MK telah diketahui beberapa orang hakim dan telah sejak awal diakui oleh Guntur serta telah diberitahukan kepada panitera untuk dibicarakan dalam  Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) namun RPH tidak pernah dilaksanakan dengan alasan yang bersifat teknis-psikologis. Andaikata MK segera memberi respon, misalnya dengan melakukan renvoi terhadap frasa yang menjadi sumber masalah dimaksud, masalah ini tidak akan berkepanjangan, bahkan MKMK ad hoc ini pun tidak perlu dibentuk.

Terhadap putusan yang telah dikeluarkan MKMK, Koalisi memberikan sejumlah catatan, diantaranya:

Pertama, sanksi teguran tertulis yang dijatuhkan oleh MKMK kepada Guntur terlalu ringan dan belum dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Apa yang dilakukan oleh Guntur  secara langsung menyerang pondasi fundamental yang menopang eksistensi lembaga peradilan, yakni legitimasi institusional. Mengutip pandangan Lord Jonathan Sumption, mantan Hakim Supreme Court Inggris, legitimasi dari tindakan negara dalam sebuah demokrasi bergantung pada penerimaan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan kesahihan metode pembuatannya. Dalam hal ini, meski jabatan para hakim tidak dipilih secara “demokratis” seperti kedua cabang lainnya, institusi peradilan mendapatkan legitimasinya dari putusan-putusan yang dikeluarkan. Selaras dengan Bangalore Principles of Judicial Conduct, proses yang dilalui oleh para hakim untuk sampai pada putusan harus dilalui dengan tahapan yang jelas dan deliberatif, kejernihan analisa terhadap hukum, serta bebas dari anasir politis serta bias yang mungkin berujung pada keuntungan personal para hakim. Maka dari itu, dengan segala problematika yang ada, wajar jika kemudian survei Litbang Kompas tahun 2023 menggambarkan penurunan kepercayaan publik kepada MK, dari 75,1 persen pada tahun 2015 kemudian anjlok menjadi 52,1 persen. 

Lebih lanjut, ringannya sanksi terhadap Guntur juga dapat semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas dari penegakan etik di MK. Ini dikarenakan secara preseden, sanksi pemberhentian dengan tidak hormat baru pernah diberlakukan terhadap hakim konstitusi yang memang terjerat kasus hukum, yakni mantan Ketua MK Akil Mochtar dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Dalam hal kasus yang murni merupakan ranah etik, sekalipun terbukti, belum pernah berbuah pada pemberhentian tidak hormat, sekalipun derajat pelanggarannya sangat berpotensi membahayakan integritas dan independensi lembaga peradilan. Ini merujuk misalnya pada Hakim Konstitusi Arief Hidayat, yang selama menjabat sebagai Ketua MK, setidaknya sudah enam kali dilaporkan berkaitan dugaan pelanggaran etik. Dua diantaranya terbukti, yakni ketika ia mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus kala itu, Widyopramono, untuk “membina” salah seorang anggota keluarganya yang menjadi jaksa; dan ketika Arief bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta sebelum sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR. Dari dua pelanggaran tersebut sayangnya ia hanya dijatuhi teguran lisan. 

Kedua, alasan meringankan sanksi Guntur yang menyatakan bahwa perbuatan mencoret frasa dari putusan yang tengah dibacakan di sidang pleno sudah menjadi praktik lazim di MK sulit diterima oleh nalar yang sehat. Sebab, seluruh konteks dan peristiwa yang mendahului serta meliputi perbuatan Guntur sama sekali tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Misalnya, hingga saat ini belum pernah ada hakim konstitusi yang diberhentikan di tengah masa jabatan oleh lembaga pengusulnya di luar ketentuan Pasal 23 UU MK dan langsung dipilih serta dilantik penggantinya secara bersamaan. Lebih lanjut, sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya hakim konstitusi yang baru dilantik dalam hitungan jam langsung ikut serta mencoba untuk mengganti putusan yang ia sama sekali tidak terlibat selama proses memutus, apalagi materi muatan permohonan yang sedang dibacakan berkaitan langsung dengan kontroversi status jabatannya. 

