Resource Curse: Ketika Korupsi Mengubah Kekayaan Alam Menjadi Kutukan

Lubang Bekas Tambang di Kalimantan
foto: Mongabay.co.id

Pada dasarnya Sumber Daya Alam (SDA) merupakan aset yang dimiliki oleh suatu negara, meliputi kekayaan alam yang terkandung didalamnya seperti tanah, hasil hutan, hasil laut, tambang, dan lain sebagainya. Selain eksistensinya untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, SDA juga berperan dalam mendorong pergerakan ekonomi suatu negara untuk kesejahteraan masyarakat. Artinya, tersedianya SDA yang melimpah dapat menjadi peluang besar bagi suatu negara untuk terjadinya pembangunan ekonomi. Akan tetapi, hal tersebut juga harus didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dalam menjalankan manajemen SDA. Sebab, SDM memiliki peran yang cukup krusial dalam keberjalanan proses pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam hal ini, SDM memiliki peran ganda yakni sebagai objek dan subjek pembangunan. Sebagai objek, SDM menjadi sasaran pembangunan untuk disejahterakan, sementara sebagai subjek, SDM merupakan pelaku pembangunan yang menentukan arah kemajuan.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Selain kaya akan mineral, minyak bumi dan gas alam, Indonesia juga kaya akan rempah-rempah yang menjadi cita rasa khas masakan Indonesia dan menjadi salah satu alasan terbesar bangsa Eropa datang ke Indonesia pada sekitar abad ke-16 silam. Berekor dari hal tersebut, sebagai upaya memanfaatkan kekayaan SDA sebaik mungkin, SDM sebagai subjek pembangunan dan pengelola SDA harus mampu mengelola SDA sebagaimana amanat konstitusi pasal 33 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Akan tetapi, pengelolaan SDA di Indonesia dapat dikatakan masih buruk. Akibat pengelolaan yang buruk tersebut, SDA menjadi salah satu sektor yang rawan sekali terjadinya korupsi. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus korupsi SDA juga terjadi di Indonesia. Adapun laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020 menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi kekayaan alam mencapai hampir Rp30,5 miliar. Hal tersebut pun seakan memperkuat asumsi bahwa keberlimpahan SDA malah justru menciptakan banyak celah korupsi. Akibatnya, pembangunan akan terhambat dan rakyat tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari kekayaan alam yang mereka miliki. Hal tersebut kemudian mendorong terjadinya “resource-curse”, yaitu kondisi ketika kekayaan alam justru menjadi kutukan.

Istilah resource-curse sendiri merujuk pada fenomena yang terjadi ketika negara yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi negara yang makmur, tetapi justru menjadi kutukan bagi pemiliknya. Kekayaan alam yang dieksploitasi dengan tujuan memperoleh manfaat bagi masyarakat, kadangkala tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari proses eksploitasinya. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya kerusakan alam dan lingkungan secara masif, terjadinya konflik sosial, serta dampak lain seperti terjadinya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan ekonomi di beberapa daerah atau provinsi. Disebutkan dalam berbagai studi bahwa resource-curse disebabkan karena buruknya tata kelola SDA, termasuk diantaranya berkaitan dengan praktik korupsi.

Kondisi resource-curse ini dapat diibaratkan dengan kondisi negara kita, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan SDA, namun kekayaan yang dimilikinya tersebut tidak mampu membawa pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil penelitian PWYP Knowledge Forum (PKF) yang diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa fenomena resource-curse juga terjadi di tingkat lokal atau provinsi di Indonesia, dengan lima provinsi yang memiliki indeks resource-curse tertinggi yaitu Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa korupsi juga menjadi alasan utama terjadinya fenomena resource-curse. Adapun bentuknya dapat berupa suap, gratifikasi, konflik kepentingan, dan aset SDA yang tidak pernah diakui sebagai kekayaan milik negara. Data lain mengungkapkan bahwa ternyata banyak kepala daerah yang menyandang status koruptor berada di provinsi dengan indeks resource-curse yang tinggi seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua (pwypindonesia.org). Hal ini semakin menunjukkan korelasi yang kuat antara fenomena resource-curse dengan perilaku korupsi.

Korupsi SDA mendorong terjadinya penguasaan oligarki terhadap kekayaan alam. Akibatnya, penguasaan kekayaan alam didominasi oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Hal ini pun menyebabkan tingkat persentase penguasaan SDA dalam suatu negara mengalami ketimpangan, sebab rakyat hanya mendapat sebagian kecil saja.

Dalam hal ini, kondisi ril kekayaan SDA di Indonesia belum berkorelasi dengan kesejahteraan rakyatnya. Sebab, di Indonesia masih ditemukan ketimpangan atau kondisi pembangunan yang tidak merata di sejumlah daerah atau provinsi. Selain itu, masyarakat belum merasakan keuntungan yang berarti dari kekayaan alam negaranya sendiri karena sebagian besar penguasaan SDA justru dipegang oleh segelintir kelompok untuk kepentingan tertentu dan masyarakat hanya mendapat sebagian kecilnya saja. Kondisi tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Auriga pada Agustus 2022 yang mengungkapkan bahwa dari 53 juta hektare penguasaan lahan yang diberikan pemerintah, 94,8 persen dipegang oleh korporasi sementara rakyat hanya menguasai kurang lebih sekitar 2,7 hektar saja.

Tingginya persentase penguasaan korporasi terhadap lahan atau kekayaan alam sebuah negara juga dapat membuka peluang terjadinya eksploitasi besar-besaran karena alam tidak lagi terjaga dan kurang diperhatikan eksistensinya. Hal tersebut tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan, seperti terjadinya banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Apabila persoalan ini tidak segera diatasi, maka perekonomian negara dapat terancam. Pasalnya, pengelolaan SDA hanya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu dengan berupaya mengakali kebijakan, yang mana kebijakan tersebut berpotensi mengesampingkan kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat luas. Lagi-lagi akan berdampak pada masyarakat.

Untuk itu, perencanaan, perizinan, kebijakan, pengawasan, serta demokrasi dan partisipasi harus menjadi fokus perhatian dalam menyusun peraturan dan kebijakan pengelolaan SDA. Pengaturan dalam UU terkait tata kelola SDA juga harus dilatari oleh kondisi ril kekayaan negara dan disusun sesuai dengan perkembangan sosiologis dan dinamika global yang terjadi saat ini supaya relevan. Dan yang tak kalah penting, prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam konstitusi negara harus menjadi pedoman penting dalam pengelolaan SDA. Maka, diharapkan kondisi Indonesia terbebas dari resource-curse menjadi sesuatu yang dapat diaminkan.

 

Penulis,

Aisya Tjahja Rahmadewi

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro

 

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan