Modul Desa: Pengorganisasian Warga Desa untuk Memantau Pelayanan Publik dan Keuangan Desa

Modul Desa. Sumber: ICW
Modul Desa

Salah satu tujuan dibentuknya UU 6 tahun 2014 tentang Desa dilatarbelakangi
atas dasar penghormatan entitas desa dalam menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, termasuk mendorong prakarsa, gerakan, serta partisipasi masyarakat untuk mengembangkan potensi dan aset desa serta meningkatkan pelayanan publik bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Bukan perkara mudah mencapai tujuan tersebut, butuh pendanaan besar untuk mengembangkan kemandirian sekitar 74.954 ribu desa di Indonesia, juga butuh peningkatan kapasitas kepala desa beserta perangkatnya agar mampu mengelola dana sehingga bermanfaat bagi seluruh warga secara adil dan merata. Tak kalah penting tentu mengoptimalkan keterlibatan warga dan seluruh pemangku kepentingan di desa untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan desa serta anggaran yang dikelolanya agar berjalan efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

Saat ini sumber pendapatan desa cenderung mengalami kenaikan yang signifikan, dan Pemerintah berencana meningkatkan porsi dana desa sebesar 10 persen
dari total anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2018. Pada APBN 2017, alokasi dana desa tercatat sebesar Rp60 triliun atau baru mencapai 7,84 persen dari total anggaran TKDD sebesar Rp764,9 triliun.

Tentu butuh usaha keras untuk mengawal kebijakan dengan alokasi dana yang besar tersebut, karena kenyataan dilapangan telah diwarnai berbagai pelanggaran termasuk korupsi. Bahkan yang terjerat bukan hanya perangkat dan kepala desa tetapi juga kepala daerah, seperti yang menimpa Bupati Kabupaten Pamekasan Madura yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awal Agustus 2017 lalu.

Kasus yang terjadi di Pamekasan merupakan fenomena gunung es, yang berpotensi terus meluas. Menurut catatan ICW, sejak tahun 2015 hingga September 2017, aparat penegak hukum telah menyidik sekitar 106 kasus, dengan jumlah tersangka 101 Kepala/perangkat desa dengan potensi kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp.39,5 miliar.

Memang jumlah kasus tersebut masih terbilang minim dibanding jumlah seluruh desa di Indonesia sehingga tidak bisa digeneralisir semua, namun jika titik rawan (loophole) dalam sistem pengelolaan anggaran desa tidak segera dibenahi maka diperkirakan jumlah kasusnya akan meningkat juga seiiring dengan besarnya jumlah dana yang dikelola. KPK sendiri telah melakukan pemetaan potensi masalah korupsi dan fraud yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan desa ini.

Kajian KPK terhadap pengelolaan keuangan desa yang berpotensi masalah tentu bagian dari upaya pencegahan untuk menyelamatkan uang negara. Sekaligus
juga memastikan agar seluruh dana yang dikelola oleh pemerintahan desa dapat meningkatkan kualitas layanan publik sehingga benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warga desa.

Untuk itu, penting bagi seluruh pemangku kepentingan seperti yang tercantum dalam rekomendasi KPK seperti KemenKo PMK, Kemenkopolhukam, Kemendes PDTT, Kemendagri, Kementerian Keuangan, BPKP dan masyarakat sipil untuk duduk bersama merumuskan strategi antisipatif untuk mengawal pelaksanaan UU Desa.

Terkait layanan publik yang berkualitas juga merupakan mandat dari tujuan pengaturan dan penataan desa sesuai UU Desa untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan umum. Tujuan tersebut juga tidak mudah dicapai, apalagi Ombudsman pada tahun 2015 pernah menyatakan bahwa pelayanan publik di kampung dan desa-desa masih menjadi persoalan yang sering dikeluhkan masyarakat, sedangkan tidak banyak masyarakat di kampung dan desa yang secara berani melakukan kritik terhadap buruknya pelayanan publik tersebut.

Oleh karena itu, koordinasi seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintahan kabupaten, kecamatan dan desa mencari terobosan mempercepat prosesnya agar warga desa benar-benar merasakan manfaat atas berlimbahnya anggaran yang dikelola di desa.

Modul Desa.pdf (9.48 MB)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan