ICW Kecam Keputusan KPK Hentikan Perkara “Blok Medan”

Spanduk bertuliskan Selamat Datang di Blok Medan yang ada di Kota Medan
Spanduk bertuliskan Selamat Datang di Blok Medan yang ada di Kota Medan (Dok: IDN Times)

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam keputusan KPK menghentikan penyidikan perkara yang menyeret nama Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dan istrinya, Kahiyang Ayu, dalam kasus korupsi tambang nikel di Maluku Utara. ICW menilai KPK tak bertaji menangani kasus korupsi yang diduga menyeret dinasti mantan Presiden RI Jokowi.

 

ICW memberikan tiga catatan penting dari penghentian proses penyidikan tersebut. Pertama, dalam persidangan kasus suap izin usaha pertambangan (IUP) yang menjerat bekas Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba (AGK), sejumlah kesaksian secara terang telah mengungkap indikasi keterlibatan Bobby dan Kahiyang. Anak dan menantu Jokowi tersebut diduga terkait dalam transaksi koruptif pengurusan konsesi tambang nikel di Halmahera Timur. Kesaksian tersebut muncul secara langsung dari AGK maupun saksi lainnya seperti Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suryanto Andili, yang sempat dihadirkan di Pengadilan Negeri Ternate.

KPK memang telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus AGK karena ia meninggal dunia. Tetapi seharusnya pengembangan kasus untuk dugaan korupsi di “Blok Medan” tidak diberhentikan begitu saja. Ini lantaran sampai sekarang belum terungkap apakah terdapat perdagangan pengaruh atau bahkan suap-menyuap dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan antara Bobby dengan AGK. Praktik tersebut diduga dilakukan guna mengamankan “jatah” konsesi tambang untuk diberikan bagi perusahaan milik Kahiyang.

Petunjuk-petunjuk tersebut merupakan fakta hukum yang seharusnya dapat menjadi modal kuat bagi KPK untuk mengembangkan kasus dengan membuka penyelidikan baru. Baik dengan meminta keterangan dari Bobby Nasution maupun Kahiyang Ayu sebagai saksi; memeriksa pemilik manfaat akhir (beneficial owner) dari perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat atau disebut namanya dalam proses persidangan terkait “Blok Medan;” hingga mendalami kesaksian dari pihak-pihak lain yang terhubung dengan AGK yang pernah bertemu dengan Bobby maupun orang dekatnya guna membahas konsesi tambang di Maluku Utara. 

Kedua, penerbitan SP3 mencerminkan ketidakberanian pimpinan KPK untuk mengungkap dugaan kasus korupsi yang mungkin melibatkan aktor politik kelas kakap seperti Jokowi dan menantunya Bobby Nasution. Penerbitan SP3 tersebut juga contoh nyata dari implikasi revisi UU KPK pada 2019 silam. Sebab sebelumnya, KPK wajib mengusut tuntas kasus korupsi yang sudah masuk ke tingkat penyidikan karena tidak dibekali wewenang untuk SP3. Selain itu, status kelembagaannya yang tidak ada di bawah cabang eksekutif, serta komposisi penyidik yang tidak harus menjadi aparatur sipil negara, membuat lembaga ini lebih berani untuk menindak kasus-kasus korupsi yang melibatkan aktor politik kelas kakap.

Berdasarkan hasil pemantauan tren korupsi oleh ICW, KPK cenderung lebih mengendur dalam menindak aktor-aktor politik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pasca revisi UU KPK di tahun 2019 disahkan. 

Ketiga, dugaan kasus korupsi “Blok Medan” ini menunjukkan keterbatasan regulasi Indonesia dalam merespons sejumlah modus-modus korupsi yang telah berkembang. Dalam hal ini, penting bagi Indonesia untuk segera mengkriminalisasi trading in influence (perdagangan pengaruh), serta memperkuat legislasi terkait penelusuran pemilik manfaat atau beneficial owner yang kini masih berada di tingkat peraturan presiden. Dengan demikian, ke depan, celah hukum yang memungkinkan penyelenggara negara maupun pihak swasta melakukan penyalahgunaan kewenangan tanpa transaksi suap-menyuap langsung, seperti melalui manipulasi perizinan tambang, dapat dipersempit.

 

Oleh karena itu, ICW mendesak agar KPK membuka penyelidikan baru untuk menelaah dugaan keterlibatan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dalam kasus korupsi di Maluku Utara.

Meski kasus AGK sudah di-SP3, tetapi sudah ada putusan pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa AGK secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi jual-beli izin tambang. Di proses persidangan itu pula terungkap keterangan terkait "Blok Medan." Sehingga, kendati pengusutan untuk AGK memang tidak mungkin dilanjutkan, penelusuran keterlibatan aktor lainnya masih dapat dikembangkan dari locus tindak pidana yang sama. Meski sedikit berbeda konstruksi perkaranya, logika serupa sebetulnya diterapkan oleh KPK pasca Hasto Kristiyanto telah menerima amensti dari presiden. Pengusutan untuk Harun Masiku yang masih buron masih tetap terlaksana meski ada aktor yang sudah tidak bisa diusut lagi perkara korupsinya. 

 

Narahubung:

Egi Primayogha

Yassar Aulia

 

Indonesia Corruption Watch

10 November 2025

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan