Hari Air 2023: Hentikan Swastanisasi dan Ambil Alih Pengelolaan Layanan Air Secara Menyeluruh di Jakarta

Dokumentasi Aksi Masyarakat Jakarta Menolak Privatisasi Air

Jakarta - Tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia sejak ditetapkan pada tahun 1992. Peringatan ini menjadi sarana kampanye perlindungan air sebagai bagian dari kebutuhan dasar umat manusia. Namun hingga tiga dekade hiruk-pikuk peringatan Hari Air Sedunia, warga Jakarta masih belum terbebas dari swastanisasi air. Pasalnya, alih-alih melakukan proses evaluasi terkait dengan praktik swastanisasi air Jakarta yang telah berlangsung selama 25 tahun dengan Aetra dan Palyja, Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya justru sudah menandatangani kontrak dengan PT Moya Indonesia pada 14 Oktober 2022 lalu. Kontrak tersebut menjadi kabar buruk bagi warga Jakarta dan menandai dimulainya babak baru privatisasi air yang nasib pengelolaannya kedepan akan dilakukan berdasarkan:

  1. Nota Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022 tentang Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan SPAM; 
  2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya untuk Melakukan Percepatan Cakupan Layanan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta (“Pergub 7/2022”) yang ditetapkan pada 30 Maret 2022; dan 
  3. Keputusan Direksi PAM JAYA No. 65/2022 tentang Pedoman Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum.

Memperingati Hari Air Sedunia, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mencatat beberapa poin penting yang secara tegas menolak praktik swastanisasi air di Jakarta:

Pertama, privatisasi air selama 25 tahun telah nyata menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Cakupan layanan air Jakarta stagnan pada angka sekitar 65%. Privatisasi layanan air juga telah meminggirkan dan mendiskriminasi rumah tangga miskin, yang seringkali berada di wilayah yang dikategorikan “abu-abu” atau “illegal”. Eksklusi akses atas air yang sistematis dan struktural terjadi terhadap pemukiman yang terpinggirkan dan lebih lemah secara ekonomi. Warga permukiman informal tidak bisa mengakses sambungan air dari jaringan pipa distribusi karena tidak memiliki sertifikat hak milik. Mereka terpaksa mengandalkan mekanisme alternatif, yang seringkali eksploitatif dan mahal. Bahkan pada wilayah yang dilayani oleh jaringan perpipaan, kualitas layanannya seringkali juga tidak memuaskan—pasokan air terputus-putus, dan kualitas airnya tidak dapat diminum (memerlukan mekanisme lanjutan seperti pengendapan, menyimpan air dan menambah dari sumber lain, termasuk air tanah dan air kemasan). 

Kedua, privatisasi air Jakarta telah melanggar Hak Asasi Manusia dan Konstitusi terkait pemenuhan hak atas air warga DKI Jakarta. Sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945 juga Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, air bukan hanya hak asasi manusia namun air adalah kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya negara seharusnya berdaulat dari hulu ke hilir dalam pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan air tidak mungkin dikelola oleh swasta yang secara karakter profit oriented. Swasta tidak mungkin mengupayakan pemenuhan hak atas air masyarakat secara maksimal karena tujuan usahanya adalah keuntungan. 

Ketiga, adanya potensi kerugian negara akibat privatisasi air selama 25 tahun. Kontrak dengan perusahaan swasta juga telah mengakibatkan kerugian keuangan bagi PAM Jaya maupun bagi negara secara umum. Mekanisme water charge, Internal Rate of Return, menyebabkan adanya shortfall, sehingga hal tersebut terhitung sebagai hutang yang harus dibayar oleh PAM Jaya. Klaim-klaim hutang yang harus dibayar PAM Jaya bahkan mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah seperti yang diajukan oleh Palyja. Operator swasta juga terbukti tidak berinvestasi secara memadai dalam mengembangkan infrastruktur layanan air walaupun perusahaan terus menghasilkan pendapatan tahunan yang tinggi. Bahkan upaya mendorong investasi dan membangun infrastruktur baru justru sering menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan untuk membangun infrastruktur baru, perusahaan swasta menginginkan investasi mereka untuk segera kembali dengan cara membebankannya kepada pelanggan melalui kenaikan tarif. Ketika hal tersebut ditentang oleh pemerintah maka mengakibatkan investasi infrastruktur terhenti.

Keempat, adanya dugaan persekongkolan dalam tender. Proses tender yang dilakukan secara tertutup dan dokumen yang tidak dipublikasikan membuka ruang persekongkolan. Meski PAM Jaya memiliki platform http://e-proc.pamjaya.co.id/ namun kontrak terbaru dengan Moya tidak menggunakan platform tersebut, bahkan tidak ada informasi tentang penawaran di luar pengumuman pemilihan antara Moya dan Manila Water setelah kontrak ditandatangani. Moya juga mendapat fasilitas right-to-match tanpa adanya informasi tentang kualifikasi dan studi kelayakan yang dilakukan Moya. Ketertutupan informasi dan karpet merah pada Moya patut diduga bertujuan membatasi ruang persaingan secara adil dan terbuka. Perlu diketahui, Moya sebagai penyedia yang ditetapkan sebagai pemenang tender oleh PAM Jaya memiliki hubungan atau afiliasi dengan induk perusahaan Aetra sebelumnya.

Kelima, tidak adanya evaluasi secara menyeluruh atas perjanjian kerja sama dengan Palyja dan Aetra, sehingga berpotensi mengulangi permasalahan serupa sebab tidak didasarkan pada UU SDA. Terbitnya Nota Kesepakatan tentang Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan SPAM, Pergub DKI 7/2022 serta Keputusan Direksi PAM JAYA No. 65/2022 yang melegitimasi “babak baru” privatisasi air di DKI Jakarta, tidak secara spesifik menjelaskan bagaimana mekanisme Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) yang akan dilakukan dalam skema bundling penyelenggaraan pengelolaan air di DKI Jakarta. Selain itu, tidak jelasnya pembagian risiko sebagai suatu aspek penting dalam skema KPBU/PPP. Ketidakjelasan tersebut tentu akan berpotensi melanggengkan pelanggaran hak atas air dan masalah yang terjadi di masyarakat dalam konteks air di DKI Jakarta. Adapun  proses transisi hingga dibentuknya Pergub 7/2022 dilakukan secara tidak partisipatif, transparan, dan akuntabel sehingga warga DKI Jakarta tidak memiliki dasar untuk menguji kebijakan publik yang akan mempengaruhi hajat hidupnya, setidak-tidaknya pengelolaan sumber daya air harus memiliki asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Keenam, pencemaran air yang tidak kunjung dapat diatasi dan pemanfaatan sumber air permukaan yang belum optimal. Jakarta sendiri memiliki 13 sungai dan 117 waduk/embung/danau. Jumlah ini seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Jakarta. Namun nyatanya, pemanfaatan sumber air permukaan masih kurang dari 10%. Situasi tersebut diperburuk oleh kondisi sumber air permukaan yang tercemar berat hingga sedang akibat aktivitas industri dan pengelolaan limbah yang tidak berwawasan lingkungan. Alih-alih memulihkan dan memanfaatkan sumber air yang ada, pemerintah justru mengembangkan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) baru yang sarat monopoli dan jauh dari prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia. Buruknya pengelolaan air di Jakarta berdampak pada tingginya ekstraksi air tanah yang menjadi penyebab utama penurunan permukaan tanah di Jakarta. Dengan kata lain, buruknya pengelolaan air di Jakarta telah meningkatkan ancaman bencana yang akan menimbulkan krisis multidimensi di Jakarta, termasuk mengorbankan kelompok-kelompok yang paling rentan. 

Ketujuh, kelompok rentan (perempuan, anak, disabilitas, lansia, dsb) mengalami peningkatan kerentanan dan beban yang lebih berat atas buruknya pengelolaan air di Jakarta. Kelompok miskin kota misalnya, dengan pendapatan yang tidak menentu mereka harus membayar tarif air dengan selisih dua sampai lima kali lipat dari harga normal. Sementara kelompok perempuan, sebagai kelompok yang dilekatkan dengan urusan rumah tangga, mereka harus menyiasati penggunaan air yang terbatas untuk kebutuhan hidup seluruh keluarga. Tidak jarang, dalam kondisi krisis air, kelompok perempuan juga harus terlibat dalam perebutan air yang mengancam keselamatannya. Situasi ini tidak menjadi perhatian khusus pemerintah yang masih melakukan praktek pengabaian dalam proses kebijakan pengelolaan air di Jakarta.

Berangkat dari permasalahan akan adanya potensi babak baru privatisasi air di DKI Jakarta, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk:

  1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait penyelenggaraan penyediaan air di Jakarta melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Aetra dan Palyja dengan melibatkan masyarakat;
  2. Membuka informasi atas proses evaluasi, proses transisi, dokumen-dokumen terkait, serta bagaimana skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) penyelenggaraan air di Jakarta melalui Pergub DKI 7/2022, Nota Kesepakatan Kemendagri-KemenPUPR-Pemprov DKI Jakarta tertanggal 3 Januari  2022, Keputusan Direksi PAM Jaya No. 65/2022 dan kontrak kerjasama;
  3. Hentikan swastanisasi dan ambil alih pengelolaan layanan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 dan pastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan;
  4. Membatalkan kontrak atas dasar indikasi monopoli dan persekongkolan serta memulai penyelidikan atas proses kontrak tersebut;
  5. Melakukan pemulihan air permukaan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber air baku di Jakarta. Kedaulatan atas air tidak hanya ditentukan oleh pengelolaannya yang mandiri tetapi juga dapat memaksimalkan pemanfaatan sumber air yang tersedia;
  6. Memperhatikan pengelolaan air yang inklusif dan berbasis pada pemenuhan Hak Asasi Manusia, sebagai Hak Dasar yang melekat dan tidak dapat dihilangkan oleh keadaan apapun, termasuk karena kerentanan seseorang; 

 

Hormat kami

KOALISI MASYARAKAT MENOLAK SWASTANISASI AIR JAKARTA (KMMSAJ)

Narahubung:

  1. Sigit K. Budiono - KRuHA
  2. Aprillia Lisa - LBH Jakarta
  3. Kes Tuturoong - ICW
  4. Syahroni Fadhil - Walhi Jakarta

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan