Skandal Pejabat Kemenkeu: Menyoal Sistem Pengendalian Internal, LHKPN, dan Komitmen Pengundangan Illicit Enrichment

Sumber foto: Nurul Fitriana/Jawa Pos
Sumber foto: Nurul Fitriana/Jawa Pos

Penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Kemenkeu berbuntut panjang. Kepemilikan harta tidak wajar dan kepatuhan pembayaran pajak mengemuka pasca diketahui bahwa anak pejabat Kemenkeu tersebut gemar memamerkan gaya hidup mewah. Bahkan, mencuat temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2012 lalu mengenai transaksi tidak wajar dan dugaan penggunaan perantara atau nominee oleh ayah dari pelaku penganiayaan yang tak lain merupakan Kepala Bagian Umum Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (RAT). Jika temuan PPATK benar, bukan tidak mungkin RAT dapat dijerat oleh aparat penegak hukum.

Ditelisik dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 31 Desember 2021, kekayaan RAT mencapai Rp 56,1 miliar. Nyaris setara dengan harta yang dilaporkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Kepemilikan kekayaan tersebut dipertanyakan kewajarannya, menyusul beredar kisaran besaran gaji dan tunjangan yang dapat diterima RAT setiap bulannya. Bahkan, selang waktu berjalan, harta RAT yang sebenarnya diduga jauh melebihi harta dalam LHKPN terakhir.

Bak kebakaran jenggot, Kemenkeu melakukan pemeriksaan atas kewajaran harta kekayaan RAT. Kemenkeu sendiri menyangkal bahwa pemeriksaan atas kewajaran harta RAT baru dilakukan pasca adanya skandal. Namun, muncul kesan di tengah publik bahwa tak ada deteksi dini atas kewajaran harta RAT di Kemenkeu. Sri Mulyani baru mencopot RAT dari tugas dan jabatannya pasca skandal yang menyeret namanya demi kelancaran pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 94 tahun 2021 (PP 94/21) tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika sudah lama dilakukan pemeriksaan, mengapa RAT baru dicopot dari jabatannya? Lalu, apa temuan dari pengawas internal Kemenkeu sebelumnya?

ICW meyakini bahwa fenomena serupa, yaitu pejabat berharta tidak wajar atau tidak jujur dalam melaporkan LHKPN, telah marak terjadi. Tidak hanya menyangkut nama RAT ataupun pejabat lain di lingkungan Dirjen Pajak Kemenkeu. Oleh karena itu, kasus ini tidak cukup ditindaklanjuti dengan penindakan yang kasuistik dan jangka pendek. Evaluasi dan pembenahan pengendalian internal institusi negara, pemanfaatan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi, serta kembali menimbang urgensi pengundangan illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) perlu dilakukan.

Untuk selengkapnya, silahkan unduh dokumen pada laman ini.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan