Politik: Bukan Hanya Permainan Elite
Kondisi politik di Indonesia saat ini dapat dipahami sebagai “permainan elite”, di mana permainan ini hanya dikuasai oleh elite-elite semata. Representasi dalam pemerintahan merupakan sebatas formalitas dan topeng untuk mengelabui rakyat. Tak hanya itu, minimnya representasi dari setiap kelompok masyarakat menambah bukti bahwa politik di Indonesia merupakan permainan mereka. Perlu dipahami bahwa hal ini bukan sekadar tentang lemahnya regulasi yang ada saat ini, tetapi juga merupakan konsekuensi struktural dari sistem saat ini, yaitu politik yang tunduk pada logika modal.
Demokrasi di Indonesia pun masih berada dalam bayang-bayang para elite itu. Hal ini sangat jelas terlihat pada legislatif yang dikuasai elite-elite ekonomi-politik. Maka dari itu, di mana representasi rakyat pekerja, buruh, tani, dan berbagai elemen masyarakat lainnya? Momentum demokrasi, seperti pilkada misalnya, dapat menelan biaya puluhan hingga ratusan miliar rupiah, bahkan lebih. Ini merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi saat ini tidak memberi ruang secara holistik kepada seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi di Indonesia berada dalam genggaman elite, yang hanya memberi kesempatan untuk kepentingan pemodal.
Tak berhenti sampai di situ, partai-partai politik di Indonesia saat ini pun tidak lahir dari basis massa rakyat. Partai-partai itu muncul dari para oligarki yang tidak merepresentasikan elemen-elemen masyarakat. Mereka menjadikan uang sebagai pelicin yang mengurangi gesekan-gesekan dari berbagai kepentingan, sehingga ambisi mereka dapat terwujud. Ditambah budaya feodal yang terus dilestarikan, yang menjadikan “restu” sebagai tolok ukur keberhasilan permainan ini, dengan dalih bahwa restu ini merupakan “galah” melentingnya para korea.
Politisi-politisi yang diberi modal dalam permainan ini akan memiliki beban moral kepada para elite itu, sehingga berujung pada inkompetensi yang menjadi taruhannya. Siapa pun yang dapat “tunduk” atas berbagai perintah dapat memenangkan permainan ini. Oleh karena itu, skenario politik ini berujung pada bisnis dan investasi dari elite-elite, yang pada akhirnya melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN akan diwajarkan dalam permainan ini, karena memang itu aturan bermainnya. Orang-orang yang tidak penting dan merugikan dalam pandangan mereka akan dihapus eksistensinya, dijebak, bahkan akan dihilangkan. Imbasnya, rakyat hanya akan menjadi korban dari kerakusan dan ambisi mereka dalam arena kekuasaan ini.
Perlu adanya alternatif dari permainan ini. Alternatif arena yang bukan hanya mereformasi, karena kita sudah mencobanya 27 tahun lalu dan pada akhirnya melahirkan panggung politik oligarki. Kita perlu beralih dari hal-hal yang bersifat normatif, yang tidak menyentuh akar permasalahan. Namun, kita perlu alternatif yang revolusioner, di mana pembiayaan politik ditanggung oleh negara, keputusan politik diambil dari perwakilan elemen-elemen masyarakat, dan partai-partai lahir dari basis-basis massa. Oleh karena itu, upaya ini dapat membuka kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk turut andil dalam arena yang kita harapkan.
Nepotisme yang terjadi dalam permainan ini pun bukan sekadar bentuk manifestasi dari loyalitas personal, tetapi lebih jauh dari itu, merupakan cara dari elite-elite untuk dapat mereproduksi kekuasaan mereka dengan menempatkan lingkarannya di birokrasi. Alat-alat represif, seperti aparat, dikerahkan mereka untuk menciptakan kondisi yang diharapkan, kemudian mereka datang seperti pahlawan yang dapat mengembalikan keteraturan dari kekacauan.
Untuk dapat merealisasikan arena alternatif, kita rakyat Indonesia perlu mengonsolidasikan kekuatan yang dapat mengimbangi bahkan menandingi elite-elite itu. Kita dapat memulainya dari serikat buruh, tani, pemuda, perempuan, dan intelektual progresif. Akumulasi kekuatan ini dapat menjadi alat politik independen dari rakyat. Gerakan-gerakan yang kita bangun harus beranjak dari “pengawasan” terhadap elite-elite itu, beranjak dari hanya sekadar menuntut elite agar berbenah dan memperbaiki diri mereka. Gerakan ini harus beralih pada perebutan panggung politik, sehingga kita dapat membangun demokrasi yang berasal dari rakyat. Ini merupakan jalan bagi rakyat untuk benar-benar mengambil permainan dari kaki tangan para elite, bukan sekadar menuntutnya untuk diperbaiki.
Demokrasi di Indonesia saat ini merupakan kedok dominasi elite-elite dalam permainan ini. Mereka ingin mempertahankan dan mereproduksi kekuasaan, serta mengakumulasi modal untuk kepentingan mereka. Regulasi teknis yang ada hanya sebatas obat pereda nyeri untuk rakyat. Maka dari itu, rakyat perlu bersatu, membuat permainan alternatif, dan mengganti arena dari para elite.
Penulis,
Al Farabi Haikal El Fadhil
Mahasiswa Program Studi Fisika tingkat akhir di Institut Teknologi Bandung
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025