RUU Perampasan Aset: Jangan Hapus Kasus Korupsi Masa Lalu!
Dorongan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas kembali menguat—tetapi arah akhirnya belum pasti.Hingga hari ini (4 September 2025), RUU ini belum disahkan. Pimpinan dan Baleg DPR menyebut draf perlu diperbarui karena berpotensi berbenturan dengan UU Tipikor dan UU TPPU; bahkan ada opsi DPR mengambil alih inisiatif agar pembahasan lebih cepat setelah RUU KUHAP rampung. Intinya: masih tarik-uluran, bukan keputusan.
Mengapa urgensinya tinggi? KPK melaporkan pemulihan aset 2020–2024 sekitar Rp2,5 triliun. Capaian, ya, tetapi sangat kecil dibanding kerugian negara yang pada 2024 saja ditaksir Rp45,7 triliun. Ini menandakan celah besar antara uang yang dirampas koruptor dan yang benar-benar kembali ke kas publik. RUU ini diharap mengusung mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCBAF) agar negara bisa merampas aset hasil kejahatan meski belum ada putusan pidana, sesuai praktik yang dianjurkan UNCAC.
Tetapi pertarungan substantifnya ada di sini: apakah perampasan aset hanya berlaku untuk perkara ke depan, atau juga menyasar harta hasil korupsi masa lalu? Membatasi hanya untuk “ke depan” sama saja memberi pengampunan diam-diam bagi harta yang sudah terparkir di rekening, properti, atau cangkang perusahaan lama. Itu bukan keadilan transisional; itu impunitas finansial. Prinsip follow the money menuntut asas in rem—yang disasar objek (aset) hasil kejahatan—sehingga sepanjang negara bisa buktikan “taint” aset, negara berhak merampasnya, tanpa memanjakan celah teknis perkara pidana yang sudah tamat atau daluwarsa.
Data juga menunjukkan efek jera pidana badan belum memadai. ICW mendapati rata-rata vonis koruptor pada 2023 hanya 3 tahun 4 bulan; pidana tambahan dan denda pun relatif ringan. Dengan desain sanksi seperti itu, logis bila fokus dipindah ke asset recovery yang keras, cepat, dan berjangka panjang. Take the profit out of crime.
Secara filosofis, tuntutan agar harta hasil korupsi masa lalu tetap dapat dirampas sejalan dengan amanat para pendiri bangsa. Bung Hatta menegaskan, “Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu”—sebuah etika publik yang menolak kompromi terhadap penyalahgunaan kekuasaan, kapan pun itu terjadi. Dalam berbagai testimoni, integritas Hatta—menolak memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi—mengajarkan garis demarkasi yang tegas antara milik publik dan milik pribadi. Itulah ruh perampasan aset: mengembalikan yang publik kepada publik.
Soe Hok Gie mengingatkan, “Makin redup idealisme… makin banyak korupsi.” Pesan itu relevan untuk legislator hari ini: jangan redupkan idealisme dengan pasal-pasal yang membuat harta lama tetap aman di balik pagar hukum formal. Negara harus tegas mengejar aset lintas waktu, lintas yurisdiksi, dan lintas modus.
Bung Karno mengajarkan Jas Merah—“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Membiarkan harta hasil korupsi masa lampau tak tersentuh berarti meninggalkan sejarah kerugian publik dan luka kolektif yang menyertainya. Prinsip Jas Merah menuntut kebijakan yang menoleh ke belakang untuk memperbaiki, bukan untuk melupakan.
Apa yang perlu dijaga dalam perumusan RUU?
- Model NCBAF yang ketat dan due process. Pastikan standar pembuktian perdata yang jelas, judicial oversight, hak sanggah pemilik beritikad baik, dan remedial cepat bila terjadi salah sita. Ini bukan carte blanche; ini mekanisme perdata dengan pagar hak asasi.
- Retroaktif untuk objek, bukan subjek. Tegaskan bahwa rezim berlaku terhadap aset yang merupakan hasil tindak pidana, tanpa mengubah asas non-retroaktivitas pidana bagi orang. Dengan begitu, kita tidak menghukum manusia dua kali, tetapi menolak membiarkan harta haram menikmati suaka waktu.
- Sinkronisasi lintas UU. Hindari tumpang tindih dengan UU Tipikor, TPPU, KUHAP, dan rezim perdata; rumuskan relasi yang tegas agar jaksa, KPK, dan pengadilan tahu koridor kewenangan, termasuk koordinasi penelusuran aset lintas negara.
- Target kinerja pemulihan aset yang terukur. Dengan baseline pemulihan KPK yang kecil dibanding kerugian negara, UU harus menuntut asset recovery sebagai indikator utama keberhasilan penegakan korupsi, lengkap dengan transparansi lelang, pengelolaan, dan pengembalian ke sektor layanan publik.
RUU Perampasan Aset bukan sekadar alat baru; ia adalah koreksi moral atas masa lalu. Jika ia hanya menyasar masa depan, pesan yang sampai ke publik sederhana: “Maling lama dibiarkan.” Itu bertentangan dengan akal sehat, keadilan sosial, dan warisan etika para pendiri bangsa. Jangan hapus kasus korupsi masa lalu—hapuskan asetnya.
Penulis,
Dimas Muhammad Erlangga
Mahasiswa FHISIP UT BANDUNG & Aktivis GmnI Bandung
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025