Jerat Pidana Mantan Pimpinan KPK

lili, gratifikasi, dan antiklimaks penanganan korupsi

Tak cukup dengan satu pelanggaran etik, pimpinan KPK Lili Pintauli lagi-lagi berulah dan kembali berurusan dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi berbentuk akomodasi hotel hingga tiket menonton MotoGP Mandalika. Namun, alih-alih dijatuhi sanksi berat, langkah Dewas kalah cepat dengan manuver Lili yang lebih dulu mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Ironisnya Presiden terlalu prematur meneken Keppres Pemberhentian Lili sehingga Dewas KPK urung melanjutkan proses penanganan laporan etik.

Bukan kali pertama masyarakat menyaksikan manuver Lili yang kontroversial, setidaknya sudah empat kali masyarakat melaporkannya ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik. Terakhir pada Agustus 2021 lalu Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melakukan pelanggaran berat karena berkomunikasi dengan pihak yang berperkara, kendati sanksi yang dijatuhkan tidak sepadan dengan perbuatan.

Kasus terakhir yang akhirnya membuatnya mundur adalah dugaan menerima gratifikasi dari PT Pertamina pada saat acara MotoGP Mandalika, Maret lalu. Diperkirakan, total nilai pemberian tersebut sebesar Rp 90 juta dari pihak Pertamina.

Lebih dari Pelanggaran Etik

Peristiwa terakhir ini perlu dicermati secara kritis, pertama perilaku pimpinan KPK yang digawangi Firli Bahuri dengan UU barunya kerap mengabaikan kode etik. Padahal sebelumnya KPK dikenal sejak lama punya standar etika yang sangat tinggi.

Kedua, penghentian sidang etik Lili Pintauli oleh Dewas KPK patut diduga bagian dari siasat menghindari vonis sanksi berat yang berujung pemecatan sehingga semakin merusak citra KPK era Firli Bahuri. Indikasi ini terlihat jelas mengingat surat pengunduran diri yang dilayangkan Lili Pintauli kepada Preseiden Jokowi, tembusannya sudah diterima oleh Dewas pada 30 Juni 2022. Namun kala itu, Dewas berkukuh tetap melanjutkan proses pemanggilan sidang pada 5 Juli 2022.

Namun ketika keputusan pemberhentian Lili keluar pada 11 Juli 2022 membuat sidang etik juga berhenti seketika sehingga penanganan dugaan pelanggaran etik anti-klimaks. Itulah sebabnya langkah Dewas dinilai sebagai upaya cuci tangan sekedar agar citra KPK terlihat bersih.

Ketiga, pengusutan dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi Lili pintauli seharusnya berjalan paralel dengan penanganan pelanggaran etiknya. Meskipun pelanggaran etik telah dihentikan karena alasan sudah keluar Keppres namun Dewas sebenarnya bisa melimpahkan data soal dugaan gratifikasi yang dimiliki untuk dilimpahkan ke Kepolisian atau Kejaksaan.

Gratifikasi secara jelas diatur dalam Pasal 12 B UU No 20 tahun 2001 jo UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga dugaan penerimaan gratifkasi seharusnya juga dapat ditindaklanjuti selama ada ketentuan pidana yang dilanggar tanpa menunggu mana yang lebih dulu.

Sekali lagi, dugaan penerimaan gratifikasi yang dilakukan Lili Pintauli saat menjabat Wakil Ketua KPK bukanlah semata hanya pelanggaran etik biasa tetapi juga bermuatan tindak pidana korupsi. Aparat Penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan sebetulnya tak perlu menunggu adanya laporan, karena kejahatan korupsi bukanlah delik aduan. Sehingga bisa saja langsung mendatangi KPK untuk meminta berkas dugaan penerimaan gratifikasi yang jika terbukti bisa menjerat mantan pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar.

 

 

 

Penulis: Tibiko Zabar

Editor: Agus Sunaryanto

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan