Sembilan Catatan Kritis RKUHAP Pada Aspek Tindak Pidana Korupsi

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan serangkaian hukum yang ditujukan untuk mengatur bagaimana penegak hukum melaksanakan hukum materiil. Saat ini, hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP sendiri memiliki berbagai kekurangan, beberapa di antaranya adalah penempatan korban dalam sistem peradilan pidana, posisi advokat sebagai penegak hukum, dan subjek hukum yang berkembang hingga ke korporasi. Kekurangan ini juga berpengaruh pada penindakan dalam tindak pidana korupsi, sebab hukum acara yang digunakan masih menggunakan KUHAP dengan beberapa ketentuan khusus yang ada, baik dalam UU Tipikor, UU KPK, dan UU Pengadilan Tipikor.

Alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, RKUHAP justru memberikan birokrasi pada upaya pro justitia yang selama ini berjalan di KPK. Draf RKUHAP yang pada 11 Juli 2025 lalu dibahas oleh Komisi III DPR menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut dirangkum oleh Koalisi pada poin-poin berikut:

Sembilan Catatan Kritis RKUHAP Pada Aspek Tindak Pidana Korupsi

  1. Pertentangan Norma Peralihan

Pasal 329 dan 330 RKUHAP mengedepankan asas lex posterior derogat legi priori, yang bertentangan dengan prinsip kekhususan dalam UU KPK dan UU Tipikor (lex specialis). Ini berpotensi menyingkirkan ketentuan acara pidana khusus dalam pemberantasan korupsi.

  1. Pembatasan Penyelesaian Perkara oleh KPK

Pasal 327 membatasi KPK hanya menggunakan KUHAP lama (UU No. 8/1981) dalam menyelesaikan perkara yang sedang berjalan, mengabaikan hukum acara khusus yang dimiliki KPK.

  1. Penyempitan Definisi Penyelidikan

Definisi penyelidikan dalam Pasal 1 angka 8 RKUHAP tidak mencerminkan standar KPK yang mewajibkan bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan, sehingga berisiko menghambat efektivitas kerja awal KPK.

  1. Pembatasan Upaya Paksa dan Koordinasi yang Birokratis

Upaya paksa hanya bisa dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, tidak menjangkau saksi atau pihak lain yang kerap krusial dalam kasus korupsi. Selain itu, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahapan mengancam independensi kerja KPK.

  1. Pelemahan Mekanisme Penyadapan

RKUHAP mengatur penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke UU khusus, mengabaikan wewenang KPK untuk menyadap sejak penyelidikan. Ini berpotensi menghambat operasi tangkap tangan (OTT).

  1. Potensi Penundaan Penanganan Perkara Melalui Praperadilan

Pasal 154 menyebutkan bahwa sidang pokok perkara tidak bisa dimulai sebelum proses praperadilan selesai. Ini berpotensi dijadikan taktik penundaan oleh tersangka korupsi.

  1. Ketidakjelasan Kewenangan Dalam Perkara Koneksitas

RKUHAP belum mengakomodasi putusan MK yang menegaskan kewenangan KPK menangani korupsi oleh aparat militer, menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perkara yang melibatkan unsur militer dan sipil.

  1. Tumpang Tindih Perlindungan Saksi dan Korban

RKUHAP hanya mengakui LPSK sebagai pelaksana perlindungan saksi, mengabaikan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK, yang berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi dan keterlambatan.

  1. Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan Terancam

Dalam Pasal 8 ayat (3) membuka celah transaksional baru. Pada sistem tersebut, seluruh berkas perkara yang berasal dari penyidik tertentu, termasuk penyidik KPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada penyidik Polri sebelum sampai ke tangan penuntut umum. Ini menciptakan dua masalah sekaligus: pertama, adanya potensi penghambatan administratif dalam jalur koordinasi yang tidak perlu; dan kedua, kerawanan manipulasi proses hukum, termasuk kemungkinan intervensi dalam hal waktu, substansi, atau bahkan keputusan apakah perkara akan dilanjutkan ke penuntutan atau tidak.

Narahubung:

  1. Antoni Putra (Peneliti PUSaKO Unand)
  2. Erma Nuzulia (Peneliti ICW)
  3. Orin Gusta Andini (Ketua SAKSI Unmul)
  4. Sahel Al Habsy (Peneliti TII)
  5. Yuris Rezha (Peneliti PUKAT FH UGM)

Dokumen lengkap dapat diunduh pada tautan berikut

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan