Perpres PBJ 2025: Formalitas Pemberantasan Korupsi Pengadaan
Jakarta, 11 Juni 2025 – Selama dua dekade terakhir, korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah menjadi salah satu kejahatan yang paling konsisten terjadi. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah melakukan perubahan dalam sistem pengadaan barang/jasa, digitalisasi pengadaan, penguatan keterbukaan informasi pengadaan, hingga mengelola pengaduan. Korupsi dalam pengadaan barang/jasa bukan semata-mata soal teknis pelaksanaan pengadaan, tapi masalah yang sering muncul adalah kegagalan dalam mengidentifikasi kebutuhan belanja pengadaan yang seharusnya menjadi kebutuhan publik. Alih-alih memperbaiki sistem, Peraturan Presiden (Perpres) PBJ Tahun 2025, yang tidak hanya gagal menjawab persoalan struktural dalam sistem pengadaan juga berpotensi memperluas celah penyalahgunaan wewenang dan menunjukkan bahwa sesungguhnya agenda reformasi PBJ jalan di tempat–bahkan mengalami kemunduran.
Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 mencatat 82% pemerintah provinsi dan 67% pemerintah kabupaten/kota masuk kategori rentan korupsi karena buruknya pengelolaan PBJ. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024, hampir 90% perkara di persidangan menyangkut barang dan jasa. Berdasarkan data yang dihimpun oleh ICW, dari tahun 2019 hingga 2023 setidaknya terdapat 1.189 kasus korupsi dengan total tersangka 2.896. Dari jumlah kasus tersebut, total potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp47,18 triliun. Di sisi lain, potensi suap mencapai Rp439,71 miliar, potensi pungutan liar sebesar Rp2,61 miliar, dan pencucian uang sebesar Rp279,77 miliar.
“Modus yang digunakan dalam korupsi pada pengadaan beragam, dimulai dari kegiatan/ proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran, mark up, laporan fiktif, penggelapan, suap menyuap, penyalahgunaan wewenang, penyunatan, perdagangan pengaruh, dan lain sebagainya. Modus-modus ini masih terus terulang dan hampir selalu sama dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya bisa fokus pada modus-modus yang ada untuk memperbaiki sistem, bukan malah menambah aturan yang kontraproduktif dengan semangat antikorupsi”, pungkas Erma Nuzulia, Peneliti ICW.
Transparency International Indonesia (TI Indonesia) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, terbitnya Perpres ini menunjukkan keengganan politik dalam pemberantasan korupsi sistemik yang terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Perpres ini tampak lebih fokus membuka ruang diskresi yang lebih luas untuk aktor-aktor negara dan elite politik daripada memperkuat integritas dan akuntabilitas pengadaan publik.
“Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) dalam mereformasi sektor Pengadaan Barang dan Jasa menunjukkan keengganan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi sistemik di pengadaan. Tentu saja, Perpres ini sifatnya tidak kuat dan mengikat bahkan rentan ditunggangi kepentingan politik. Dorongan tepat untuk menjawab korupsi struktural di PBJ hanyalah dengan percepatan pengesahan RUU Pengadaan Barang dan Jasa sebagai prasyarat dasar untuk menciptakan tata kelola pengadaan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.” tambah Agus Sarwono, Peneliti Transparency International Indonesia.
Di antara ketentuan yang dinilai bermasalah dalam Perpres PBJ adalah:
- Peningkatan ambang batas pengadaan langsung yang memungkinkan transaksi bernilai hingga Rp400 juta dan maksimal Rp100 miliar tanpa kewajiban tender terbuka. Aturan ini tidak menunjukkan efisiensi, melainkan legalisasi penghindaran akuntabilitas. Aturan ini juga mengabaikan fakta yang menunjukkan bahwa korupsi PBJ rentan terjadi atau menggunakan modus pengadaan langsung.
- Perluasan kriteria metode penunjukan langsung, termasuk di dalamnya dalam rangka pelaksanaan program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, dan/atau bantuan Presiden. Kriteria penunjukan langsung melanggengkan benturan kepentingan yang rentan berujung korupsi sebab tidak disertai transparansi dan akuntabilitas pada aspek alasan penunjukan suatu penyedia.
- Perluasan wewenang Menteri sebagai Pengguna Anggaran dalam menyatakan program prioritas merupakan arahan Presiden dan menetapkan penunjukan langsung dengan analisis yang sangat subjektif.
- Perluasan pengadaan swakelola dan pengadaan yang dikecualikan, hal ini akan mengurangi peran kontrol publik. Swakelola seharusnya dicatatkan dalam sistem informasi pengadaan, namun implementasinya sangat minim. Begitu pula dengan pengadaan yang dikecualikan yang minim transparansi dan akuntabilitas karena prosesnya yang cukup tertutup.
- Ketentuan Pasal 77 tentang pengawasan dan pengaduan publik tidak merubah ketentuan secara substantif. Norma pada Pasal 77 seharusnya bisa diperkuat dengan mempertegas proses mekanisme administratif, perdata, atau pidana. Namun hal ini dimungkinkan jika dasar hukum dari pengadaan publik berbentuk undang-undang.
- Perluasan wewenang bagi Institusi Lainnya dalam Pasal 86A untuk mengatur ketentuan lebih lanjut di luar dari ketentuan Perpres PBJ yang dapat meloncati proses yang sudah ada di dalam Perpres PBJ.
Dengan catatan di atas, penerbitan Perpres PBJ 2025 menunjukkan sikap negara untuk melakukan pembiaran pada sistem yang tidak akuntabel, tertutup dan gagal menjawab kebutuhan akan reformasi struktural di sektor pengadaan.
Sebagai respon atas upaya setengah hati Pemerintah dalam pemberantasan korupsi pengadaan, TI Indonesia dan ICW menegaskan persoalan korupsi di pengadaan tidak dapat dibenahi hanya dengan Peraturan Presiden, melainkan dengan percepatan pembentukan Undang-Undang Pengadaan Publik. Proses pembuatan Undang-Undang melibatkan berbagai pihak, ketimbang Peraturan Presiden yang cenderung lebih tertutup dari partisipasi masyarakat.
Transparency International Indonesia
Indonesia Corruption Watch