Korupsi Sertifikasi K3: Wamenaker Tersangka, Tamparan untuk Kabinet Prabowo

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) ditetapkan sebagai tersangka pemerasan pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Immanuel menjadi anggota Kabinet Merah Putih era Prabowo Subianto pertama yang menyandang status tersangka korupsi.
KPK menyangka Immanuel dan 10 orang lainnya dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) dengan pasal pemerasan (Pasal 12 huruf e dan/ atau 12B). Modus yang diduga terjadi yaitu pihak Kemenaker memperlambat, mempersulit, serta tidak memproses permohonan sertifikat K3, bahkan ketika persyaratan lengkap. Pemberian uang menjadi pelicin atau syarat untuk mempercepat layanan.
K3 dimaksudkan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Sedangkan sertifikasi K3 bertujuan memastikan tenaga kerja atau perusahaan paham dan mampu menerapkan K3. KPK mengungkap bahwa dari tarif sertifikasi K3 yang seharusnya sebesar Rp 275 ribu, pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta. Kelebihan biaya tersebut merupakan bagian dari pemerasan untuk memuluskan pengajuan sertifikasi K3. Dari praktik ini, KPK mengungkap terdapat Rp 81 miliar hasil pemerasan yang mengalir ke berbagai pihak.
Atas kasus ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan:
Pertama, OTT yang dilakukan KPK terkait sertifikasi K3 patut diapresiasi. OTT KPK yang beberapa tahun ke belakang terlihat lesu merupakan metode penanganan korupsi yang efektif dan penting dilakukan. ICW mencatat OTT KPK menurun drastis pada periode 2019-2024, yaitu hanya 31 perkara, dibanding pada periode 2014-2019 sebanyak 87 perkara. Namun demikian, OTT yang KPK lakukan perlu disertai upaya membongkar tuntas jaringan korupsi di Kemenaker dan tidak ragu untuk menerapkan pasal pencucian uang, terlebih mengingat kasus ini disebut sudah menahun dan ada dugaan uang dimanfaatkan untuk penyertaan modal kepada PJK3.
Kedua, dugaan keterlibatan Immanuel Ebenezer yang belum setahun menjabat sebagai Wamenaker patut mendapat perhatian khusus. Menjadi anggota Kabinet Merah Putih pertama yang tersangkut korupsi di masa jabatan yang sangat singkat, dugaan keterlibatan Immanuel sepatutnya menjadi tamparan bagi Presiden Prabowo Subianto. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan janji manis, tetapi aksi nyata seperti menimbang rekam jejak, kompetensi, dan integritas jajaran kabinet. Immanuel Ebenezer sebagai Wamenaker adalah produk bagi-bagi kursi kementerian kepada pendukung Prabowo-Gibran saat pemilu.
Komitmen memerangi korupsi penting dimulai dengan bersih-bersih kementerian dan lembaga negara. Presiden seharusnya memilih orang dengan kompetensi dan visi mereformasi, bukan korupsi. Alih-alih melakukan pembenahan terhadap korupsi yang KPK sebut berlangsung lama di Kemenaker, Immanuel justru diduga terlibat dalam pemerasan berjamaah di Kemenaker.
Kedua, mengingat pada saat yang bersamaan KPK juga tengah menangani kasus pemerasan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenaker, dugaan korupsi K3 mengindikasikan bahwa para terduga pelaku tidak menjadikan penindakan KPK sebagai alarm untuk menghentikan perbuatan korupsi. Oleh karena itu, kritik keras patut dilemparkan kepada Kemenaker.
Tidak hanya korupsi RPTKA, pada 2024 Kemenaker juga tersandung korupsi sistem proteksi pekerja migran dengan kerugian negara Rp 17,6 miliar. Dalam kasus tersebut, pejabat eselon 1, yaitu Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Reyna Usman ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, penindakan yang dilakukan penegak hukum tidak membuat institusi ini berbenah dan memperkuat upaya pencegahan korupsi.
Ketiga, kasus ini mengindikasikan mekanisme pengawasan dan pencegahan korupsi Kemenaker tidak berjalan. Pemerasan sertifikasi K3 disebut KPK berlangsung sejak 2019. Bahkan, tersangka Irvian Bobby Mahendro (IBM) yang merupakan Koord Bidang Kelembagaan dan Personil K3 diduga menerima uang dari main-main sertifikasi K3 pada 2019-2024 sebesar Rp 64 miliar. Tidak hanya untuk liburan, belanja, membeli rumah, dan kendaraan, IBM juga memanfaatkan uang tersebut untuk menyertakan modal kepada 3 perusahaan yang terafiliasi PJK3.
Tidak hanya permainan lama, KPK juga mengungkap dugaan keterlibatan berbagai pihak di Kemenaker yang mempunyai tupoksi pengurusan sertifikasi K3, seperti Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Keselamatan Kerja, Sub Koordinator Keselamatan Kerja dari Direktorat Bina K3, Sub Koordinator Kemitraan dan Personil Kesehatan Kerja, dan lainnya. Hal ini menunjukkan korupsi juga berlangsung sistemik.
Pengawasan dan upaya deteksi adanya pelayanan yang buruk dan kecurangan pada pengurusan sertifikasi K3 bukan hal yang sulit. Layanan sertifikasi K3 sudah dilengkapi dengan peraturan yang memberi batas waktu bagi pihak Kemenaker menindaklanjuti permohonan yang diterima. Korupsi ini juga mengorbankan banyak pihak, baik itu PJK3 maupun buruh atau tenaga kerja. Dengan membuka dan menggencarkan pengaduan pungutan atau pemerasan, Kemenaker pasti dengan mudah akan mendapat banyak aduan. Menahunnya persoalan ini mendanakan tidak ada asesmen bagaimana Kemenaker menjalankan wewenang terkait sertifikasi K3.
Oleh karena itu, penting bagi KPK juga menelusuri dugaan keterlibatan pihak-pihak yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan di internal Kemenaker, termasuk misalnya menteri, baik menteri pada periode saat ini ataupun periode sebelumnya, hingga inspektorat jenderal. Patut diduga, terdapat keterlibatan pihak lain atau setidaknya terjadi pembiaran serta kelalaian dalam melakukan pengawasan.
Jakarta, 22 Agustus 2025
Indonesia Corruption Watch
Narahubung:
Almas Sjafrina
Egi Primayogha