Ekonomi Politik Korupsi PBJ

Gambar: knowlaw.in
Gambar: knowlaw.in

Artikel ini bertolak dari aksioma bahwa korupsi selalu merupakan praktik yang melibatkan ragam jaringan aktor, dengan variasi strategi yang selalu berubah-ubah serta berdampak multidimensi. Khusus dalam sektor Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), perilaku koruptif sulit diberantas bukan sekadar karena belum optimalnya manajemen tata kelola (good governance), melainkan karena ia berakar dalam ekonomi politik. Dampak korosif kolusi di sektor ini selain mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan berkorelasi terhadap rendahnya realisasi investasi, hal ini juga merusak daya dukung sosial ekonomi masyarakat.

ICW menyebut pada periode 2010-2020, 53% tender publik di Indonesia adalah tender untuk proyek konstruksi. Kasus korupsi proyek infrastruktur meningkat 50% di Indonesia antara 2015-2018. KPK menangani kasus korupsi sebanyak 36 kasus terkait korupsi infrastruktur pada 2020 hingga Maret 2021. Data KPK juga menunjukkan bahwa sebanyak 10-15% lari kepada keuntungan kontraktor, kurang lebih 7% untuk komitmen kepastian anggaran, kurang lebih 20% untuk komitmen fee proyek, sedangkan untuk manipulasi laporan dan lain lain menghabiskan 5% dari nilai proyek (democrazy.id). Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK RI, Didik Agung Widjanarko menyebutkan, KPK RI mencatat pada tahun 2004-2022, titik rawan korupsi yang sering terjadi di daerah, diantaranya perencanaan dan penganggaran, pengadaan barang dan jasa, perizinan, manajemen ASN, pengawasan internal yang lemah, pengelolaan BUMD, penerimaan rendah, dan pengelolaan dana desa yang tidak akuntabel (negerilaskarpelangi.com; Kedaulatan Rakyat, 15 Desember 2022, p. 1).

Merespon tingginya kasus tipikor di sektor PBJ, pemerintah melakukan reformasi di dengan mendorong transparansi untuk membuka peluang keterlibatan bagi para kontraktor yang sebelumnya didominasi oleh pihak tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan rezim. Di samping itu juga, dioptimalkan medan kompetisi yang sehat dalam penyediaan barang dan jasa di mana pemerintah akan mendapat penawaran terbaik dengan harga yang sesuai. Selanjutnya, diciptakan kerangka hukum untuk mengawal dan menindak praktik KKN di dalam tender pemerintah. Teranyar, pemerintah membuat sistem online (terutama e-katalog) yang mencegah potensi korupsi dari proses penyusunan anggaran (hulu) hingga tahap implementasi (hilir) termasuk menghindari penggelembungan (mark up) harga barang atau jasa.

Patronase Berkelanjutan

Meskipun demikian, praktik korupsi di sektor PBJ berevolusi selaras dengan transformasi sistem. Sepanjang tahun 2022, sebanyak 18 kepala daerah yang ditangkap karena terlibat rasuah. Hal ini juga tampak dalam periode 2004 ― Oktober 2022 misalnya, Pemkab/Pemkot menjadi instansi dengan Tipikor terbesar sebanyak 537 kasus diikuti Kementerian/Lembaga 406 kasus. Lebih dari itu, sejak KPK berdiri pada 19 tahun yang lalu, sudah ada 1.479 kasus yang ditangani dengan tersangka 22 gubernur, 133 bupati/walikota, dan 381 anggota DPR dan DPRD. Dari jumlah itu, suap dalam pengadaan barang dan jasa khususnya pengadaan infrastruktur, jasa konstruksi dan suap jual beli jabatan merupakan yang paling banyak terjadi.

Mengutip Widoyoko (2018), alih-alih melakukan perubahan, para politisi justru memodifikasi strategi mendistribusikan sumber daya agar tampak sesuai dengan aturan tender terbaru. Dalam studinya di Kota Kupang, Sylvia Tidey menunjukkan bagaimana panitia tender, bekerja sama dengan kontraktor merancang agar tender tampak baik dan sesuai dengan aturan (Tidey, 2012). Hal yang sama ini pula yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Yana Mulyana dalam praktik suap pengadaan CCTV dan jasa internet (ISP) Bandung Smart City meskipun sudah menggunakan e-katalog.  Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut bahwa ada pengkondisian PT Citra Jelajah Informatika (CIFO) sebagai pelaksana pengadaan ISP di Dishub Pemkot Bandung walaupun keikutsertaan perusahaan tersebut dalam proyek itu melalui aplikasi e-katalog (rm.id). Kasus mengelabui e-katalog juga diduga dilakukan dalam pengadaan alkes dan obat-obatan di Jombang di mana kolusi berlangsung diantara ‘para pemain’ dan panitia pengadaan (faktualnews.co).

Artinya, korupsi PBJ di Indonesia sesungguhnya merupakan kelanjutan dari praktik patronase sebagai “distribusi sumber daya material untuk tujuan tertentu dan memberikan manfaat politik dan secara khusus, sumber daya material didistribusikan melalui jaringan klientelistik yang berbasis pada relasi kekuasaan personal” (Aspinall dan Sukmajati (ed), 2014, p. 4-5). Bagian terpenting dari penjabaran Aspinall terletak pada aspek keberlanjutan pertukaran klientalistik yang berlangsung permanen sehingga inovasi teknologi dalam rangka memperbaiki tata kelola PBJ justru berhasil dikelabui dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak tidak bertentangan dengan regulasi. Bagian ini belum termasuk konflik kepentingan yang memperparah ekonomi politik klientelisme. Bagian ini bisa dibaca dalam Research Brief ICW (2023) yang menjelaskan tiga model konflik kepentingan baik secara vertikal, horizontal, dan campuran. Hal paling mencengangkan dari temuan ICW tersebut yakni bahwa kombinasi konflik kepentingan menunjukkan bahwa koordinasi dan pengaturan tender dapat dilakukan jauh sebelum tender dimulai (sejak tahap perencanaan atau pembahasan anggaran).

Rekomendasi Menyongsong Tahun Politik

Lebih lanjut, artikel ini juga menemukan urgensinya persis ketika bangsa ini akan memasuki Tahun Politik dimana ongkos politik menuju tampuk kekuasaan tidaklah sedikit. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sejak KPK berdiri, mayoritas kasus yang ditangani justru menjerat pemerintah daerah baik legislatif maupun eksekutif dan dengan demikian isu PBJ perlu dihubungkan dengan konteks Pemilu dan Pilkada mendatang. Oleh sebab itu, terdapat beberapa rekomendasi antara lain:

Pertama, Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) disarankan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawal proses atau tahapan sejak perencanaan anggaran, perencanaan-persiapan PBJ Pemerintah, pelaksanaan, serah terima dan pembayaran, dan tahap pengawasan/pertanggungjawaban. Dua lembaga ini perlu menyusun regulasi yang transparan sehingga dapat menekan potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, juga meningkatkan transaksi belanja produk dalam negeri dan produk UMK Koperasi. Selain itu, perlu adanya sistem pengadaan barang/jasa melalui sistem pengadaan yang dapat mengintegrasikan mulai dari proses terima anggaran sampai berita acara serah terima pekerjaan. Kedua, perlu ada sinergitas antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memberikan input berkelanjutan mengingat mayoritas koruptor di segmen ini adalah pejabat daerah dan korporasi swasta.

Ketiga, mengoptimalkan Monitoring Control for Prevention (MPC) sebagai aplikasi terintegrasi yang dikembangkan KPK untuk memudahkan monitoring dalam upaya koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi (Samarinda Post, 5 Januari 2023, halaman 9 & 15). Diketahui, MCP memiliki 8 cakupan data pos pantau yakni perizinan, pengadaan barang dan jasa, perencanaan dan penganggaran APBD. Terdapat juga pos pantau pengawasan inspektorat, serta manajemen ASN, dan manajemen pengelolaan aset daerah, dan tata kelola keuangan desa. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK, rata-rata 98% proses PBJ dinilai penuh suap sehingga PBJ Instansi di seluruh Indonesia sangat rentan Tipikor (Koran Bhiwara, 13 Januari, halaman 4).

Keempat, KPK perlu mengaktifkan kembali Komite Advokasi Nasional (KAN) dan Komite Advokasi Daerah (KAD). Di mana dua komite ini merupakan forum kominkasi antara pemerintah dan pelaku usaha dalam bentuk dialog publik private yang membahas isu-isu strategis terkait dengan upaya pencegahan korupsi (Ujungpandang Ekspres, 32 februari 2023, halaman 1& 7). Selain itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat melalui pemanfaatan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (SP4AN LAPOR). Bisa juga melapor melalui saluran pengaduan masyarakat terkait Tipikor melalui aplikasi Whistleblowing System (WBS). Kelima, transparansi yang berhubungan dengan aksesibilitas informasi tentang subkontraktor, amandemen dokumentasi tender, dan dokumen kontrak serta informasi terkait kontrak. Bagian ini penting karena kerangka hukum di Indonesia memberikan akses yang terbatas kepada publik.

 

Penulis,

Hans Hayon

Media Analiyst Newstensity - Binokular

Alumnus Institut Filsafat Katolik (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores, NTT

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan