Permohonan Tiga Koruptor ke MK untuk Menghapus Pasal 2 dan 3 UU Tipikor Berpotensi Membuat Korupsi Mustahil Diberantas!

Pada 1 Juli 2025, Indonesia Corruption Watch (ICW), bersama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Satya Bumi, dan Yayasan MADANI Berkelanjutan telah menyerahkan keterangan Sahabat Pengadilan (Amici Curiae) untuk perkara nomor 142/PUU-XXII/2024 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Sejak bulan Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi tengah menyelenggarakan persidangan untuk permohonan uji materiil UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dengan nomor perkara 142/PUU-XXII/2024, permohonan ini diajukan oleh Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam, yang ketiganya merupakan individu yang pernah didakwa dan dipidana di pengadilan tingkat pertama, serta terbukti melakukan tindak pidana korupsi untuk kasus yang masing-masing berbeda. Pada intinya, mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk menghapus keberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 karena dianggap inkonstitusional. Para pemohon menilai kedua pasal tersebut, yang pernah digunakan untuk menjerat mereka, bersifat terlampau luas, tidak jelas, serta multi tafsir.
Melalui keterangan Amici Curiae yang disusun oleh empat organisasi masyarakat sipil yang terdiri atas ICW, PSHK, Satya Bumi, dan Yayasan MADANI Berkelanjutan, kami meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan. Di dalam keterangan tersebut, kami menuliskan pokok-pokok argumentasi berikut, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor perlu dipertahankan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi karena:
- Substansi permohonan merupakan isu penerapan pasal, bukan isu konstitusionalitas norma;
- Justifikasi filosofis dan historis untuk mempertahankan keberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3;
- Elaborasi bahwa rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 masih memenuhi asas kepastian hukum;
- Relevansi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dengan perkembangan modus korupsi yang semakin kompleks;
- Dampak pada ribuan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan dampaknya para terpidana yang akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali apabila permohonan dikabulkan (cost-benefit analysis).
Jika permohonan para pemohon dikabulkan, pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya akan mengalami pelemahan untuk kesekian kalinya, tetapi korupsi itu sendiri akan menjadi mustahil untuk diberantas. Melalui keterangan kami, klaim dari para pemohon bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bersifat “karet” juga telah kami bantah di dalam keterangan Amici Curiae menggunakan analisis terhadap data empiris serta pembacaan holistik terhadap peraturan perundang-undangan yang menunjang sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Berdasarkan pemantauan ICW, semenjak 2015–2023 saja, telah terdapat setidaknya l 6.119 kasus tindak pidana korupsi diputus di pengadilan yang telah terbukti memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor. Apabila kedua pasal ini dihapus begitu saja oleh Mahkamah Konstitusi, dapat dibayangkan dampaknya terhadap ribuan kasus tersebut dan para terpidana serta terdakwa korupsi akan berbondong-bondong untuk meminta agar dibebaskan kepada melalui upaya hukum dari banding hingga peninjauan kembali. Terlebih, hal tersebut juga akan berpotensi kuat mencoreng prinsip kekuasaan kehakiman dari pengadilan yang sudah memutus perkara-perkara tadi,” ungkap Yassar Aulia, Peneliti ICW.
Dalam perkembangan paradigma korupsi secara kontemporer, alasan mengapa korupsi dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah karena secara karakteristik, ia merupakan fenomena yang kompleks dan memiliki dampak kerusakan yang luar biasa bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu contoh nyatanya dapat dilihat dari korupsi yang memiliki irisan dengan tata kelola sumber daya alam atau korupsi lingkungan yang seringkali bukan hanya membawa kerugian sosial, namun juga kerugian ekologis yang tidak dapat dihitung secara sempit hanya dari nominal uang yang dikorupsi semata.
“Praktik korupsi di sektor lingkungan dan sumber daya alam (SDA) bukan kejahatan biasa. Ia merupakan kejahatan yang berdampak luas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak ekosistem, melanggar hak asasi manusia, dan menciptakan ketimpangan sosial-ekonomi yang mendalam. Korupsi lingkungan kerap menjadi aktor di balik pembiaran kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang ilegal, dan penerbitan izin yang melanggar tata ruang. Kerugian akibatnya tidak dapat dihitung hanya dari nilai uang yang dikorupsi, melainkan juga dari dampak ekologis jangka panjang yang ditimbulkan, termasuk hilangnya fungsi ekologis hutan, bencana iklim, dan konflik lahan,” imbuh Sadam Afian Richwanudin, Peneliti MADANI Berkelanjutan
Secara aktual, bagaimana korupsi berdampak secara luas dapat tergambar dari korupsi yang dilakukan oleh salah satu pemohon, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
“Salah satu pemohon yaitu Nur Alam merupakan mantan terpidana Tipikor di tahun 2018 yang dijerat dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang lucunya saat ini ia mohon untuk dihapuskan. Mengingat kembali rekam jejak Nur Alam sebagai Gubernur Sultra dan praktik korupsinya berupa suap izin tambang nikel ilegal dan penyalahgunaan kewenangan sebagai pejabat publik telah memberikan kehancuran alam dan penderitaan bagi seluruh masyarakat pulau kecil Kabaena. Hingga saat ini, masyarakat Kabaena harus hidup dengan logam nikel yang ada di dalam tubuhnya dan dampak ini akan terus menerus dirasakan sampai ke keturunan mereka. Hingga saat ini, para perusahaan masih dengan leluasa beraktivitas di atas pulau kecil itu,” ujar Salma Inaz, Juru Kampanye Satya Bumi
Permohonan ini harus menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang secara realitanya memang modusnya kian kompleks dan selama ini dapat ditindak berkat keberadaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Mahkamah Konstitusi perlu konsisten dalam menjaga semangat pemberantasan korupsi melalui berbagai putusan terdahulu yang juga sempat beberapa kali disidangkan. Misalnya pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XXII/2024, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 29/PUU-XIX/2021, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XVII/2019, pada intinya telah ditegaskan pendirian Mahkamah untuk menolak segala bentuk terhadap pelemahan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Proses persidangan Perkara nomor 142/PUU-XXII/2024 kini tengah memasuki babak akhir sebelum putusan dijatuhkan. Oleh dasar tersebut, kami selaku Amici mendorong Mahkamah Konstitusi untuk konsekuen dengan pilar-pilar UUD NRI 1945 yang salah satu nafas utamanya pasca amandemen adalah upaya untuk mencegah korupsi sebagaimana terjadi pada Orde Baru tidak terulang.
Indonesia Corruption Watch
Satya Bumi
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
MADANI Berkelanjutan
4 Juli 2025
*) Dokumen keterangan Amici Curiae yang telah kami serahkan ke Mahkamah Konstitusi dapat diunduh dengan menekan tautan berikut ini: