[RILIS KOALISI] Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi, dan Kebohongan DPR RI: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!

Tolak RKUHAP

Komisi III DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) untuk dibawa pada sidang paripurna DPR yang rencananya pada Selasa pekan depan untuk disahkan.

Proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang ini hanya berlangsung dalam dua hari, pada 12-13 November 2025. Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil. Dari hasil pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP kami mencatat beberapa hal:

Pertama, pada Rapat Panja tersebut pemerintah dan Komisi III DPR RI mempresentasikan beberapa bunyi pasal-pasal yang mereka klaim sebagai masukan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang merupakan bagian dari koalisi, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.

Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah. Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal, ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil.

Beberapa masukan yang disampaikan koalisi antara lain dapat diakses sebagai berikut:

  1. Draf Tandingan versi Masyarakat Sipil
  2. Sembilan Masalah Krusial dalam RUU KUHAP
  3. Pasal-Pasal Bermasalah RUU KUHAP Hasil Pembahasan Panja 11 Juli 2025
  4. Permintaan Klarifikasi dan Respons DPR RI terhadap Usulan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

Kedua, dari aspek substansi, pembahasan RUU KUHAP yang super singkat dan tidak substansial ini seperti mengulang apa yang terjadi pada Juli 2025 lalu, sama sekali tidak membahas pasal-pasal bermasalah, pasal karet dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang selalu kami sampaikan berulang-ulang, di antaranya:

Semua Bisa Dijebak Aparat

Operasi undercover buy (pembelian terselubung) & controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika dimasukkan secara serampangan dalam RUU KUHAP. Dalam RUU KUHAP kewenangan ini masuk ke dalam metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).

Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.

Semua Bisa Kena Diamankan, Ditangkap, dan Ditahan Tanpa Kejelasan, Bahkan di Tahap Penyelidikan Saat Belum Ada Tindak Pidana

Semua bisa kena melalui pasal karet dengan dalih mengamankan khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana (Pasal 5). Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang berlaku saat ini, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan. Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan dan bahkan Penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.

Semua Bisa Kena Tangkap-Tahan Sewenang-Wenang Tanpa Izin Hakim

Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan habeas corpus, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP. Aspek penting ini juga sama sekali tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93). Tragisnya skema penahanan RUU KUHAP dibuat alternatif antara surat perintah penahanan yang praktiknya bisa dibuat penyidik sendiri atau melalui penetapan hakim. Skema ini terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial (Pasal 93 ayat 1).

Semua Bisa Kena Geledah, Sita, Sadap, dan Blokir Menurut Subjektivitas Aparat Tanpa Izin Hakim

Upaya Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124). Akibatnya, negara dapat memasuki ruang-ruang privat (komunikasi dan korepondensi pribadi) dengan semakin leluasa, dengan dalih untuk mengusut tindak pidana namun tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya. Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.

Semua Bisa Kena Peras dan Dipaksa Damai dengan Dalih “RJ”, Bahkan di Ruang Gelap Penyelidikan

Dalam Pasal 74a RUU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?

Selain itu, hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun (Pasal 79), ini menjadi ruang gelap di Penyelidikan.

RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial (judicial scrutiny) dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan,  pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat (Pasal 78, 79).

Semua Bisa Polisi Kuasai dan Bantuan Hukum Dibatasi

Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi. Kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan, seperti: beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana, praktik kriminalisasi dsb. Belum lagi masalah transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara oleh kepolisian, apalagi masalah impunitas ketika itu menyangkut tersangka yang juga anggota kepolisian.

Selain itu, pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum dipengaruhi oleh ancaman pidana. Padahal seharusnya bantuan hukum merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus maupun ancaman hukuman. Selain itu rumusan pasal-pasal bantuan hukum terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum karena di satu sisi bantuan hukum diberikan karena merupakan kewajiban tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak atau dilepaskan.

Semua Penyandang Disabilitas Bisa Tanpa Perlindungan 

Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum. Lebih mendasar dari itu RUU KUHAP memperlakukan orang gangguan fisik dan gangguan mental berat tidak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 (enam puluh) hari (Pasal 99).

Semua Bisa Kena, Semua Bisa Jadi Korban, Semua Bisa Direkayasa Jadi Tersangka, dan Semuanya Terjadi karena RKUHAP Dipaksakan Terburu-buru

RUU KUHAP berlaku tanpa masa transisi, langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan mulai 2 Januari 2026. Terdapat lebih dari 10 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang akan dikebut dalam waktu setahun (Pasal 332 dan 334). Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KUHP Baru ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draft terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam rapat pengambilan keputusan Tingkat I.

Berdasarkan hal tersebut, kami memberikan somasi terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kementerian Hukum, dan Kementerian Sekretariat Negara dengan tuntutan sebagai berikut:

  1. Presiden menarik draf RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna demi perbaikan sistem hukum acara penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan mengedepankan prinsip peradilan yang inklusif, jujur dan adil (fair trial) yang menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan  hak asasi manusia, warga negara, bukan justru disusun untuk melindungi kepentingan kekuasaan, institusi / aparat penegak hukum, atau lainnya;
  2. DPR harus segera membuka dan mempublikasikan informasi secara resmi draf RUU KUHAP terakhir hasil pembahasan selama ini, khususnya hasil Panja per 13 November 2025, serta dokumen masukan pasal-perpasal yang menjadi dasar pembahasan pada rapat Panja pada 12-13 November 2025;
  3. Pemerintah dan DPR merombak substansi draf RUU KUHAP per 13 November 2025 dengan menyusun dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP yang memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil;
  4. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang tidak berdasar dan menyesatkan publik untuk mengejar kebutuhan pemberlakuan KUHP Baru, dengan memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah; dan
  5. Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan klarifikasi dan meminta maaf kepada publik secara luas karena telah memberikan kebohongan atas masukan yang diklaim sebagai masukan dari kami untuk melanggengkan praktik legislasi yang buruk dan meloloskan substansi yang bermasalah.

Jakarta, 16 November 2025

Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan