Matinya Empati Negara

Negara yang seharusnya menjadi penopang keadilan dan kehormatan rakyat kini retak oleh praktik kekuasaan yang menggerogoti nurani publik. Negara yang secara formal mengakui Pancasila justru memperlihatkan borok-boroknya. Ritual kebrutalan yang sistematis berubah menjadi jalan gelap pemerintah dalam mengelola negara. Demokrasi di Indonesia semestinya menyediakan ruang dialog, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Namun, realitasnya kerap dikebiri oleh kekuasaan yang memonopoli narasi. Gejolak yang meletup pada akhir Agustus hingga hari ini jelas bukan kebetulan atau tiba-tiba, ini adalah akumulasi rasa kecewa dan muak masyarakat sipil terhadap sikap pemerintah yang semakin jauh dari amanat rakyat.

Ada rasa miris, bergidik, dan marah ketika menonton video aparat menabrakkan baracuda ke arah massa yang berakhir pada meninggalnya seorang pengemudi ojek online. Kejadian ini menjadi simbol betapa negara memilih jalan kekerasan. Rekaman yang beredar cepat di media sosial berfungsi sebagai bukti sekaligus validasi adanya arogansi pemerintah terhadap rakyat. Algoritma yang biasanya dipakai untuk menyebarkan hiburan atau gosip selebritas, kali ini berubah menjadi medium perlawanan. Keberadaan teknologi memperkuat kolektivitas, mengalirkan solidaritas, dan menyatukan suara publik. Gerakan akar rumput dan diskusi organik masyarakat sipil menembus ruang dan waktu, bergulir di platform digital hingga memicu demonstrasi yang lebih besar.

Demonstrasi yang terjadi secara masif adalah tanda paling nyata bahwa “negara kita tidak baik-baik saja.” Ribuan orang di Jakarta hingga daerah turun ke jalan bukan semata karena dorongan emosional, melainkan sebagai ekspresi kegelisahan kolektif. Masyarakat merasakan ketidakadilan ekonomi, memburuknya kualitas pelayanan publik, dan penegakan hukum yang timpang. Demonstrasi semestinya menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan gagasan, kritik, dan harapan pemerintah, bahkan menjadi koreksi yang memaksa penguasa melakukan introspeksi. Namun, kondisi menunjukkan sebaliknya, ruang publik dipersempit dan suara rakyat dipaksa bungkam.

Perjuangan habis-habisan masyarakat agar didengar justru ditekan dengan pembungkaman dan kekerasan. Saat demonstrasi berlangsung, pasukan TNI dikerahkan dengan dalih menjaga keamanan nasional. Jangankan berbenah diri, sepatah kata “maaf” pun tak muncul dalam retorika pemimpin negara. Tampaknya kata “maaf” memang lenyap dari kamus komunikasi publik para pejabat. Hingga hari ini yang terdengar hanyalah basa-basi dan kalimat retoris yang selalu gagal menyentuh akar masalah. Dalam pidato-pidato pejabat, rakyat disuguhi narasi klise tentang “situasi terkendali” dan pernyataan bahwa “pemerintah terus berupaya.” Padahal, masyarakat tidak mengharapkan bualan politik, masyarakat membutuhkan aksi nyata yang mengedepankan integritas dan transparansi publik.

Viralnya video “baracuda melindas pengemudi ojek online” dan beragam narasi perlawanan yang beredar di media sosial menimbulkan pertanyaan mendasar: “Apakah ruang dialog masih tersedia di Indonesia?” Peristiwa akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pemerintah sepertinya dapat dijangkau melalui tekanan algoritmik, bergerak hanya saat isu menjadi viral. Jika tidak ada perubahan dalam sistem pemerintahan, jurang ketidakpercayaan akan semakin menganga. Perlawanan akan semakin tajam! Kemarahan publik bukan reaksi sesaat, melainkan refleksi panjang dari kekecewaan terhadap institusi penegak hukum dan pemerintah yang dianggap tak lagi berpihak pada rakyat. Satu isu besar tentang polisi yang semestinya melindungi, justru dipersepsikan sebagai “pembunuh.” Satu kasus ini membuka nurani masyarakat sipil bahwa harus ada perlawanan untuk perubahan pada sistem kenegaraan yang bobrok. Ada akumulasi pengalaman kolektif dari deretan kasus represi yang berulang, bukan hanya terkait gas air mata, pentungan, barikade, dan korban sipil, tetapi juga pada kasus-kasus korupsi, hak asasi manusia, dan berbagai kebijakan serta regulasi yang harus diperbaiki.

Reformasi praktis harus dimulai sekarang. Pemerintah harus membuka penyelidikan independen yang kredibel, menuntut pertanggungjawaban individu dan rantai komando, serta memperkuat mekanisme pengawasan sipil atas institusi negara. Selain itu, perlu adanya audit besar-besaran, pemerintah harus mengobati semua boroknya! Undang-undang yang memberi ruang partisipasi publik perlu direvisi agar berfungsi nyata, bukan sekadar simbolis. Tanpa langkah-langkah itu, jurang antara penguasa dan rakyat akan melebar dan legitimasi pemerintahan akan terus rapuh.

Kasus baracuda yang melindas pengemudi ojek online hanyalah satu dari banyak utang pemerintah untuk berbenah. Pemerintah harus menyadari, kekerasan dan pembungkaman mesti dihentikan. Jika Indonesia ingin menjadi negara berdaulat, realitas hari ini harus berubah menjadi negara yang adil, aman, dan bermartabat. Mekanismenya sederhana dalam kata, tetapi menuntut keberanian politik, yaitu mendengarkan suara publik, menuntaskan janji politik, dan mewujudkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Jika tidak ada perwujudan keadilan, masyarakat akan terus melawan!

 

Penulis,

Paskalia

Master’s Degree in Communication University of Indonesia

 

 *Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan