Indonesia: Negeri yang Menangis di Atas Kuadriliun Korupsi
Seandainya ada lomba internasional tentang kreativitas menghilangkan uang negara, barangkali Indonesia pantas menyabet medali emas, perak, dan perunggu sekaligus. Bayangkan, baru berjalan sembilan bulan di tahun 2025, deretan kasus korupsi sudah menembus angka fantastis: Rp1.588,361 triliun. Angka itu bukan salah ketik, bukan juga angka dalam proposal proyek jalan tol imajiner. Itu nyata. Tertulis dalam daftar panjang kejahatan pejabat, konglomerat, dan petinggi BUMN yang menjadikan kas negara sebagai celengan pribadi.
Mari kita hitung sebentar. Kasus Pertamina: Rp968,5 triliun. Kasus PT Timah: Rp300 triliun. Kasus BLBI: Rp138 triliun. Dan seterusnya, hingga kasus sepele–sepele kalau dibandingkan jumlah sebelumnya–seperti korupsi kuota haji Rp1 triliun atau korupsi Immanuel Ebenezer Rp81 miliar. Kalau dikumpulkan, hasilnya hampir menyentuh 1,6 kuadriliun rupiah. Angka yang terlalu besar untuk diimajinasikan, bahkan mungkin lebih besar daripada daya ingat para pejabat ketika ditanya besaran korupsinya di pengadilan.
Berandai-andai Indonesia dengan 1,6 kuadriliun
Padahal, dengan uang sebesar itu, rakyat bisa mendapat pendidikan gratis dari SD sampai universitas. Anggaran BOS untuk anak SD rata-rata Rp1,1 juta setahun. Dengan uang korupsi, kita bisa membiayai 1,4 miliar anak sekolah. Padahal jumlah anak usia sekolah di negeri ini cuma sekitar 52 juta. Artinya, setiap anak bisa sekolah secara gratis, dapat laptop, buku impor, dan mungkin dikasih beasiswa study tour ke luar negeri tiap liburan semester.
Sektor kesehatan? Jangan ditanya. Iuran BPJS Kelas 3 hanya di angka Rp42 ribu per bulan. Kalau dikali setahun, Rp504 ribu per orang. Dengan Rp1.588 triliun, seluruh rakyat Indonesia bisa mendapat BPJS gratis selama 11 tahun ke depan. Bayangkan, tak perlu antre, tak perlu takut ditolak rumah sakit dengan alasan “ruang penuh.” Tapi, ya sudahlah, uang itu kan lebih penting dipakai pejabat untuk beli jam Richard Mille seharga Rp11 miliar dan jet pribadi yang katanya buat “dinasi.”
Infrastruktur? Satu kilometer jalan tol butuh Rp80–120 miliar. Dengan uang hasil korupsi, kita bisa bangun lebih dari 15.000 kilometer jalan tol. Itu artinya, jalan tol bisa menghubungkan Sabang sampai Merauke, bahkan mungkin dilanjutkan sampai Australia. Tapi, toh, nampaknya bagi para pejabat rakyat lebih butuh jalan berlubang agar motor mereka rusak cepat. Kalau motor cepat rusak, bengkel laris, ekonomi berputar. Itulah logika pembangunan ala negeri koruptor.
Belum lagi soal perumahan rakyat. Rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sekitar Rp168 juta per unit. Dengan uang korupsi, bisa dibangun 9 juta rumah baru. Tapi untuk apa? Lebih baik membiarkan rakyat tetap ngontrak, karena kalau mereka punya rumah sendiri mereka akan malas bekerja. Punya rumah bikin nyaman, padahal rakyat harusnya tetap gelisah supaya gampang digiring ke TPS tiap pemilu.
Ironi Negara di Tangan Penguasa yang Salah
Ironisnya, di tengah angka segila itu, pejabat dan penguasa masih suka menyarankan rakyat “hidup sederhana” atau “belajar legowo.” Rakyat diajak bersabar menghadapi harga beras naik, tarif listrik melonjak, dan upah minimum yang tak sebanding dengan inflasi. Lalu, ketika rakyat turun ke jalan, mereka dicap provokator. Hebat, bukan? Mereka yang merampok disebut negarawan, sementara rakyat yang marah disebut perusuh.
Sarkasme terbesar adalah bagaimana kasus-kasus ini kerap diolah jadi tontonan. Ada sidang, ada drama, ada tersangka menangis di depan kamera. Tapi, toh, publik tahu ujungnya: hukuman ringan, fasilitas sel mewah, remisi setiap hari raya. Bandingkan dengan rakyat kecil yang mencuri sandal atau setandan pisang. Hukuman mereka lebih keras, lebih nyata, dan tanpa kesempatan “deal” dengan jaksa.
Jadi, untuk apa kita masih bicara soal pembangunan berkelanjutan, green energy, atau revolusi industri 4.0, kalau realitasnya kita hidup di negara yang lebih dulu menamatkan korupsi 10.0? Negara ini kaya raya, benar. Tapi kekayaannya tak pernah sampai ke rakyat. Kaya pejabat, kaya konglomerat, kaya jaringan politik. Rakyat? Miskin, tapi tetap disuruh bersyukur.
Uang Rp1.588 triliun itu seharusnya bisa jadi bahan bakar perubahan. Tapi yang terjadi, ia jadi bahan bakar untuk mempercepat kehancuran moral bangsa. Mungkin inilah definisi baru negara: bukan welfare state seperti yang diimpikan para pendiri, melainkan corruption state—sebuah negeri di mana mencuri dianggap kecerdikan, dan bersuara dianggap kesalahan.
Kalau benar setiap rupiah adalah darah rakyat, maka 1,6 kuadriliun yang hilang itu bukan lagi sekadar angka. Itu kuburan besar tempat harapan bangsa dikubur hidup-hidup.
Penulis,
Alfin Nur Ridwan
Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan UMS, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sukoharjo
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025