Terlebih, MKMK dan MK juga terkesan permisif terhadap fakta bahwa pengubahan bunyi putusan bersifat substantif yang bukan sekadar kesalahan ketik (clerical error) pada saat putusan dibacakan di sidang pleno lazim berlangsung dan tidak memiliki peraturan khusus terkait hal tersebut. Padahal, ini berdampak langsung dengan berpotensi tercederainya salah satu pakem hukum yang paling mendasar, yaitu kepastian hukum. Sudah lazim diketahui bahwa putusan pengadilan berlaku ketika diucapkan. Untuk konteks MK, Rapat Permusyawaratan Hakim merupakan forum deliberasi  para hakim dengan berlandaskan musyawarah untuk mufakat guna menghasilkan putusan yang nantinya akan dibacakan saat sidang pleno. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021, forum RPH salah satunya mengupayakan adanya interaksi para hakim untuk mengutarakan pendapat hukum untuk menjawab dalil yang dimohonkan pemohon. Perubahan bunyi putusan yang pada pokoknya bersifat substantif di luar RPH, jelas tidak dapat menggantikan otoritas apalagi kualitas pertimbangan yang sama dari forum musyawarah hakim konstitusi.

Ketiga, MKMK gagal mengungkap motif Guntur yang diduga ingin menguntungkan diri ketika mengubah bunyi putusan tersebut. MKMK berdalil bahwa belum ditemukan cukup bukti adanya motif dari Guntur ketika mencoret frasa “Dengan demikian” dan menggantinya dengan frasa “Ke depan” dalam pertimbangan hukum putusan. Ketimbang menetapkan secara konklusif, MKMK justru mengesampingkan dugaan adanya motif pribadi dari Guntur dengan alasan bahwa putusan MK berlaku secara prospektif dan tidak akan berpengaruh pada keputusan presiden yang mengangkatnya sebagai hakim konstitusi. Ditambah, konsep keberlakuan putusan MK yang demikian juga diklaim MKMK telah dipahami oleh Guntur. Rasionalisasi ini sangatlah absurd, sebab gagal melihat konteks sosial di mana publik tengah menyoroti kontroversi pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan juga permohonan yang tengah diperiksa oleh MK. Apalagi, jika memang pada akhirnya putusannya akan berlaku prospektif, apapun frasa yang digunakan, seharusnya muncul pertanyaan kenapa Guntur tetap berupaya untuk mengubahnya? MKMK seharusnya dapat menautkan adanya upaya—sekalipun hanya bersifat semantik, untuk seakan-akan memberikan kredibilitas pengangkatan dirinya di mata publik yang nantinya membaca putusan No. 103/PUU-XX/2022.

Keempat, MKMK belum berhasil meluruskan kebenaran kronologi terkait momen terjadinya pengubahan frasa yang diinisiasi oleh Guntur. Fakta yang terungkap adalah Guntur memberikan usulan perubahan frasa dalam putusan kepada Panitera Muhidin yang mana kemudian disampaikan kepada Hakim Arief Hidayat selaku ketua panel hakim dalam perkara tersebut. Namun, merujuk pada putusan MKMK, pada tahap pemeriksaan, terdapat perbedaan keterangan antara ketiga pihak tersebut. Guntur mengaku bahwa dirinya meminta kepada Panitera Muhidin untuk meminta persetujuan hakim lain, termasuk Hakim Konstitusi Arief Hidayat terhadap usul perbaikan miliknya sambil memperlihatkan catatan koreksinya. Namun Panitera Muhidin memberi keterangan bahwa dirinya diperintahkan Guntur Hamzah untuk hanya memintakan persetujuan usulan kepada Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang kemudian direspons kata-kata: “Oke. Tidak masalah. Silakan.” Ini bertentangan dengan keterangan Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang mengaku bahwa dirinya merespons dengan berkata “Terserah. Saya kan tidak ikut memutus.” Sampai akhir pembacaan amar putusan, MKMK tidak memberikan konklusi atas perbedaan-perbedaan keterangan tersebut sehingga publik tidak dapat menyimpulkan mana yang merupakan fakta sebenarnya. 

Pada poin lainnya yang masih berkaitan dengan hal di atas, MKMK menyatakan bahwa faktanya, hanya Hakim Arief Hidayat yang dimintakan persetujuan terkait usulan perubahan frasa Hakim Konstitusi Guntur Hamzah oleh Panitera Muhidin sekalipun sesungguhnya tidak ada relevansinya untuk dimintai persetujuan karena Arief Hidayat tidak ikut memutus di perkara No. 103/PUU-XX/2022. Di saat bersamaan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam keterangannya pada saat sidang pemeriksaan MKMK, mengaku bahwa dirinya merasa ada yang janggal karena Panitera Muhidin hanya meminta persetujuan kepada dirinya dan tidak mengkonsultasikan kepada hakim drafter dan hakim lainnya. Menjadi hal disayangkan bahwa MKMK, setidaknya jika melihat pada dokumen putusan, tidak menanyakan lebih lanjut kepada Hakim Arief Hidayat mengapa dirinya membiarkan hal yang ia rasa merupakan kejanggalan dalam proses pengubahan putusan yang lazimnya berlaku di MK. 

Terakhir, Pasal 15 Undang-Undang MK telah menegaskan bahwa syarat menjadi hakim konstitusi di antaranya harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta bersikap negarawan. Atas dasar itu, Guntur sebenarnya sudah tidak layak lagi menjabat sebagai hakim konstitusi. Belum lagi, sedari awal seharusnya Guntur menolak untuk tidak diangkat menjadi Hakim Konstitusi oleh DPR. Sebab, Guntur yang notabenenya merupakan guru besar hukum, seharusnya menyadari bahwa proses pemecatan Hakim Konstitusi Aswanto dan pengangkatan dirinya penuh kejanggalan dan inkonstitusionalitas. Jika ingin mencerminkan sikap kenegarawanan, seyogianya ia mengambil contoh dari mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri di tahun 2011 karena ada anggota keluarganya yang bertemu dengan pihak yang sedang berperkara di MK. Meski hanya dijatuhi teguran tertulis, Arsyad memilih mundur demi menjaga kehormatan dan nama baik MK. 

Keharusan Pak Guntur untuk mengundurkan diri dari jabatan Hakim MK karena dari Putusan MKMK dapat diketahui bahwa mayoritas Hakim MK menganggap perubahan frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" seharusnya tidak terjadi karena mengubah substansi Putusan MK. Oleh karena itu, sejatinya MK menyatakan bahwa pemberhentian Hakim Aswanto adalah inkonstitusional, dan karena itu pula pengangkatan Pak Guntur sebagai Hakim MK juga inkonstitusional.

Atas dasar hal-hal di atas, Koalisi menuntut:

  1. Hakim Konstitusi Guntur Hamzah segera mengundurkan diri dari jabatannya;
  2. Mahkamah Konstitusi harus segera menindaklanjuti seluruh rekomendasi MKMK dan menjalankan rambu-rambu yang telah diberikan dalam pertimbangan putusan untuk memberikan perlawanan sekaligus menunjukkan sikap dan kesungguhannya dalam menjaga serta menegaskan kemerdekaan atau independensinya dengan cara menyatakan sikap dan/atau mengupayakan tindakan korektif atas pemberhentian serampangan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR dan Presiden yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh seluruh internal MK karena tidak memenuhi prosedur sebagaimana keterangan Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman pada saat sidang pemeriksaan MKMK;
  3. Presiden Joko Widodo harus segera mencabut Surat Keputusan Presiden RI Nomor: 114/P Tahun 2022 tanggal 3 November 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR sesuai dengan amanat dari Putusan MKMK No. 01/MKMK/T/02/2023. 

Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan

Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, SETARA Institute

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan