Sekstorsi di Indonesia: Pelecehan Seksual atau Tindak Korupsi Politik?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra. Sumber: mediaindonesia.com
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra. Sumber: mediaindonesia.com

Istilah sekstorsi mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal, Indonesia sendiri menempati urutan pertama untuk kasus Sekstorsi terbanyak di Asia, mencapai 18 persen pada tahun 2020 menurut Global Corruption Barometer. Sekstorsi atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan sextortion adalah istilah untuk menggambarkan jenis penyalahgunaan wewenang dengan seks sebagai alat suapnya. Apabila sebelumnya tindak korupsi banyak diberikan menggunakan uang, barang, voucher, fasilitas dan barang materiil lainnya (gratifikasi), kini pelayanan seks juga menjadi salah satunya. Pelayanan seks dapat tergolong sebagai suap apabila ditujukan kepada penyelenggara negara untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Lalu jika pelayanan seks diberikan tanpa ada tujuan atau kepentingan tertentu, maka akan tergolong sebagai gratifikasi.

 

Fenomena sektorsi masih sangat asing di masyarakat Indonesia karena tiga hal. Pertama, konsep seks masih tabu untuk dibahas di ruang publik. Kedua, Sekstorsi dapat ditemukan pada kasus korupsi yang melibatkan orang dengan kekuasaan dan otoritas seperti pejabat, penegak hukum, atau bahkan otoritas di sektor pendidikan seperti guru dan dosen. Ketiga, gratifikasi seks tidak memiliki value yang dapat diukur dengan angka, melainkan berupa pengalaman dan kesenangan. Sementara dalam hukum Indonesia pasal 12B dan 12C UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tindak gratifikasi hanya terbatas pada fasilitas yang dapat diukur dengan angka rupiah saja. Sehingga sejauh ini sekstorsi masih digolongkan sebatas tindak pelecehan seksual dan bukan tindak pidana korupsi oleh hukum Indonesia. Tidak heran jika istilah sekstorsi masih asing di telinga masyarakat Indonesia.

 

Kita mungkin bisa melihat dari kasus sekstorsi tahun 2013 yang dilakukan oleh Setyabudi Tejocahyono. Setyabudi merupakan anggota majelis hakim yang terjerat kasus korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 4,2 Miliar dari Toto Hutagalung. Tidak hanya itu, berdasarkan pernyataan dari Johnson Siregar yang merupakan pengacara dari Toto Hutagalung, bahwa Setyabudi juga kerap meminta pelayanan seks setiap hari Jum’at. Setyabudi kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta atas tindakan menerima suap uang namun tidak untuk pelayanan seks yang diterimanya. Pengadilan tidak mengusut lebih lanjut terkait dugaan penerimaan pelayanan seks terhadap Setyabudi, walaupun Johnson Siregar pernah mengungkapkannya.

 

Menurut penulis, salah satu alasan mengapa Setyabudi bisa lolos dari dugaan tindak sekstorsi karena pelayanan seks tidak dapat dinominalkan ke dalam rupiah untuk digolongkan sebagai tindak gratifikasi dan suap. Mengacu pada UU No.20 Tahun 2001 pasal 12B Ayat (1), jenis gratifikasi yang dapat dipidanakan meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Memang pemberian layanan seks secara tersirat dapat dikategorikan dalam diksi ‘fasilitas lainnya’ dalam artian seks sebagai pelancar fungsi kepentingan politik. Namun dalam praktiknya, rancunya definisi dan konsep atas pelayanan seks sebagai bagian korupsi akan memunculkan beragam penafsiran dan ambiguitas. Adanya ambiguitas akan mengurangi efektivitas penerapan UU Tipikor dalam memidanakan pelaku gratifikasi atau suap jenis pelayanan seks sebagai pelanggaran korupsi.

 

Kasus Setyabudi menunjukkan bahwa pelayanan seksual menjadi sebagian kecil dari keseluruhan suap yang didapatkannya. Lalu bagaimana dengan penyelenggara negara lain yang mungkin telah menerima gratifikasi ataupun suap hanya berupa pelayanan seks? Bagaimana para penegak hukum Indonesia akan memberi hukuman pada potensi kasus semacam ini? Belum lagi perlu adanya perbedaan hukuman antara aktor-aktor yang terlibat sekstorsi. Misalnya hukuman perlu dibedakan antara aktor yang secara langsung memberi, menawarkan, atau meminta seks dengan aktor yang tidak secara langsung terlibat dalam pelayanan seksual, melainkan menyediakan dan membayar pekerja seks untuk kemudian diberikan kepada penyelenggara negara. Untuk itu, gratifikasi dan suap berupa pelayanan seksual tidak dapat dipandang hanya sebagai tindak pidana pelecehan seksual. Di dalamnya terdapat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan kesepakatan transaksi yang merugikan masyarakat Indonesia secara luas, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

 

Indonesia mungkin dapat belajar dari Singapura, Amerika Serikat dan Inggris dalam pendefinisian jenis gratifikasi dalam undang-undang anti-korupsinya. Misalnya saja undang-undang anti-korupsi utama Singapura atau yang dikenal dengan The Prevention of Corruption Act (PCA). Dalam UU tersebut tindakan gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian uang, hadiah, layanan, bantuan dan keuntungan apapun. Definisi gratifikasi tersebut mirip dengan undang-undang antikorupsi Amerika Serikat seperti dalam Undang-Undang Praktik Korupsi Luar Negeri yang menjelaskan suap sebagai ‘sesuatu yang bernilai’ dengan bentuk keuntungan finansial atau ‘lainnya’. Juga seperti Undang-Undang Suap Inggris yang di dalamnya dijelaskan secara eksplisit bahwa suap bisa lebih dari sekadar pembayaran uang. Dengan adanya pengakuan dalam UU bahwa suap dan gratifikasi tidak terbatas pada ‘keuntungan’ yang dapat dinominalkan, maka penukaran pelayanan seks untuk kepentingan politik akan lebih mudah diusut. Berkat UU-nya, Singapura berhasil memidanakan oknum yang melakukan tindakan sekstorsi ke dalam hukum korupsi.

 

Pemberantasan sekstorsi memang bukan perjalanan yang mudah bagi Indonesia. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Berkaca dari kasus korupsi Setyabudi, dimana dalam proses hukumnya tidak memasukkan pelayanan seks sebagai bagian dari gratifikasi yang diterima pelaku memperlihatkan bahwa hukum indonesia masih memiliki celah. Perlu dilakukan pendefinisian secara eksplisit di dalam UU Tipikor terkait pelayanan seks sebagai gratifikasi dan suap agar tindak pidana sekstorsi teregulasi. Diskusi mengenai RUU sekstorsi rasanya perlu dilanjutkan pada tahap legislatif untuk kemudian disahkan menjadi bagian dari UU Tipikor Indonesia. Selain itu, sosialisasi mengenai konsep sekstorsi kepada masyarakat juga menjadi sangat penting. Dengan mengintegrasikan konsep sekstorsi dalam definisi korupsi secara general diharapkan masyarakat dapat mengerti dan turut andil dalam mempersempit sekstorsi. Dengan kata lain usaha dalam mewujudkan indonesia anti-korupsi tidak hanya terjadi secara top-down tapi juga secara bottom-up.

 

 

Penulis.

 

Refika Febrianti

Co: Mochammad Arya Susila

Masyarakat Umum

 

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan